Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Wednesday, May 22, 2013

SEPENGGAL MASA

Jauh kubuang pandangan di pasir pantai putih di Parang Tritis, melihat ke awan biru dengan camar yang melintas bercengkrama dengan pasangannya.
Aku sengaja datang sendiri di sini untuk membuang gundah yang sudah menyesak di dada, dan kutinggal semua hubungan dengan duniaku.
Memutuskannya dengan harapan bisa berpikir jernih untuk bisa memahami apa yang terjadi.
Aku selalu kembali di sini...
Untuk selalu mendapatkan kekuatan bagi jiwa yang mulai letih dan merapuh...


Ingatanku kembali mundur puluhan tahun yang lalu, ketika aku belajar memahami kehidupan. Membuang jauh luka di Lombok, dengan menjelajah Rinjani, dan menghabiskan malam-malam di Pantai Senggigi tanpa lelah dan jeda.
Mungkin keindahan alam yang kusaksikan kini benar bisa menghapus kepedihan yang melintasi ruang hati yang terluka.

Sunset di Pantai Senggigi...... itu menggambarkan lazuardi merah menyala dengan berani dalam kanvas kehidupan di cakrawala.
Berdiri tegak di tubir pantai, membiarkan kaki tersaput aluran ombak yang lembut, seolah mengangkat derita panjang yang belum berujung.
Menyadari yang terlewatkan,
Yaa.... karena memang akulah yang akan menentukan sendiri ujung dari lembar cerita hati yang ingin kututup di sini.


Sunset yang memang selalu memesona,
Pasirnya putih bersih dan sebagian berwarna hitam, sungguh unik. Garis pantai lurus dan panjang, ombaknya pun sangat tenang.
Ketenangan ini pulalah yang kemudian mengembalikanku pada kesadaran, "tak ada yang abadi" dalam sebuah ikatan.
Sepanjang mata memandang, bisa terlihat pulau Bali dari kejauhan.
Jajaran nyiur di tepian pantai memberikan keteduhan sekaligus keindahan.

Yaa... Rabb, gumamku lirih.
Izinkanlah.... kucoba untuk bangkit dari lelah hati, lanjutku sedih.

Aku melangkah terseok, mengembalikan semangat dan ceria yang tergadaikan kala ini, hingga meninggalkan keluarga besarku, tanpa kabar selama seminggu.
Hari ke-empat perjalananku di Lombok, menggugahku untuk menelfon ibu, hanya untuk mengabari bahwa aku baik-baik saja.

"Kau dimana... nak? Pulanglah... hentikan pengembaraan tanpa batasmu ini.., " sambil terisak kudengar suaranya.
Tertegun sejenak.. dan sejurus aku memberanikan diri, dan menguatkan hati untuk menahan keras airmata yang masih belum bisa kukendalikan dengan baik.
"Iya.. Ibu, setelah Rinjani aku pasti akan kembali... dengan ketenangan hati yang baru," suaraku tercekat, menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak dalam dada.
"Aku baik-baik saja yaa... Bu, jangan khawatirkan itu.  Aku bisa menjaga diri."
Aku memang merasa berdosa padanya, wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan cinta tanpa jeda.  Satu-satunya cinta yang bisa dipercaya.

Petualangan itu akhirnya menjadi catatan dengan dua warna dalam lembaran hidup, yang bisa kubuka dengan jiwa yang damai... kini.

Airmata yang tertahan, tumpah membasahi pipi..
Tak kulihat lagi keindahan pantai yang menjadi curahan hati, semenjak aku memutuskan untuk tinggal di kota ini.
Pandanganku kabur tersaput airmata, yang seolah semakin deras. Mencoba mengejapkan mata, menuda bulir itu mengalir nyata. Perlahan kuhapus.. menguatkan diri dan melihat sekeliling, karena takut ada yang mengenaliku.
Bis kota yang penuh sesak, seakan membuatku tersadarkan bahwa ini masih dunia yang kutinggali dulu, kini dan nanti.
Sesak dalam dada kembali menghentak kuat.

Tak mungkin aku pergi, mengembara seperti yang pernah kujalani.
Amarah itu biarkan saja menggantung di langit, dan biarkanlah....
Bersiap sajalah untuk keagungan rasa... yang menyisip salam kalbu, yang selalu terkoyak (lagi).
Pernah kau... benar-benar merangkul sepi dan melalui waktu tanpa teman?
Lantas.... apa yang kemudian kau pilih..??
Jika tetap bahagia tanpa jeda saja...
maka... biarkan itu menjadi oksigen yang mengisi rongga paru-parumu dengan caranya yang unik.

Tak perlu juga... kau mengatakan aku baik-baik saja, karena alam pun pandai membaca.
Kuatkan kembali kerapuhan yang saat ini memang rusak.

Lihatlah saja... cermat,
Wajah damai yang ada di pangkuanku ini.. tetap sempurna untuk menutup kepedihan yang terasa kian menusuk kini.

Ku ingin.....
Membelai lembut, tiap helai rambutnya untuk bisa berbagi kedamaian.
Mendekap erat, untuk mengatakan rasa yang mengikat dan menjabat erat.
Mengecup manis di dahi yang mengantarkan keindahan sukma yang mulai menggetarkan dawai hati.
Yakini... bahwa tak perlu kau katakan cinta.. karena sebaiknya buktikan saja...
Perjalanan waktu akan menjadi tepian hati, yang selalu menanti..
Di sanalah.. AKU,

(menutup dengan khawatir di tubir hati....)






No comments:

Post a Comment