Buku yang diterbitkan
oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2008, ditulis oleh Rei Kimura, dan
dialihbahasakan oleh Ursula G. Buditjahja.
Rei Kimura adalah seorang pengacara yang memiliki hobi menulis peristiwa
dan pribadi yang menarik. Ia menganggap
buah karyanya sebagai pencariannya yang abadi bagi kebenaran, tantangan, dan kepuasan
pribadi.
Jujur awalnya tertarik
pada buku ini, karena kecintaan pada budaya Jepang dan filosofi hidup yang
berkembang di masyarakatnya. Membaca
buku ini, semakin membukakan mata, bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat
‘seringkali’ menjadi pembenaran sikap yang “kurang” tepat, karena hanya melihat
dari satu sisi saja. Menjadi penghukuman
yang menyiksa atau bahkan berakhir tragis.
Jika Tuhan saja Maha Pengampun bagi setiap hambaNya, maka mengapa kita seringkali
tejebak pada keangkuhan untuk sebuah “maaf” bagi sesama?!
Seperti kisah yang
bisa anda baca ini, menceritakan kisah tragis Okichi Saito yang “terhukum’ di
lingkungan masyarakatnya sendiri, Shimoda.
Kecantikan wajah dan kemolekan tubuh, mengantarkannya pada sebuah jalan
kehidupan yang tak pernah dibayangkan olehnya.
Sebagai putri nelayan miskin Ichibei Saito akhirnya menyerahkannya pada
Sen Murayama, untuk menjadi geisha profesional.
Dari sanalah Okichi belajar bagaimana menyembunyikan perasaannya, dan
lama kelamaan mulai tak bisa menghargai lelaki.
Hingga pada November
1854, perjalanan hidup Okichi kembali berubah dengan drastis. Perubahan ini diawali oleh kedatangan kapal
Amerika, yang memaksa Jepang untuk membuka komunikasi dengan dunia luar. Walaupun pada tahun 1856, ia sudah
bertunangan dengan Tsurumaru, seorang tukang kayu yang amat dicintainya, tetap
menguburnya dalam kesedihan dan kepedihan hati tanpa ujung di kemudian hari.
Konsul Jendral
Amerika, Towsend Harris, terpikat pada kecantikan Okichi ketika pulang dari
tempat pemandian umum bersama sahabat karibnya, Naoko. Pejabat-pejabat Jepang, menyerahkannya sebagai
bidak negosiasi-negosiasi untuk “melayani” Harris.
Namun, pengorbanan
Okichi yang kemudian seringkali disebut dengan “Tojin” Okichi, karena kebencian
orang Jepang di masa itu pada “gaijin” (orang asing), tetaplah tak sebanding.
Walaupun 5 tahun
kemudian, Harris telah kembali ke negaranya, dan Okichi menjadi manusia bebas,
ia tetap ‘terhukum’ sebagai gundik orang asing.
Hingga sepanjang
hidupnya, hingga akhir hayatnya, Okichi merasakan penolakan yang luar biasa
dari masyarakat Shimoda. Keterpurukannya
ini, diperparah karena ia hanya menjalaninya seorang diri. Hingga kemudian Okichi tenggelam pada
kegemaran meminum sake yang membunuhnya perlahan, untuk menyembuhkan hatinya
yang terkoyak.
Perjuangannya untuk
bangkit dan memperbaiki kesalahan masa lalunya, tak pernah berakhir karena Okichi
telah kehilangan setiap orang yang dikasihinya, merasa ditinggalkan.
Kematiannya yang
tragis di pantai Shimoda, mengapungkan jenazahnya selama 2 hari di laut
sedingin es, tanpa ada yang sudi mengenalnya.
Hingga pada bulan Maret, air laut mengantarkannya dengan lembut pada
sebuah teluk, utara Shimoda yang kemudian dikenal dengan “teluk Okichi”. Melalui kebaikan hati Daijyo Takeoka, Biksu
Kepala Kuil Hokufuji, membawa jenazahnya dan menguburkannya dengan layak.
Satu hal yang patut
diteladani dari Okichi, bahwa ia tak pernah meninggalkan Shimoda. Dan ia kemudian menjadi pahlawan perempuan
Shimoda sebagai “Pembuka Pintu Jepang”, hingga terdapat “Museum Okichi” yang
mampu menceritakan perjalanan kehidupannya, menjadi nostalgia yang tak lekang
oleh masa.
Okichi dihormati
setiap tahun lewat upacara pada tanggal 27 Maret yang disebut “Festival Okichi”
dan “Festival Kurofune (Kapal Hitam)” pada tanggal 16, 17 dan 18 Mei. Selama itu diputarlah perjalanan 150 tahun
lalu dan sejarah dihidupkan kembali serta memperbaiki legenda Tojin Okichi di
Shimoda.
Kisah hidup
Okichi Saito, dapat mengajari kita tentang cara menghargai sesama dengan cara
sederhana. “Don’t judge the book by its
cover”. Janganlah merasa (paling)
sempurna.....
Hmmm.. penilaian kita sebagai manusia (seringkali) salah....
No comments:
Post a Comment