Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Monday, September 23, 2013

BUTTERFLY IN THE WIND



Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2008, ditulis oleh Rei Kimura, dan dialihbahasakan oleh Ursula G. Buditjahja.  Rei Kimura adalah seorang pengacara yang memiliki hobi menulis peristiwa dan pribadi yang menarik.  Ia menganggap buah karyanya sebagai pencariannya yang abadi bagi kebenaran, tantangan, dan kepuasan pribadi. 

Jujur awalnya tertarik pada buku ini, karena kecintaan pada budaya Jepang dan filosofi hidup yang berkembang di masyarakatnya.  Membaca buku ini, semakin membukakan mata, bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat ‘seringkali’ menjadi pembenaran sikap yang “kurang” tepat, karena hanya melihat dari satu sisi saja.  Menjadi penghukuman yang menyiksa atau bahkan berakhir tragis.  Jika Tuhan saja Maha Pengampun bagi setiap hambaNya, maka mengapa kita seringkali tejebak pada keangkuhan untuk sebuah “maaf” bagi sesama?!

Seperti kisah yang bisa anda baca ini, menceritakan kisah tragis Okichi Saito yang “terhukum’ di lingkungan masyarakatnya sendiri, Shimoda.  Kecantikan wajah dan kemolekan tubuh, mengantarkannya pada sebuah jalan kehidupan yang tak pernah dibayangkan olehnya.  Sebagai putri nelayan miskin Ichibei Saito akhirnya menyerahkannya pada Sen Murayama, untuk menjadi geisha profesional.  Dari sanalah Okichi belajar bagaimana menyembunyikan perasaannya, dan lama kelamaan mulai tak bisa menghargai lelaki.

Hingga pada November 1854, perjalanan hidup Okichi kembali berubah dengan drastis.  Perubahan ini diawali oleh kedatangan kapal Amerika, yang memaksa Jepang untuk membuka komunikasi dengan dunia luar.  Walaupun pada tahun 1856, ia sudah bertunangan dengan Tsurumaru, seorang tukang kayu yang amat dicintainya, tetap menguburnya dalam kesedihan dan kepedihan hati tanpa ujung di kemudian hari.
Konsul Jendral Amerika, Towsend Harris, terpikat pada kecantikan Okichi ketika pulang dari tempat pemandian umum bersama sahabat karibnya, Naoko.  Pejabat-pejabat Jepang, menyerahkannya sebagai bidak negosiasi-negosiasi untuk “melayani” Harris.  
Namun, pengorbanan Okichi yang kemudian seringkali disebut dengan “Tojin” Okichi, karena kebencian orang Jepang di masa itu pada “gaijin” (orang asing), tetaplah tak sebanding.  
Walaupun 5 tahun kemudian, Harris telah kembali ke negaranya, dan Okichi menjadi manusia bebas, ia tetap ‘terhukum’ sebagai gundik orang asing.  

Hingga sepanjang hidupnya, hingga akhir hayatnya, Okichi merasakan penolakan yang luar biasa dari masyarakat Shimoda.  Keterpurukannya ini, diperparah karena ia hanya menjalaninya seorang diri.  Hingga kemudian Okichi tenggelam pada kegemaran meminum sake yang membunuhnya perlahan, untuk menyembuhkan hatinya yang terkoyak. 

Perjuangannya untuk bangkit dan memperbaiki kesalahan masa lalunya, tak pernah berakhir karena Okichi telah kehilangan setiap orang yang dikasihinya, merasa ditinggalkan.  
Kematiannya yang tragis di pantai Shimoda, mengapungkan jenazahnya selama 2 hari di laut sedingin es, tanpa ada yang sudi mengenalnya.  Hingga pada bulan Maret, air laut mengantarkannya dengan lembut pada sebuah teluk, utara Shimoda yang kemudian dikenal dengan “teluk Okichi”.  Melalui kebaikan hati Daijyo Takeoka, Biksu Kepala Kuil Hokufuji, membawa jenazahnya dan menguburkannya dengan layak.

Satu hal yang patut diteladani dari Okichi, bahwa ia tak pernah meninggalkan Shimoda.  Dan ia kemudian menjadi pahlawan perempuan Shimoda sebagai “Pembuka Pintu Jepang”, hingga terdapat “Museum Okichi” yang mampu menceritakan perjalanan kehidupannya, menjadi nostalgia yang tak lekang oleh masa.
Okichi dihormati setiap tahun lewat upacara pada tanggal 27 Maret yang disebut “Festival Okichi” dan “Festival Kurofune (Kapal Hitam)” pada tanggal 16, 17 dan 18 Mei.  Selama itu diputarlah perjalanan 150 tahun lalu dan sejarah dihidupkan kembali serta memperbaiki legenda Tojin Okichi di Shimoda.


Kisah hidup Okichi Saito, dapat mengajari kita tentang cara menghargai sesama dengan cara sederhana.  “Don’t judge the book by its cover”.  Janganlah merasa (paling) sempurna.....   

Hmmm.. penilaian kita sebagai manusia (seringkali) salah....
 

No comments:

Post a Comment