Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Tuesday, July 28, 2015

Pelangi Kemarau

"Lihat..aunty, ada pelangi," teriak Raka sambil meloncat-loncat gembira.
Memaksa mataku yang terpejam menikmati percikan air di tempat wisata ini.
Tadi, aku memang memaksa kakakku, agar memberi izin mengikutkan Raka ke sini.
Dia memang seringkali menemaniku, ketika aku mampir ke kota ini.
Kakakku, yang biasanya rewel, langsung mengikuti kemauanku. Mungkin ia hanya bermaksud menghiburku. Sebentar melepaskan beban kesedihan dari langit pikiranku.
Sejenak aku tertegun melihat Raka yang terus bermain, mengejar kupu-kupu. Menatap wajahnya yang lugu. Seolah hidup tanpa beban.
"Vie, kenapa kamu meninggalkan semua kariermu di sana?, tanya Rani kakakku.
"Aku ngga tau.. apa aku bisa bertahan disana..Kak. Setiap hari, aku akan selalu terikat dengan semua kenangan tentang Al. Melihat bayangannya berkelebat di pikiranku, ketika aku makan di kantin kantor. Aku ngga kuat..Kak. Semua terlalu menyakitkanku. Aku belum bisa memaafkan semua yang telah ia lakukan padaku. Menyia-nyiakan perjuangan dan pengorbananku".
Aku memeluknya erat. Menyandarkan lelahku. Terus menangis, melepaskan beban yang selama ini membebaniku.
Buliran airmata yang selama ini aku tahan, meluap.
"Aku ngga tau..Kak, apa masih ada masa depan yang indah buatku?
Terus kutanyakan pada Tuhan, kenapa? Tapi ngga ada jawaban..", kataku setengah tercekat.
"Hhssshhh.. ngga boleh begitu..De, Alloh itu menguji sesuai batas kemampuan hambaNya",  ujarnya lembut, sembari terus mengusap rambutku lembut.
"Harapan indah akan ada.. seperti pelangi. Semu, tak tersentuh. Tapi tetap dengan bahasa keindahan. Bahkan ia akan hadir di musim apapun. Sesuai kehendakNya. Belajarlah bersabar.
Aku memang hanya bisa menguatkan hatimu..De. Aku sendiri belum tentu bisa kuat menghadapi ujian yang kamu alami kini...,"
Aku tertegun, untuk semua kejujurannya.
Sudah sering mendengarkan hal yang dikatakannya.
Teman-temanku. Sahabat-sahabatku.
Mengatakan hal yang sama.
"Aunty.., panggil Raka yang memutus lamunanku, kenapa aunty nangis..," tanyanya sambil mengusap bulir airmataku.
"Aah.. tadi kelilipan sayaang..," ujarku menenangkannya, menutup kesedihanku.
"Kita makan yuuk..," ajakku mengalihkan perhatiannya.
"Hayuukk.."
Tangannya menggamitku, dan mengajak ke tempat makan favoritnya.
Aku hanya mengikuti langkahnya. Menikmati kebersamaan dengannya.
***
Al telah melamarku. Semua teman, sahabat dan kolega mengucapkan selamat padaku.
"Giilaa..lo, Vie.. diam-diam menghanyutkan," komentar Uci sahabatku.
Aku memang tak pernah mengumbar kedekatan dengan lawan jenis. Selfie saja alergi. Apalagi umbar foto tanpa momen yang jelas di media sosial.
Tiba-tiba, aku mengenalkan Al sebagai tunanganku pada teman dan sahabatku.
Mm, aku memang tak pernah menyangka semua kejadian yang terjadi tanpa rencana.
Al, aku kenal 3 bulan yang lalu. Ia sahabat temanku. Komunikasi kami hanya terbatas pada hal yang biasa. Dia juga bukan tipe laki-laki idealku, bukan yang aku inginkan sebagai belahan jiwa. Tapi ia mengejutkanku dengan lamarannya pada ayah. Dan ayah menerimanya, karena tak ada alasan untuk menolaknya. Begitu ujar ayah. Dia anak yang sholeh, mapan dan bertanggungjawab..Nak. Bismillah..saja.
Hari-hari berlalu. Kebersamaan mulai terjalin intensif setelahnya.
Aku belajar mencintainya.
Mulai mengurangi kebersamaanku dengan Dy. Sahabat karib yang selalu mendampingiku. Sahabat yang kucintai sepenuh hati. Sahabat yang diam-diam aku harapkan memilihku sebagai pendamping hidupnya.
Aah.. hal itulah yang terberat bagiku. Aku terlanjur menyayangi dan mencintai Dy.
Perlahan.. jarak pun sangat terasa. Kehampaan mulai menyergapku. Aku tanpa Dy.

Awalnya semua begitu indah. Walaupun aku tak terlalu mengenal Al. Tak bisa mencintainya. Kelembutan, perhatiannya perlahan meluruhkan pertahananku.
Ketika ia mengajakku di pertemuan keluarga. Untuk menentukan tanggal pernikahan kami.
Keluarga yang hangat.
Awalnya, semua baik-baik saja.
Hingga petaka itu tiba.
Tak lama setelah perkenalan dengan keluarga besarnya, dan aku kembali ke Bandung, Al pun pulang ke jobsite.
Seperti biasa, aku menelponnya di pagi hari. Tepatnya dini hari. Karena perbedaan waktu yang membentang, maka aku pun harus mengorbankan waktu untuk bangun lebih awal. Biasanya, ia menjawab dengan ramah dan hangat. Kali ini, lama dering telpon tak jua diangkatnya.
Tak ada kecurigaan. Mungkin.. dia sedang mandi.
Siang, aku pun mencoba menelpon kembali. Tak jua diangkat. Sedang sibukkah? Tanyaku dalam hati.
Dan hal itu terjadi berhari-hari.
Hingga satu waktu, aku memaksakan diri menelpon mas Ton, sahabatnya. Orang yang memperkenalkan Al padaku.
"Maaf..mas, ada apa dengan Al? Kenapa dia ga pernah angkat telponku?", semburku.
"Vie.. apa kamu belum tau?"
"Tau apa..Mas? Apa dia mengalami kecelakaan?," tanyaku khawatir.
"Duuh.. lo beneran belum tau..Vie? Al sudah menikah. Dijodohkan oleh ustadznya. Makanya dia ga mau angkat telponmu. Ga muhrim.. katanya..", jelas mas Ton.
Bagaikan petir. Tulang-tulangku melemas. Aku langsung terkulai. Hanya bisa bersandar di dinding kelas kampusku.
Uci yang sedang bersamaku. Hanya menatap penuh tanya. Aku hanya bisa menangis. Menjawab pertanyaan semua orang dengan tangis. Hingga Uci pun mengantarkanku pulang. Sepanjang perjalanan, Uci hanya terdiam. Memberiku waktu.
Dan akhirnya..
"Gue ga jadi nikah..Ci. Gue dicampakkan. Apa gue jelek.. apa gue bukan orang baik.. hingga layak diperlakukan seperti sampah?", berondongku.
"Vie.. tenangkan dirimu yaa. Semua terjadi dengan izinNya. Ikhlaskan yaa..," ujarnya menguatkanku.
***
Berhari-hari, aku merenungkan semua tubian kejadian. Tak sanggup menatap masa depan. Tak bisa melihat matahari. Tak kuat melihat kebahagiaan orang lain. Aku marah, cemburu dan murka. Imanku menyusut hingga titik terendah. Aku menyalahkan Tuhan. Untuk ketidakadilanNya. Kenapa aku? Ada apa denganku? Semua cobaan bertubi di sebagian besar hidupku.
Tuhan, aku ingin mati..
---
Semua akhirnya menyarankan aku untuk mengambil cuti panjang. Karena aku memang tidak produktif.
Dan disinilah aku. Bersama Raka. Menemaninya di Batu Raden. Melihat pelangi yang muncul di kemarau.
Perlahan aku merindukan Dy. Sangat ingin bersamanya. Lo dimana..Dy?
Apa lo masih mengingat lagu "Perahu Kertas"?
Apa lo masih ingat perjalanan ke 3 Gili?
Apa lo masih menyisipkan waktu melihat sunrise seperti yang kita lakukan di Dieng?
Apa lo masih sempet snorkling dan terus belajar free dive?
Gue kangen lo..Dy.
Gue butuh lo..Dy.
Gue pengen sandarin lelah di pundak lo.
Gue.....

***