Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Saturday, March 7, 2015

K.I.T.A

Diam..
Itu yang kini ingin kulakukan. Kelelahan jiwa yang terus mendera, memang kian menenggelamkanku dalam kesendirian dan kesunyian.
Rabb..
Tak sedikit pun aku bermaksud menafikan semua nikmat yang telah Kau berikan. Hanya ingin merasakan arti kehadiranku. Maknanya.
Aku, ingin hadirnya kata-kata itu. Tak hanya kurasakan saja.
Apakah itu terlalu sulit dan rumit?
Ataukah aku hanya mempersulit?
Semakin larut malam ini, hingga dini hari, pun kini sudah jelang Shubuh..mataku tak terpejam. Sesekali mengerang sendiri. Lambungku. Kepalaku.
Aira sudah lama kutitipkan pada sanak kerabat, karena aku tak ingin melihatnya bersedih. Karena selama ini, ketika ia melihatku menitikkan airmata, keceriaan dan candanya menghilang. Seperti matahari yang merindukan bulan dan bintang.
Berita-berita TV silih berganti, menemaniku yang terus menangis. Buliran bening itu seperti tak terbendung.
Aku paham, ketika masalah ini bukanlah satu-satunya masalah yang berat. Di luar sana, masih ada jutaan orang yang mengalami permasalahan yang lebih berat. Yaa..sangat pahami hal iti. Ini bukan apa-apa..Vie. Hatiku berbisik perlahan, menghibur.
Hhhh.. Rabb, mengapa aku terus merasakan ini?
Mendapatkan bahwa hanya aku yang inginkan kehangatan hakiki. Bukan hanya koma dalam kalimat.
Tak merupakan persinggahan sesaat saja. Apakah ini memang terlalu tinggi untuk jadi kenyataan?
Apakah memang aku tak cukup baik untuk mendapatkannya?
Tuhan, mungkin.. Kau mulai bosan mendengarkan semua keluhan-keluhanku.
Namun..jika masih Kau izinkan, aku hanya ingin "pulang".
Tempat dimana aku bisa memeluk Aira dengan bahagia. Masa ketika Dy menjadikanku teman cerita, untuk semua hal yang melintasi kehidupannya.
Saat ketika keluarga adalah kesatuan solid penuh kehangatan. Saling menjaga. Selalu menjabat hati.
Rabb, sebenar-benarnya..aku inginkan hidup. Namun kerapuhan ini terus membuyarkan mimpi dan semangat hidupku.
Kesemuan yang hadir, menghantarkanku di keputus asaan yang membelenggu. Menggerogoti kesehatanku. Aku lama kelamaan menjadi sampah. Tak mampu melihat keindahan yang telah Kau hadirkan untuk menemaniku. Tidak jua sanggup mendengar kidung indah yang dinyanyikan. Untukku. Tuhan.
Aira.
Dy.
Dengarkan sejenak dengan hati. Karena aku ada. Nyata. Ulurkan tangan. Jabatlah hatiku. Tanpa jeda menungguku (saja).

Sunday, March 1, 2015

Kidung

Saat ini..benarlah jadi titik terendah dalam hidupku. Berulangkali menanyakan arti kehadiranku. Bagi sahabat-sahabatku, juga bagi Dy dan Aira. Rasanya..tak cukup percaya dan yakin, bahwa keberadaanku memang sangat penting bagi mereka semua.
Maafkan aku..
Bukan tak percaya..
Ampuni aku..
Tak bermaksud meremehkan kalian.
Namun,  berjuta deraan kehidupan kali ini, nyatanya memang meruntuhkan langit kehidupan dan kepercayaan diriku. Yang terburuk adalah menghancurkan keimananku. Karena berulangkali.. bila terpuruk dalam tangis dan sakit yang luar biasa, seringkali terpikirkan untuk mengakhiri hidup. Memotong nadi, meminum penenang atau racun serangga, dan pikiran negatif lain tentang caranya.
Yaa..Rabb, apakah aku sudah menjadi pendosa?
Apakah aku memang tak cukup baik untuk merasakan kedamaian hidup?
Ataukah, terlalu banyak pintaku..hingga Kau kembalikan aku pada titik ujian ini?
Tuhan..
Kirimkan aku pelindung yang mampu menjagaku.
Menjauhkanku dari hal yang tak bisa kukendalikan sendiri.
Cukupkanku dengan rasa syukur. Walau terkurung dalam sepetak kamar di rumah singgah ini. Hanya bisa menatapi Aira di kesunyian, karena memang harus membagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Untuk hidup dan kehidupan.
Dan malam ini, hampir seperti semalam.
Aku memang sangat ingin mengakhiri hidup.
Biarkan saja.. tanpa kata.
Ingin terdiam selamanya.
Karena memang merasa tak cukup berarti, berharga dan bermakna.
Bagi Dy dan Aira.
...tik...tik...
Tetesan bening hujan tak cukup menghapus luka.
Masih belum mampu berdamai dengan jeda dan kekurangan.
.....biarkan aku pergi.
Relakan semua dalam sepi.
.............................
***
Tok..tok...
Pintu kamar diketuk dengan keras.
Aku masih tenggelam menangis. Masih mengenakan mukena dan menggenggam Al-Qur'an pemberian Dy.
Aku yang masih memikirkan cara mengakhiri hidup.
Tapi memang ingin semuanya kembali fitrah.
Walau mungkin caraku memang salah!
Ini adalah jalan terhina untuk kembali padaNya.
Duuhhh...ampuni aku, Tuhan.
.. tok.. tok..
Pintu kamarku kembali diketuk dengan keras.
Perlahan,.aku beringsut mendekati pintu. Dan membukakan kunci.
Ini sudah larut malam. Dan Dy datang. Sekilas aku melihat tatapan sedihnya.
Maafkan aku...
Dan posisiku memang membelakanginya. Aku terus membaca takbir, tasbih dan tahmid.
Keinginan bunuh diri itu belum menghilang. Selalu hadir, ketika terpuruk dalam jebakan pikiran bahwa aku memang tak berarti bagi siapa pun.
Benar-benar kehilangan makna kehidupan.
Lentera hidup itu telah padam.
Aku hanya terus merasa tersisihkan.
Aku selalu terjebak dalam pembatasan pikiran.
Aaahh...ari aku apa atuh? Hanya butiran debu.
Cuma persinggahan sementara dalam hidup sahabatku.
Terus menuntut pernyataan bahwa aku takkan disakiti.
Bisakah kau katakan padaku.. bagaimana caranya untuk (kembali) percaya.
Keraguan yang menyergapku ini luar biasa.
Bahuku masih berguncang, karena masih terisak.
Aku ingin dia memelukku.
Menarikku dalam kedamaian.
Seperti dulu. Meminjamkan bahunya untuk tangisan yang terjatuh bersama buliran hujan.
Aku ingin dipeluknya! ..teriak hatiku kencang.
Tanganku semakin erat menggenggam Al-Qur'an.
Walau menginginkan kematian..aku tetap berharap kesucian pemikiran di akhir hidupku.
"Vie.., panggilnya lembut, kenapa? Apa alasanmu?"
...dan aku tak mampu menjawab dalam kata. Hanya isak tangis dan doa terus kupanjatkan.
Dekapannya menenangkanku.
Walau kutahu, itu hanya sesaat. Sementara...
***

Dan..benarlah.
Kejadian itu berulang kembali. Dan secara ekstrem, aku ingin mengakhiri hidup di depannya.
Perdebatan yang panjang ini cukup melelahkan hati dan pikiranku.
Dy menunjukkan nyata ketidaksukaannya. Memukuli tembok dan terus menyatakan kebenaran.
Aku, terus menyanggah dengan penjelasan yang jujur. Dari sisiku. Pandanganku. Kesakitanku. Alasanku.
Tangisku itu semakin deras. Mungkin Dy takkan bisa memahami apa yang kurasakan kini.
Ketakutan ketika mendengar dentuman pada tembok yang dilakukannya, menggetarkan hati. Mengingatkan dan menguatkan semua trauma yang pernah kualami.
Akhirnya, aku mengalahkan egoku. Mendekatinya. Menarik tangannya. Karena posisinya telungkup.
Iba menatapnya. Mungkin ia menangis. Karena semua pernyataanku yang teramat melukainya.
"Diam.."
"Dy.."
"Diam.."
"Ayolah..Dy.. Maafin gue.."
"Diaamm.."
Badanku bergetar.
Ketakutanku memuncak di batas yang tak sanggup kuterima.
Dan, akhirnya aku pun memang akhirnya memutuskan untuk diam.
Diam, adalah ketakutanku. Karena aku terusir dalam kehidupan sebelumnya ketika telah memutuskan "diam".
Ia kemudian beranjak ke kamar mandi.
Menyembunyikan apa yang dirasakannya.
Kami memang bagai bumi dan langit.
Aku yang tak henti berceloteh. Dan dia diam mendengarkan.
But, live is never flat..-
--
Ketika keluar dari kamar mandi, Dy terduduk di depan pintu.
Aku terus memaksanya bicara.
Karena aku benci "diam".
Terus memaksanya.
Dan ia terus diam.
"Kalau lo diem terus..lo bisa bikin gue bunuh diri..", lanjutku dalam isak.
Aku amat membenci dirimu.
Ketidakmampuanku saat ini.
-- dan akhirnya aku memang beranjak ke arah kamar mandi. Membungkuk untuk mencari pisau. Atau menenggelamkan kepala di air.
Itu yang terlintas....
Dy menyusulku.
Aku kemudian mendorongnya ke belakang. Menahannya.
Aku benar-benar ingin melakukannya. Tak perduli di depannya.
Memang bodoh dan naif.
Aku memang bodoh!
Lama terdiam di posisi kami masing-masing.
Dan akhirnya ia menarikku. Mengembalikanku di posisi semula. Di tempat tidurku.
Jiwaku memang sakit.
Kembali terus terisak.
Dekapannya begitu mendamaikan.
Tepukan tangannya terus menenangkanku.
.."jangan nangis terus..."
Kata-kata itu terus digumamkannya.
Dy,
Tak mampu kujanjikan itu.
Aku (masih) takut!
Jiwa dan ragaku sakit!
Aku benar-benar terluka...
Maafkan aku ketika melukai perasaanmu...
Terus menerus membuatmu menangis.
Di antara semua perbedaan yang kita miliki, tetaplah jadi sahabat hati.
Karena aku memang rapuh, jika harus jalan sendiri.
Dekaplah (terus) aku dalam damai..
Pintaku.
Tuhan,
Ampuni aku untuk kesalahan ketika keinginan mengakhiri hidup ini salah..
Aku (hanya) manusia biasa. Perempuan yang tersakiti oleh perjalanan waktu..
***