Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Tuesday, November 10, 2015

Kelam: dalam hening

"...bisa ga, kamu berhenti melakukan ini..Vie?
Aku berasa seperti tahanan, jenuh, malas serta bosan..kalau kamu terus begini..", ujar Dy, seraya memacu motornya dengan kencang. Teramat kencang. Nadanya meninggi. Melebihi "sol".
Sanggahan yang ia lakukan, ketika mengantarkanku ke terminal subuh ini.

Aku sudah paham, bahwa hal ini pasti akan terjadi.
Aku juga bisa memaklumi, semua kegelisahan yang dia alami.
Tak mudah memang.. berkutat dan bersahabat denganku. Melintasi masa, melewati jurang terjal perbedaan.

Aku adalah aku.
Aku, perempuan yang pernah terluka begitu dalam. Yang terus belajar percaya akan adanya keindahan yang nyata di kehidupan.
Perempuan yang sangat mencintai Fisika, hingga selalu memperhitungkan daya lebam, percepatan, kecepatan, dst, yang aplikatif dalam kehidupan.
Perempuan yang tegar di luar, namun terlalu rapuh di dalam.
Perempuan yang 80% mengandalkan emosi, intuisi dan perasaannya, dibandingkan logikanya.

Sementara, Dy adalah Dy. Sosok laki-laki pendiam, yang terbiasa terdiam dalam gelap kata-kata. Cuek, kaku, easy going, dan seringkali meremehkan (menyederhanakan hingga terlalu sederhana).

Sejak Agustus tahun ini, aku sudah mulai merasakan banyak hal yang mulai terkikis di hubungan kami.
Apa ada yang dsembunyikannya?
Entahlah..

Lama terdiam dalam kata, akhirnya semua mulai coba kuungkap dengan lugas. Aku coba memberanikan diri menanyakannya.

Jawaban yang kuterima, coba kumaknai dengan sederhana. Semua kulakukan untuk meredam gejolak emosiku. Aku merasa begitu diabaikannya. Sebagai sahabat. Atau mungkin sebagai soulmate yang selalu ada untuknya.

Hhh, tak pernahkah..Dy, sedikit pun..terlintas dalam benakmu?, tanyaku dalam hati dengan perih. Menatapnya terlelap dalam tidur.
Akankah..Dy, kita sedikit bisa membagi semua detik perjalanan yang kita lalui masing-masing, bersama-sama?
Apakah aku hanya sebatas orang yang "hanya" berhak memelukmu dalam diam tanpa kata? Yang tak layak mengharapkan status nyata walau itupun juga "palsu".

Baper..Dy. Aku terlalu baper menjalani hidup denganmu. Sesuatu yang harusnya mungkin sebaiknya tidak aku lakukan, agar tak selalu terluka.

Dy, di hitungan waktuku.. aku sendiri tak bisa tahu, sampai kapan bisa menahan keinginanku untuk mengakhiri hidup saja. Aku seringkali merasa sudah tak sanggup menahan diri atas semua kejutan-kejutan yang muncul karena kebiasaanmu terdiam.

Aku, tak mengatakan itu kesalahan. Tapi kalau kau mau sedikit membuang amarah yang membelenggumu saat ini, sebenar-benarnya semua yang muncul sekarang adalah akumulasi kebiasaan-kebiasaanmu yang bertumburan dengan kebiasaanku.

Seharusnya, ini sudah harus kau lakukan sejak dulu. Keterbukaan komunikasi, kejujuran dan mengalirkan cerita sesuai pada waktunya, akan lebih baik, jika dibandingkan saat ini. Saat dimana semua kubaca sendiri.

Kesal? Wajar..Dy,
Marah? Kumaklumi..Dy,
Jenuh? Bisa dimengerti..Dy,
Seperti tahanan? Sangat aku pahami..Dy,

Semua benang kusut yang membuat kepalamu seakan pecah ini, sebenar-benarnya (hanya) akumulasi dari hal yang seharusnya kau lakukan sejak dulu.

Aku, sederhana sebenarnya. Hanya ingin duduk, tidur, dan memelukmu, sambil menantikan cerita-ceritamu. Keseruan yang terjadi dalam hidupmu.

Bukan menatapmu di kejauhan, menyaksikan geseran jemari di layar sentuh HP, atau sesekali mengetik sesuatu. Aku tak pernah tahu. Seringkali juga terjebak di pikiran negatif yang berulangkali kutepis, agar kita baik-baik saja.

Dy,
Aku bukanlah perempuan yang benar-benar kau cintai sepenuh jiwa. Aku hanya "Sephia", tempatmu melepaskan penat sesaat. Yang di satu masa nanti, akhirnya hanya akan jadi kenangan berdebu dalam ingatanmu.

Aku, telah merasakan degradasi rasa cintamu yang tak lagi semanis dulu, kala jarak masih memisahkan pertemuan kita.

Aku, merindukan ungkapan "I love you", yang membelah kegelapan malam.
Merasakan lagi pelukan dan dekapan erat, serta ciuman di kening.

Semua teramat berarti bagiku. Begitu memompakan darah di wajah pucatku. Membangkitkan semangat yang hampir padam.

Baru sekarang aku pahami, bahwa semua itu semu? Memudar seiiring munculnya pelipur lara dan rasa yang memang sesuai dengan apa yang kau mau.
Sementara aku, hanyalah debu tebal yang akan tersingkirkan.

Kau merasakan jenuh, bosan, dan terpenjara.
Aku, merasa terbuang dan ingin menutup mata saja. Selamanya.

Terdiam seterusnya dalam hidupmu. Di bawah tanah. Bersama cacing saja.
Dan saat itu,
Aku takkan lagi mampu menyakitimu dengan rasa yang tidak penting dirasakan.
Tak juga mengganggumu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang posesif.

Apa saat itulah, telah tiba kini?
Saat warsa berganti, lusa?

Tubian masalah, bukan setingan untuk eksis dalam hidupmu..Dy.
Ini hanya tumpukan masalah yang memang ada selama ini dalam hidupmu yang tidak aku ketahui. Muncul satu persatu. Hingga terasa begitu melelahkan kini.
Terus menyalahkanku, untuk semua kekuranganku atas pandangan rasa intuisi.

Maafkan aku..jika memang selalu mengganggu ketenangan hati. Meriakkan perasaanmu.
Selalu menyakitimu.

Maafkan aku.. tak pernah layak kau perhitungkan, walau di status palsu sekalipun.

Maafkan aku.. yang tak kunjung bisa menenangkan pikiran dan rasa ingin tahuku. Hingga terus membuka lembaran lama dalam hidupmu. Yang seharusnya bisa kau bagi denganku.

Maafkan aku.. yang terus menyakitimu.
Dan maafkan aku.. jika aku mengakhiri hidupku yang tak berarti lagi.

Sebenarnya, aku hanya ingin "ada" dalam hidupmu. Bukan hanya bayangan pelangi semata.

Biarkan aku membenam di kepompong..😥

Perlahan, aku pun melangkah mendekati sebilah pisau yang tergeletak di mini kitchen di sudut ruangan.
Seraya bersandar di tembok dekat pintu KM, mataku mulai nanar.. buram disaput airmata yang terus menbulir dan mengalir.
Kukepalkan tangan, menyayat cepat..
Perih..
Darah pun mulai mengalir, pandanganku kosong.. mengabur dan gelap..

Tuhan, maafkan aku yang tak menghargai hidup dan tak mampu bersyukur atas karuniaMu.
Maafkan aku, pulang dengan cara terpaksa seperti ini..😭😰

Sepenggal kisah dalam perjalanan melintasi ruang dan waktu. Tak indah, karena inilah hidup. Bukan drama Korea atau dongeng pengantar tidur.

Vie, yang tertatih..
Menuju pelangi keabadian. Terputus di pencarian kebahagiaan.

Tuhan,
Ampuni jiwanya..
Bukan tak mampu bersyukur untuk semua nikmatMu.
Kelelahan itu tak tersembunyi di kamar kosong hatinya.

Aira..
Memeluknya dalam diam, ketika kutemukan.
Matanya nanar dan kosong. Kemurnian jiwanya terkoyak, memeluk bundanya yang terkulai.

Aku merengkuhnya. Menghentikan isakan tangis yang tertahan. Mengusap rambut ikalnya. Membisikan lantunan nyanyian lirih, "..semua akan baik-baik saja, sayang."

Ketika Pikiran dan Jiwa Bicara

Di perjalanan, menemukanmu adalah anugerah yang terus mampu membuatku berdiri.

Kini, aku kerap terbangun di tengah malam. Dan terus terjaga hingga pagi menjelang. Semakin parah setiap hari, karena semakin sedikit waktu terlelap yang kupunya.

Bahkan seringkali menangis dalam diam. Menangkupkan semua keluh kesah dalam doa.
Tuhan, dimanakah dia?
Merangkai asa bersama. Menjalani kehidupan beriringan.

Dy,
Bukakan mata ini akan makna cinta dan rasa yang kita punya.
Arah yang hendak kita tuju.

Kepenatan begitu mendera. Benar-benar ingin bersama.
Melepaskan semua tekanan. Mengajak bicara dalam diam. Berbisik ke alam. Bernyanyi di angin. Menitip salam di awan.

Close to nature,
Need you more than before, Really miss you beside,
It's all about you, me and Aira.

Meet me here,
Hug closely,
Hold tightly in deep silence,
By the wind, cross over the sky, pass through clouds, then leave sorrow behind..

Monday, August 17, 2015

Trip Dieng

Perjalanan ini kami mulai dari Bandung dengan menggunakan sepeda motor. Carrier besar diletakkan di depan dan daypack yang aku bawa. Kami memang harus berbagi tugas agar perjalanan kurang lebih akan memakan waktu sekitar 12 jam ini menjadi perjalanan yang nyaman.
Start jam 05:00 melaju mulus.
Di sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan banyak rombongan touring, mulai rombongan motor gede Harley Davidson, Ninja, dan lain-lain. Mungkin momen 17 Agustus menjadi alasan yang cukup sempurna.
Sedangkan kami, mengambil momen ini karena bertepatan dengan libur long weekend. Yaa.. tak mudah menyelipkan hobi di antara kepadatan kegiatan yang kami miliki masing-masing.
Setelah melakukan istirahat 3× agar tidak terlalu lelah, kami tiba di Purwokerto jam 03.30 sore.
Mm.. kota yang nanti akan menjadi tempat istirahat kami. Sahabatku akan menemui keluarganya. Mudik.
Aku? Hhh.. cukup menemaninya.
Dari sini, kami mencari jalur yang mengarah ke Wonosobo. Setelah beberapa kali bertanya kepada warga, akhirnya kami menemukan arah ke kota itu.
Selanjutnya, setelah keluar Purwokerto, Purbalingga, kami hanya melihat arahan  petunjuk yang ada. Cukup mudah memang.
Hanya, walaupun tak salah, sebaiknya kalian mengabaikan petunjuk yang mengarah ke Dieng sebelum masuk Wonosobo.
Sebaiknya, kalian hanya mengambil jalan menuju ke sana sesudah masuk Wonosobo.
Kenapa?
Karena ketika mengikuti petunjuk itu, kalian akan mengambil jalur Banjarnegara. Jalur yang amat panjang, sempit, berkelok-kelok, penuh tanjakan dan tanpa penerangan jalan yang memadai. Untuk newbie, tentunya riskan ketika melaluinya setelah maghrib. Deg-degan dan penuh kekhawatiran. Walaupun, kalian akan menikmati sunset, kabut yang eksotis, dan hawa dingin yang menusuk. Mm, cukup mewarnai petualangan.
Yang pasti, bagi kami, walaupun jalur ini penuh tantangan, hal ini merugikan di sisi jarak tempuh dan waktu.
Karena awalnya prediksi waktu kami sampai di penginapan di Dieng maghrib lebih sedikit. Tapi harus molor hingga 07:30 malam.
Yaa.. akhirnya menikmatinya tanpa keluh kesah, karena memang harus dijalani.
My trip my adventure! 😄😃
Dari pengalaman kami, akhirnya kalian bisa memilih 2 jalur ke Dieng: melalui Wonosobo atau Banjarnegara.
Kalau menggunakan angkutan umum lebih mudah. Start dari Bandung menggunakan bis Bandung-Wonosobo (seperti bis Budiman atau Sinar Jaya). Setelah itu disambung dengan minibis (rute Wonosobo-Dieng-Batur).
Kalau menggunakan kereta api, turun di stasiun Purwokerto, disambung bis Purwokerto-Wonosobo, setelah itu mengikuti rute pertama di atas.
Tarifnya, jujur kurang  tahu pasti, karena kami menggunakan sepeda motor. Maaf yaa.. hanya rutenya yang bisa kami bagi. 😒
Penginapan-penginapan  murah di Purwokerto dan Dieng, kalian bisa lihat di komunitas  Purwokerto Backpacker dengan info yang cukup lengkap dan sangat membantu.
Namun, jika kalian datang di peak season seperti kami, maka semua penginapan recommended benar-benar full booked. So..be prepare it as well as you can guys...
Saran kami: lupakan Losmen Bu Jono yang sangat recommended di komunitas backpacker, karena kalian pasti ga akan kebagian. Hehehehe.. kami juga  mengalaminya. 😄😉
Setelah perjuangan seminggu hingga 4 hari  sebelum keberangkatan, akhirnya kami mendapat kamar standar kamar mandi luar di Hotel Asri Dieng. Tak jauh dari Losmen Bu Jono.
Hotel? Mahalkah?
Aah.. jangan serem sama namanya dulu. Kamar di sini, sama tarifnya dengan penginapan atau homestay yang ada.
Secara detil ini tarif di Asri Dieng:
Standar Room KM luar (air dingin) 75k,
KM dalam (air dingin) 100k,
KM dalam (air hangat) 150k.
Untuk suhu sedingin Dieng, akhirnya saya memilih opsi ketiga. Karena ga kebayang..mandi air dingin, setelah menempuh 14 jam perjalanan dari Bandung.
16°C..guys, di malam hari.. 😱😱 bbbrrrr...
Syukurlah, akhirnya dapat juga kamar yang nyaman dengan air panas. Lantai kamar dingiiin (asli seperti menginjak es balok). Tanpa AC pun, sudah menggigil. Wuuiihh.. sudah bisa membayangkan suhu di puncak Gn. Prau, Sindoro..kan?
Setelah mandi dan sholat, kami menikmati waktu sebentar untuk wisata kuliner malam di sekitar hotel. Mencari mie ongklok khas Dieng dan tak lupa minum Purwaceng si ginseng Dieng yang sangat bermanfaat menghangatkan tubuh. Harganya cukup bersahabat: Mie Ongklok 15k, Purwaceng 7k (dicampur kopi/susu), atau teh tawar 1k.  Menu lainnya yang bisa dicoba yaitu kentang goreng ala Dieng, tempe kemul, tahu kemul, bakwan, dkk, juga bisa.
(Mie Ongklok: mie kuah kental seperti Lomie, dengan potongan tahu+irisan kol+sate ayam 3 tusuk)
Gimana?  Raamee..kok, sampai larut malam banget..
Banyak backpacker, pendaki dengan carrier hingga turis asing, yang mempersiapkan diri naik ke Prau, dst.
Yaa, mungkin karena kami hadir bertepatan dengan pelaksanaan upacara 17 Agustus di Gn. Prau. Dilengkapi juga dengan kegiatan lomba kebersihan, memungut sampah di gunung.
Hmm..
So, saran: please guys.. hentikan tindakan nyampah di gunung. Ga keren!! Asli!
Jadilah pencinta dan sahabat alam sejati, bukan penikmat alam semata. Semua harus dijaga bersama. Hentikan nyampah, bawa kembali itu ketika meninggalkan gunung. Demi kita, anak cucu, dan masa depan Indonesia.
Ooh..yaa, kalau tidak pergi berombongan, sebaiknya kalian tidak menghubungi homestay, karena biasanya mereka akan menolak. Repot..alasannya. Jujur.. kecewa, cuma mungkin memang spesialisasi mereka rombongan (only)..😥.
Teetttt...
Yuuupp, yiippiee akhirnya.. alarm berbunyi. Pukul 02:30. Walaupun beeraat..untuk membuka mata karena suhu ada di 15°C, dengan real feel 14°C.
Prepare jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, kupluk dan senter.. yaa??
Chop..chop..prepare untuk sunrise di bukit Sikunir.
Jam 03:00.. cuuss, melalui rute mengikuti jalan Telaga Warna, hingga desa terakhir, belok kiri. Ikuti saja jalan itu hingga desa Sembungan. Itulah desa tertinggi di Jawa.
Melintasi jalan yang sedikit tidak rata dan bergelombang, akhirnya kalian akan melihat camping ground dan parkiran.
Setelah itu, mulai mendaki.
Di sini, geelaap..
Start 03:30 dini hari.
Hati-hatilah melangkah, karena tak semua ada hand trail sebagai pembatas.
Ingat.. jaga ucapan ketika melakukan pendakian yaa..?
Just be wise!
Termasuk beristirahat sejenak untuk mengatur napas dan memulihkan tenaga ketika lelah. Jangan terlalu memaksakan diri. Apalagi ketika kalian jarang berolahraga.
Slowly but sure..do everything safely.
Kami melakukannya 45 menit, hingga puncak Sikunir, karena kondisi yang tak prima, hingga naik perlahan saja. Step by step..
Masih gelap memang, tapi kami tak sendiri. Banyak rombongan lain.
Jam 04:15. Mmm.. masih sempat mencari posisi untuk bisa mengabadikan golden sunrise, karena pasti penuuhh.
Air mineral yang kami bawa seperti air dari kulkas.
Pastikan kalian cukup  membawa ini, karena jalur ke puncak ini, cukup membuat lelah dan haus.
Hanya, saran saja.. jangan terlalu banyak minum di awal dan tengah-tengah perjalanan. Cukup makan permen, itu kebiasaan saya ketika mendaki. Lumayan..sekalian nambah energi dan bisa menghilangkan sedikit rasa haus. 😊
Dan.. akhirnya, semua penantian, perjuangan itu..
Terbayar lunas!
Indaaah.. Golden sunrise Negeri di awan.
Tak henti bertasbih, benar-benar bersyukur atas semua nikmatnya.
Jadi.. tak ada alasan untuk tetap di rumah dan selimut kalian..guys.
Singkapkan selimutmu, dan sesekali keluarlah. Berpetualanglah.
Ini Indonesia yang indah. Nikmatilah..
Jelajahilah..
Tuliskan petualanganmu sendiri.

Budget:
Bensin (motor) PP: Premium+Pertamax (karena di keberangkatan via Banjarnegara pom bensinnya kehabisan premium..😥)
60k x 2 = 120k
Penginapan Dieng 150k
Makan perjalanan 3 hari (-bekal sendiri wkt berangkat&pulang) @25k x 3 = 125k

Nah.. jika tujuan kalian termasuk wisata di komplek Dieng maka tambahkan dana di masing-masing objek, seperti Kawah Sikidang, Telaga Warna, komplek Candi Arjuna, dll. (Jumlahnya tergantung keinginan. Untuk berdua cukuplah dana tambahan 100k). 😜

Total Trip Dieng (motor) 3 hari PP 2 orang:
120k+150k+75k+100k= 445k

PS: ketika hendak mampir di Purwokerto, tambahlah budget sekitar 300k untuk biaya  penginapan, makan dan tiket masuk objek wisata (Baturaden, Pancuran Pitu, Telaga Sunyi, dst)

Penginapan Dieng: Hotel Asri Dieng, Purwokerto: Hotel Roda Mas
(Sstt..bukan pesan sponsor..hanya berdasarkan kepuasan saja 😁).

Terimakasih.. Tuhan, masih Kau kesempatan di hari-hari untuk menjelajah keindahan alam ciptaanMu.. 😇
Makaasiiihh..sahabat, kita bisa saling menemani dan merajut rasa, belajar saling memahami.. 😍😘

#MyTripMyAdventure #MTMA #exploreIndonesia #backpacker #purwokertobackpacker
#mytrip #memories

Tuesday, July 28, 2015

Pelangi Kemarau

"Lihat..aunty, ada pelangi," teriak Raka sambil meloncat-loncat gembira.
Memaksa mataku yang terpejam menikmati percikan air di tempat wisata ini.
Tadi, aku memang memaksa kakakku, agar memberi izin mengikutkan Raka ke sini.
Dia memang seringkali menemaniku, ketika aku mampir ke kota ini.
Kakakku, yang biasanya rewel, langsung mengikuti kemauanku. Mungkin ia hanya bermaksud menghiburku. Sebentar melepaskan beban kesedihan dari langit pikiranku.
Sejenak aku tertegun melihat Raka yang terus bermain, mengejar kupu-kupu. Menatap wajahnya yang lugu. Seolah hidup tanpa beban.
"Vie, kenapa kamu meninggalkan semua kariermu di sana?, tanya Rani kakakku.
"Aku ngga tau.. apa aku bisa bertahan disana..Kak. Setiap hari, aku akan selalu terikat dengan semua kenangan tentang Al. Melihat bayangannya berkelebat di pikiranku, ketika aku makan di kantin kantor. Aku ngga kuat..Kak. Semua terlalu menyakitkanku. Aku belum bisa memaafkan semua yang telah ia lakukan padaku. Menyia-nyiakan perjuangan dan pengorbananku".
Aku memeluknya erat. Menyandarkan lelahku. Terus menangis, melepaskan beban yang selama ini membebaniku.
Buliran airmata yang selama ini aku tahan, meluap.
"Aku ngga tau..Kak, apa masih ada masa depan yang indah buatku?
Terus kutanyakan pada Tuhan, kenapa? Tapi ngga ada jawaban..", kataku setengah tercekat.
"Hhssshhh.. ngga boleh begitu..De, Alloh itu menguji sesuai batas kemampuan hambaNya",  ujarnya lembut, sembari terus mengusap rambutku lembut.
"Harapan indah akan ada.. seperti pelangi. Semu, tak tersentuh. Tapi tetap dengan bahasa keindahan. Bahkan ia akan hadir di musim apapun. Sesuai kehendakNya. Belajarlah bersabar.
Aku memang hanya bisa menguatkan hatimu..De. Aku sendiri belum tentu bisa kuat menghadapi ujian yang kamu alami kini...,"
Aku tertegun, untuk semua kejujurannya.
Sudah sering mendengarkan hal yang dikatakannya.
Teman-temanku. Sahabat-sahabatku.
Mengatakan hal yang sama.
"Aunty.., panggil Raka yang memutus lamunanku, kenapa aunty nangis..," tanyanya sambil mengusap bulir airmataku.
"Aah.. tadi kelilipan sayaang..," ujarku menenangkannya, menutup kesedihanku.
"Kita makan yuuk..," ajakku mengalihkan perhatiannya.
"Hayuukk.."
Tangannya menggamitku, dan mengajak ke tempat makan favoritnya.
Aku hanya mengikuti langkahnya. Menikmati kebersamaan dengannya.
***
Al telah melamarku. Semua teman, sahabat dan kolega mengucapkan selamat padaku.
"Giilaa..lo, Vie.. diam-diam menghanyutkan," komentar Uci sahabatku.
Aku memang tak pernah mengumbar kedekatan dengan lawan jenis. Selfie saja alergi. Apalagi umbar foto tanpa momen yang jelas di media sosial.
Tiba-tiba, aku mengenalkan Al sebagai tunanganku pada teman dan sahabatku.
Mm, aku memang tak pernah menyangka semua kejadian yang terjadi tanpa rencana.
Al, aku kenal 3 bulan yang lalu. Ia sahabat temanku. Komunikasi kami hanya terbatas pada hal yang biasa. Dia juga bukan tipe laki-laki idealku, bukan yang aku inginkan sebagai belahan jiwa. Tapi ia mengejutkanku dengan lamarannya pada ayah. Dan ayah menerimanya, karena tak ada alasan untuk menolaknya. Begitu ujar ayah. Dia anak yang sholeh, mapan dan bertanggungjawab..Nak. Bismillah..saja.
Hari-hari berlalu. Kebersamaan mulai terjalin intensif setelahnya.
Aku belajar mencintainya.
Mulai mengurangi kebersamaanku dengan Dy. Sahabat karib yang selalu mendampingiku. Sahabat yang kucintai sepenuh hati. Sahabat yang diam-diam aku harapkan memilihku sebagai pendamping hidupnya.
Aah.. hal itulah yang terberat bagiku. Aku terlanjur menyayangi dan mencintai Dy.
Perlahan.. jarak pun sangat terasa. Kehampaan mulai menyergapku. Aku tanpa Dy.

Awalnya semua begitu indah. Walaupun aku tak terlalu mengenal Al. Tak bisa mencintainya. Kelembutan, perhatiannya perlahan meluruhkan pertahananku.
Ketika ia mengajakku di pertemuan keluarga. Untuk menentukan tanggal pernikahan kami.
Keluarga yang hangat.
Awalnya, semua baik-baik saja.
Hingga petaka itu tiba.
Tak lama setelah perkenalan dengan keluarga besarnya, dan aku kembali ke Bandung, Al pun pulang ke jobsite.
Seperti biasa, aku menelponnya di pagi hari. Tepatnya dini hari. Karena perbedaan waktu yang membentang, maka aku pun harus mengorbankan waktu untuk bangun lebih awal. Biasanya, ia menjawab dengan ramah dan hangat. Kali ini, lama dering telpon tak jua diangkatnya.
Tak ada kecurigaan. Mungkin.. dia sedang mandi.
Siang, aku pun mencoba menelpon kembali. Tak jua diangkat. Sedang sibukkah? Tanyaku dalam hati.
Dan hal itu terjadi berhari-hari.
Hingga satu waktu, aku memaksakan diri menelpon mas Ton, sahabatnya. Orang yang memperkenalkan Al padaku.
"Maaf..mas, ada apa dengan Al? Kenapa dia ga pernah angkat telponku?", semburku.
"Vie.. apa kamu belum tau?"
"Tau apa..Mas? Apa dia mengalami kecelakaan?," tanyaku khawatir.
"Duuh.. lo beneran belum tau..Vie? Al sudah menikah. Dijodohkan oleh ustadznya. Makanya dia ga mau angkat telponmu. Ga muhrim.. katanya..", jelas mas Ton.
Bagaikan petir. Tulang-tulangku melemas. Aku langsung terkulai. Hanya bisa bersandar di dinding kelas kampusku.
Uci yang sedang bersamaku. Hanya menatap penuh tanya. Aku hanya bisa menangis. Menjawab pertanyaan semua orang dengan tangis. Hingga Uci pun mengantarkanku pulang. Sepanjang perjalanan, Uci hanya terdiam. Memberiku waktu.
Dan akhirnya..
"Gue ga jadi nikah..Ci. Gue dicampakkan. Apa gue jelek.. apa gue bukan orang baik.. hingga layak diperlakukan seperti sampah?", berondongku.
"Vie.. tenangkan dirimu yaa. Semua terjadi dengan izinNya. Ikhlaskan yaa..," ujarnya menguatkanku.
***
Berhari-hari, aku merenungkan semua tubian kejadian. Tak sanggup menatap masa depan. Tak bisa melihat matahari. Tak kuat melihat kebahagiaan orang lain. Aku marah, cemburu dan murka. Imanku menyusut hingga titik terendah. Aku menyalahkan Tuhan. Untuk ketidakadilanNya. Kenapa aku? Ada apa denganku? Semua cobaan bertubi di sebagian besar hidupku.
Tuhan, aku ingin mati..
---
Semua akhirnya menyarankan aku untuk mengambil cuti panjang. Karena aku memang tidak produktif.
Dan disinilah aku. Bersama Raka. Menemaninya di Batu Raden. Melihat pelangi yang muncul di kemarau.
Perlahan aku merindukan Dy. Sangat ingin bersamanya. Lo dimana..Dy?
Apa lo masih mengingat lagu "Perahu Kertas"?
Apa lo masih ingat perjalanan ke 3 Gili?
Apa lo masih menyisipkan waktu melihat sunrise seperti yang kita lakukan di Dieng?
Apa lo masih sempet snorkling dan terus belajar free dive?
Gue kangen lo..Dy.
Gue butuh lo..Dy.
Gue pengen sandarin lelah di pundak lo.
Gue.....

***

Friday, June 26, 2015

Biru

Di antara jalan setapak yang pernah terlalui, mungkin tak sekalipun aku meragu akan kehadiranmu.
Embun pagi yang selalu ada di setiap hari yang berganti, dengan asa baru.
Buliran bening yang memburamkan kaca jendela, tetap membuatmu dalam jiwa.
Dalam diam, kunantikan rembulan dalam genggaman.
Ikatan persahabatan yang tengah terjalin, menguatkan cinta yang 'lebih' dalam sayang.
Tanpa jeda.
Tetaplah tertancap di tegar karang.. mawar.
Hadirmu melarutkan gula dalam secangkir kopi pahit yang tengah terseruput menemani dentingan waktu di ujing sepi.
Pertama bagiku, terjerat di nyata.
Riak-riak belaian persahabatan kita, selalu temani langkahku.
Tetaplah di sini, relung hati yang tak henti bersenandung...
Desiran angin menepis kesunyian.
Di masa lalu, kini dan nanti.

Thursday, June 25, 2015

Tunggu..,

Pelangi,
Semburat di langit setelah hujan.. menjadi sebuah titik nadir kerinduan setelah bulir-bulir tangis di jendela kacaku.
Tuhan,
Pinjamkan keberanian untuk menatap masa depan. Mencoba menatanya (kembali) dalam kesendirian.
Tak ada yang sempurna..
Tubian dan deraan ujian yang Kau berikan, mulai sedikit menggerus kepercayaan akan adanya ujung bahagia dalam hidupku.
Maafkan aku.. Tuhan, untuk ini,
Ampuni aku.. Tuhan,
bagi keangkuhan ini,
Aku sedikit merapuh..
Selalu meragu..
Tak berani lagi menatap pagi dengan senyum tulus..
Tak ikhlas,
Kemana aku harus melangkah?
Pada siapa aku bisa percaya?
Beban pikiran ini trlalu rumit, untuk dilalui sendiri.
Pelangi,
Masihkah.. kau menungguku di keindahan warnamu?
Dy,
Adakah.. kau mau menggenggam tanganku?
Slalu menuntunku dan melangkah bersama?
Aira,
Apakah.. senyummu mampu mengusap luka hati yang trcabik karena cacian dan hinaan?
Vie,
Mampukah.. kau brtahan menapaki jalan kehidupan yg tengah menikung tajam, brgelombang dan kerikil tajam?
Reborn!
Usikan waktu menggeliat cepat.
Semua hadir dalam diam.
Tanyaku tak kunjung terjawab.
Hentakan kpedihan trus menyayat.
Edelweiss,
Tumbuh di tebing curam dan terjal.
Kesederhanaan yang akan tersentuh bagi kedamaian yang berjuang.
Ketulusan dan keindahan bagi yang menggenggam di kesetiaan.
Ketulusan yang abadi melintasi jeda, batas ruang dan waktu.
Di mana aku?
Pelangi,
..tunggu..

Thursday, May 28, 2015

Sunyi

Di antara kesunyian nyanyian jiwa yang meredam nestapa, buliran bening mengalir tak terbendung.
Mengabut di jendela hati yang tersaput hujan.
Mencoba percaya.. bahwa di antara kekosongan hati yang tengah terpuruk, pastikan bahwa tak ada kesulitan yang mendera tanpa tujuan.
Mencoba menghentikan keluhan, bangkit bersama serpihan semangat yang terserak.
Tetapkan aku di jalanMu.. Tuhan.
Lapangkan dadaku.. menjalani kesendirian.
Kembali mengingat awal langkah menapaki jalan setapak ini.
Harus bisa ambil hikmahnya..
Nyanyian sendumu terdengar perih.
Mungkin karena kau pun mulai lelah menyakinkanku..
Tuhan,
Sederhanakan pikiranku..
Mampukan aku belajar dari kesabaran orang-orang bijak yang terus selalu menasbihkanMu.
Perahu itu ada..
Menantiku menjadi nahkoda mengembangkan layar, mengantarkanku pada pelabuhan cita-cita yang terpendam.
Kertas itu tetap putih..
Selama tak kugaris dan goreskan cerita.
Menemukanmu..
Akan selalu jadi makna yang belum sepenuhnya terbaca.
Selalu bersyukurlah..
Karena kesejatian hidup hadir ketika kau mampu bersyukur dengan segenap jiwa raga.
Tak ada yang sempurna..
Lepaskan ketakutan menghirup rindu, akan selalu menjadi tabir.
Sibakkan keraguan dan ingatlah bahwa pelangi itu selalu ada, ketika kau siap hadapi hujan.
Di sini.. di ruang rindu, jabatkan hatimu.
Yakinkan dan genggam tanganku.. sahabat,
Lengkapkan kepingan hidupku.

Saturday, March 7, 2015

K.I.T.A

Diam..
Itu yang kini ingin kulakukan. Kelelahan jiwa yang terus mendera, memang kian menenggelamkanku dalam kesendirian dan kesunyian.
Rabb..
Tak sedikit pun aku bermaksud menafikan semua nikmat yang telah Kau berikan. Hanya ingin merasakan arti kehadiranku. Maknanya.
Aku, ingin hadirnya kata-kata itu. Tak hanya kurasakan saja.
Apakah itu terlalu sulit dan rumit?
Ataukah aku hanya mempersulit?
Semakin larut malam ini, hingga dini hari, pun kini sudah jelang Shubuh..mataku tak terpejam. Sesekali mengerang sendiri. Lambungku. Kepalaku.
Aira sudah lama kutitipkan pada sanak kerabat, karena aku tak ingin melihatnya bersedih. Karena selama ini, ketika ia melihatku menitikkan airmata, keceriaan dan candanya menghilang. Seperti matahari yang merindukan bulan dan bintang.
Berita-berita TV silih berganti, menemaniku yang terus menangis. Buliran bening itu seperti tak terbendung.
Aku paham, ketika masalah ini bukanlah satu-satunya masalah yang berat. Di luar sana, masih ada jutaan orang yang mengalami permasalahan yang lebih berat. Yaa..sangat pahami hal iti. Ini bukan apa-apa..Vie. Hatiku berbisik perlahan, menghibur.
Hhhh.. Rabb, mengapa aku terus merasakan ini?
Mendapatkan bahwa hanya aku yang inginkan kehangatan hakiki. Bukan hanya koma dalam kalimat.
Tak merupakan persinggahan sesaat saja. Apakah ini memang terlalu tinggi untuk jadi kenyataan?
Apakah memang aku tak cukup baik untuk mendapatkannya?
Tuhan, mungkin.. Kau mulai bosan mendengarkan semua keluhan-keluhanku.
Namun..jika masih Kau izinkan, aku hanya ingin "pulang".
Tempat dimana aku bisa memeluk Aira dengan bahagia. Masa ketika Dy menjadikanku teman cerita, untuk semua hal yang melintasi kehidupannya.
Saat ketika keluarga adalah kesatuan solid penuh kehangatan. Saling menjaga. Selalu menjabat hati.
Rabb, sebenar-benarnya..aku inginkan hidup. Namun kerapuhan ini terus membuyarkan mimpi dan semangat hidupku.
Kesemuan yang hadir, menghantarkanku di keputus asaan yang membelenggu. Menggerogoti kesehatanku. Aku lama kelamaan menjadi sampah. Tak mampu melihat keindahan yang telah Kau hadirkan untuk menemaniku. Tidak jua sanggup mendengar kidung indah yang dinyanyikan. Untukku. Tuhan.
Aira.
Dy.
Dengarkan sejenak dengan hati. Karena aku ada. Nyata. Ulurkan tangan. Jabatlah hatiku. Tanpa jeda menungguku (saja).

Sunday, March 1, 2015

Kidung

Saat ini..benarlah jadi titik terendah dalam hidupku. Berulangkali menanyakan arti kehadiranku. Bagi sahabat-sahabatku, juga bagi Dy dan Aira. Rasanya..tak cukup percaya dan yakin, bahwa keberadaanku memang sangat penting bagi mereka semua.
Maafkan aku..
Bukan tak percaya..
Ampuni aku..
Tak bermaksud meremehkan kalian.
Namun,  berjuta deraan kehidupan kali ini, nyatanya memang meruntuhkan langit kehidupan dan kepercayaan diriku. Yang terburuk adalah menghancurkan keimananku. Karena berulangkali.. bila terpuruk dalam tangis dan sakit yang luar biasa, seringkali terpikirkan untuk mengakhiri hidup. Memotong nadi, meminum penenang atau racun serangga, dan pikiran negatif lain tentang caranya.
Yaa..Rabb, apakah aku sudah menjadi pendosa?
Apakah aku memang tak cukup baik untuk merasakan kedamaian hidup?
Ataukah, terlalu banyak pintaku..hingga Kau kembalikan aku pada titik ujian ini?
Tuhan..
Kirimkan aku pelindung yang mampu menjagaku.
Menjauhkanku dari hal yang tak bisa kukendalikan sendiri.
Cukupkanku dengan rasa syukur. Walau terkurung dalam sepetak kamar di rumah singgah ini. Hanya bisa menatapi Aira di kesunyian, karena memang harus membagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Untuk hidup dan kehidupan.
Dan malam ini, hampir seperti semalam.
Aku memang sangat ingin mengakhiri hidup.
Biarkan saja.. tanpa kata.
Ingin terdiam selamanya.
Karena memang merasa tak cukup berarti, berharga dan bermakna.
Bagi Dy dan Aira.
...tik...tik...
Tetesan bening hujan tak cukup menghapus luka.
Masih belum mampu berdamai dengan jeda dan kekurangan.
.....biarkan aku pergi.
Relakan semua dalam sepi.
.............................
***
Tok..tok...
Pintu kamar diketuk dengan keras.
Aku masih tenggelam menangis. Masih mengenakan mukena dan menggenggam Al-Qur'an pemberian Dy.
Aku yang masih memikirkan cara mengakhiri hidup.
Tapi memang ingin semuanya kembali fitrah.
Walau mungkin caraku memang salah!
Ini adalah jalan terhina untuk kembali padaNya.
Duuhhh...ampuni aku, Tuhan.
.. tok.. tok..
Pintu kamarku kembali diketuk dengan keras.
Perlahan,.aku beringsut mendekati pintu. Dan membukakan kunci.
Ini sudah larut malam. Dan Dy datang. Sekilas aku melihat tatapan sedihnya.
Maafkan aku...
Dan posisiku memang membelakanginya. Aku terus membaca takbir, tasbih dan tahmid.
Keinginan bunuh diri itu belum menghilang. Selalu hadir, ketika terpuruk dalam jebakan pikiran bahwa aku memang tak berarti bagi siapa pun.
Benar-benar kehilangan makna kehidupan.
Lentera hidup itu telah padam.
Aku hanya terus merasa tersisihkan.
Aku selalu terjebak dalam pembatasan pikiran.
Aaahh...ari aku apa atuh? Hanya butiran debu.
Cuma persinggahan sementara dalam hidup sahabatku.
Terus menuntut pernyataan bahwa aku takkan disakiti.
Bisakah kau katakan padaku.. bagaimana caranya untuk (kembali) percaya.
Keraguan yang menyergapku ini luar biasa.
Bahuku masih berguncang, karena masih terisak.
Aku ingin dia memelukku.
Menarikku dalam kedamaian.
Seperti dulu. Meminjamkan bahunya untuk tangisan yang terjatuh bersama buliran hujan.
Aku ingin dipeluknya! ..teriak hatiku kencang.
Tanganku semakin erat menggenggam Al-Qur'an.
Walau menginginkan kematian..aku tetap berharap kesucian pemikiran di akhir hidupku.
"Vie.., panggilnya lembut, kenapa? Apa alasanmu?"
...dan aku tak mampu menjawab dalam kata. Hanya isak tangis dan doa terus kupanjatkan.
Dekapannya menenangkanku.
Walau kutahu, itu hanya sesaat. Sementara...
***

Dan..benarlah.
Kejadian itu berulang kembali. Dan secara ekstrem, aku ingin mengakhiri hidup di depannya.
Perdebatan yang panjang ini cukup melelahkan hati dan pikiranku.
Dy menunjukkan nyata ketidaksukaannya. Memukuli tembok dan terus menyatakan kebenaran.
Aku, terus menyanggah dengan penjelasan yang jujur. Dari sisiku. Pandanganku. Kesakitanku. Alasanku.
Tangisku itu semakin deras. Mungkin Dy takkan bisa memahami apa yang kurasakan kini.
Ketakutan ketika mendengar dentuman pada tembok yang dilakukannya, menggetarkan hati. Mengingatkan dan menguatkan semua trauma yang pernah kualami.
Akhirnya, aku mengalahkan egoku. Mendekatinya. Menarik tangannya. Karena posisinya telungkup.
Iba menatapnya. Mungkin ia menangis. Karena semua pernyataanku yang teramat melukainya.
"Diam.."
"Dy.."
"Diam.."
"Ayolah..Dy.. Maafin gue.."
"Diaamm.."
Badanku bergetar.
Ketakutanku memuncak di batas yang tak sanggup kuterima.
Dan, akhirnya aku pun memang akhirnya memutuskan untuk diam.
Diam, adalah ketakutanku. Karena aku terusir dalam kehidupan sebelumnya ketika telah memutuskan "diam".
Ia kemudian beranjak ke kamar mandi.
Menyembunyikan apa yang dirasakannya.
Kami memang bagai bumi dan langit.
Aku yang tak henti berceloteh. Dan dia diam mendengarkan.
But, live is never flat..-
--
Ketika keluar dari kamar mandi, Dy terduduk di depan pintu.
Aku terus memaksanya bicara.
Karena aku benci "diam".
Terus memaksanya.
Dan ia terus diam.
"Kalau lo diem terus..lo bisa bikin gue bunuh diri..", lanjutku dalam isak.
Aku amat membenci dirimu.
Ketidakmampuanku saat ini.
-- dan akhirnya aku memang beranjak ke arah kamar mandi. Membungkuk untuk mencari pisau. Atau menenggelamkan kepala di air.
Itu yang terlintas....
Dy menyusulku.
Aku kemudian mendorongnya ke belakang. Menahannya.
Aku benar-benar ingin melakukannya. Tak perduli di depannya.
Memang bodoh dan naif.
Aku memang bodoh!
Lama terdiam di posisi kami masing-masing.
Dan akhirnya ia menarikku. Mengembalikanku di posisi semula. Di tempat tidurku.
Jiwaku memang sakit.
Kembali terus terisak.
Dekapannya begitu mendamaikan.
Tepukan tangannya terus menenangkanku.
.."jangan nangis terus..."
Kata-kata itu terus digumamkannya.
Dy,
Tak mampu kujanjikan itu.
Aku (masih) takut!
Jiwa dan ragaku sakit!
Aku benar-benar terluka...
Maafkan aku ketika melukai perasaanmu...
Terus menerus membuatmu menangis.
Di antara semua perbedaan yang kita miliki, tetaplah jadi sahabat hati.
Karena aku memang rapuh, jika harus jalan sendiri.
Dekaplah (terus) aku dalam damai..
Pintaku.
Tuhan,
Ampuni aku untuk kesalahan ketika keinginan mengakhiri hidup ini salah..
Aku (hanya) manusia biasa. Perempuan yang tersakiti oleh perjalanan waktu..
***

Monday, February 16, 2015

Nyanyian Sepi

Hh..desah napasku panjang, agar beban yang terasa kian berat ini semakin menghujam.
Maafkan..aku, Tuhan. Tak bermaksud untuk tidak bersyukur untuk semua kenikmatan yang telah Kau berikan.
Hari ini, aku telah menemukan kepingan puzzle masa lalu. Kembali.
Yaa..teman-teman kuliahku.
Hanya sedikit terganggu untuk celotehan yang menjadi stereotipe, "ari aku apa atuuh..daa.."
Duuh, aapaann..siih, batinku.
Mereka selalu mengatakan hal yang sama, ketika aku tanyakan kesibukan masing-masing.
Memang sebagian besar mereka memilih sebagai bunda.
Dan mungkin mereka tidak akan pernah merasakan bahwa itu sangat bermakna. Karena mereka belum pernah merasakan kehilangan keluarga.
Kebanyakan orang baru bisa menghargai ketika sudah dihampiri rasa itu. Baru benar-benar menyesal.
Dan, mungkin terpuruk karena baru tahu semua memang bermakna.
Duuh..Tuhan, sembuhkah luka hatiku. Hentikan tangisku yang menyesakkan dada ini.
Aku hanya ingin berarti. Yang memang menginginkanku.
Tangis ini tak kunjung berhenti. Seperti derai hujan di luar kamar.
Terus melarungkan luka. Yang memang tak kunjung sembuh.
Aku tak ingin dikenang sebagai orang jahat.
Aku hanya orang yang (mungkin) menanti kematian di kesendirian.
Hapuskan tangis ini..Tuhan.
Hadirkan kekuatan jiwa.
Luka ini begitu dalam. Bagai jurang yang tak terlihat dasarnya.
Bilur-bilur luka ini begitu menguak lebar. Bertambah lebar, karena memang aku belum mampu bangkit dan tegak.
Jendela yang buram, seburam mataku yang tersaput kabut airmata yang tetap menitik, sambil menguntai barisan kata-kata.
Aira..Aira..igauku, dalam mimpi.
Pun juga tak henti memanggil namanya.
Aku bagai titik kecil yang tak berarti. Dalam kehidupanku dan orang lain.
Cukupkan saja hari ini..Tuhan.
Apakah ini akhirku?
Terhujam oleh rasa sakit yang merobek angan dan mimpi tentang kehidupan yang lebih baik dari hari ini.
.......


Saturday, February 14, 2015

Secarik Surat Untuk Tuhan

Tuhan,
Yang kutahu,
Aku akan terus belajar memahami caraMu mengajariku tentang hidup.
Sementara..
Kesendirian di keramaian yang (mungkin) harus kumaknai dengan benar.
Hanya..
Maafkan aku, Tuhan. Ketika keimananku terasa tipis, karena sempat terlintas pilihan tidur di keabadian (saja).
Kehilangan yang kurasakan, memang bertubi-tubi.
Dalam kegelapan dan tanpa Matahari.
Aku menjelma menjadi pribadi yang sangat lemah dan rapuh.
Kembali menjadikan perjalanan ke gunung, darat, dan lautan sebagai jalan pelampiasan untuk menemukan kedamaian.
Tuhan,
Peluk diriku di kehadiran kebahagiaan.
Sebentar saja..
Karena aku malu jika ingin selamanya merangkulnya.
Sebab aku hambaMu yang (masih) berkubang dalam dosa, yang aku sadari maupun yang tidak.
Tuhan,
Nyanyikanlah untukku kedamaian dan ketenangan jiwa.
Walau yang kutahu, mungkin belum layak untuk meminta itu.
Tuhan,
Di sampingku Aira terlelap dengan wajah yang mendamaikan hati.
Terimakasih telah menghadirkannya dalam penggalan waktu yang tersisa.
Memaksa tidur di keabadian adalah kesalahan pikiran yang picik, sempit dan naif.
Tapi..Tuhan,
Kali ini..
Aku benar-benar merasa sendiri, terhukum olehMu.
Maafkan aku..Tuhan,
Untuk kelancangan ini.
Aku (hanya) ingin menjadi Vie..
Annisa Alviani, wanita kuat dan tegar yang selalu bisa bangkit dari keterpurukan hidup.
Menjalaninya dengan  keikhlasan, tawadhu, qana'ah, dan istiqomah.
Masih pantaskah aku memohon padaMu..Tuhan?
Masih layakkah aku meminta kehadiran sahabat hati dan teman jiwa?
Untuk melengkapi kepingan-kepingan kehidupan yang belum lengkap.
Yang menemani, mengingatkan dan saling menjaga.
Hingga akhir cerita itu tiba.
Hhh...
Maafkan (sekali) lagi..Tuhan,
Ketika aku terlalu memaksa..
Aamiiinnn,
*tangis, peluk, cium* 😢

Friday, February 13, 2015

Faith

Seing is believing,
Paaagiii..
Sapaan sederhana melalui sms itulah yang kini amat kurindukan.
Mmmm, sebelum komunikasi menggunakan BBM, WA, LINE, dkk, menguasai dunia komunikasi maya.
Di perbatasan waktu, sepulang kerja aku begitu bersyukur untuk satu hari (lagi) yang terjalani dengan 'alhamdulillaah..'.
Kerumitan berpikirku, begitu menjebak kesendirian tanpa tepi.
Hhh, yaa..Rob, damaikan hati dan pikiran ini.
Aku hanya ingin bahagia yang sederhana. Yang memang sering kurasakan, sebenarnya.
Dirasakan saja. Karena memang tak selamanya harus dengan rangkaian kata-kata.
Yaa..itulah dia.
'Chokyy..diiaam.'
'Itu hamster betinaku, yang memang gemar berputar di wheel yang ada di kandang. Sedikit gaduh. Sementara Temmy masih meringkuk pulas.
'Masa..dinamai begituu..' protesku.
Sejak Minggu, aku memang memilih sepasang hamster untuk menemani hari-hariku.
Aira, begitu bahagia ketika melihat mereka. Mata sipitnya berbinar indah.
'Mommy..look, they're so cute..' ia terus memberikan potongan wortel pada mereka, yang memang tak berhenti makan. Hahahaa.. so gembul, batinku.
'Yaa..sayang.'
Aku terus memperhatikannya dari sudut ruangan. Kelalaianku, yang sering menunda pekerjaan, membuatku benar-benar tersiksa. Dateline..sudah semakin dekat.
Maafkan Bunda..sayang, sesalku yang memang sudah terlambat.
Begitu bahagia karena Dy berkenan menemani Aira bermain bersama hamster-hamster itu.
Kebahagiaan yang terpancar begitu sederhana. Kebersamaan.
Terimakasih..Tuhan, untuk semuanya.
Hari ini sebenarnya pekerjaanku tak begitu padat. Hanya beberapa naskah yang harus kuedit. Tapi semua membutuhkan konsentrasi. Dy sudah memahami kebiasaanku yang terlalu fokus, ketika dikejar dateline. Maka seperti biasa, dia akan berusaha meluangkan waktu  menemani Aira. Gadis kecilku, begitu akrab dengannya sejak pertemuan pertama. Hhh..andai saja...
Sekelebat mimpi mengusik memori dalam pikiranku.
Let it be..
Always reason behind something.
Perjalanan di kesendirian, memang mengajariku banyak hal. Tuhan sedang bicara denganku, yang tak hentinya menanyakan, 'apa aku..baik?', 'apa aku tak layak bahagia?', dan semua itu hanya menyiksa batinku yang memang telah terkoyak. Tercabik-cabik dalam realitas yang mungkin tak pernah singgah di kehidupan orang lain.
Perenungan yang terlalu dalam inilah yang kemudian membuatku menunda banyak pekerjaan.
Waalllaaa...
Stop!
Cukupkanlah aku dengan rasa syukur untuk semua nikmat dalam kehidupan..Tuhan.
Aku masih punya Dy, yang sering mengantarkan banyak kebahagiaan tulus yang sederhana. Tanpa banyak kata-kata. 'Rasakan saja..Vie.' Ujarnya di satu penggalan waktu.
Di sampingku, kumiliki Aira. Permata hati yang masih kugenggam dan tersemat indah di hati.
Perjalanan memang harus dinikmati. Tak selalu indah. Begitulah...
Tuhan, beri kedamaian dan pinjamkan kesabaranMu. Hapuskan amarah, sedih, gundah... melalui buliran bening yang mengalir di pundak Dy pagi ini.
Sirnakan semua kepedihan. Larungkan bersama titik-titik hujan.
Hadirkan kembali keseimbangan. Yinyang. Amiinn...

Dan..
Mataku terus menatap punggungnya, melalui  jendelaku hingga menghilang di ujung jalan.
Makaasiiihhh...Dy. *hugs,

Tuesday, February 3, 2015

(Hanya) Butiran Debu

Aku bukan pujangga...
Ini diriku, apa adanya....

Samar deretan lagu mengalun dari playlist. Terus menulis untuk memberi oksigen untuk paru-paruku. Menyesak tanpa batas.
Aku sedang membenci diriku sendiri.
Menyembunyikan tangis dari Aira. Tak ingin melukai hatinya.
Tuhan,
Aku sedang kehabisan kata-kata untuknya.
Hanya bisa menitipkan rindu dari jauh.
Begitu jaauuuhh...rasanya, jarak yang terbentang ini.

"Sayaang, mau roti bakar ga?", tanyaku pada Aira yang sedang menghabiskan susunya, sambil tertawa riang menatap kartun kesukaannya..
"Yaa..Bunda, jawabnya singkat, ...pakai coklat yaa.." lanjutnya kemudian.
"...mmm, lupa yaa..," ujarku sambil mengusap rambut ikalnya.
Mata sipitnya tertegun, menatapku penasaran.
"Apa..Bunda?"
"....tooloong."
"Oo..iyaa, maafkan Aira..Bunda.  Toloong, pake coklat.."
Ia memelukku erat.
Duuhh, Tuhan..
Terimakasih telah mengirimkannya padaku sebagai pelipur lara.
Di antara keterbatasan waktu, kepedihan dan semua kejadian yang (mungkin) mendewasakanku, Aira adalah hadiah terindah dari Tuhan. Walau aku merasa (hanyalah) butiran debu.
***

Haaii...haaiii, apa kabar semua? Cuaca memang sedang mendung yaa, tapi izinkan Vie menemani kalian yaa.. 
Untuk sekedar berbagi rasa, di antara deretan tembang.
.....,

Sejurus kemudian, di tengah lagu yang kuputar, Eggi mengetuk kaca.
"Apa..?" tanyaku
"Nanti beres siaran temui aku yaa.."
"Ok."
Dia berlalu tanpa memberikan penjelasan untuk kerut keheranan yang tergambar di keningku.
***

"Ada apa..Gi? Tumben cariin gue."
"Aahh..bahasa lo. Kesannya gue cuma nyariin kalau terjebak dalam masalah..," jawabnya sambil meninju pelan bahuku.
Sahabatku ini memang tak banyak bicara. Dia selalu mengingatkanku.
..batasi bicara lo, ga semua orang suka sama ocehan lo.
..lo tau ga, banyak yang suka bicarain lo..Vie, di belakang lo.
..teman tak selamanya jadi teman...
...dst.
Yaa, kuakui..
Memang aku terlalu banyak bicara. Seringkali spontan bicara, dan menyampaikan kritik.
Hhhmm, diam itu memang emas (nampaknya).
"Lo lagi ada masalah? Muka lo kusut banget."
Mmm...duuhh, beri aku kekuatan.
"Gi..apa tujuan hidup gue?"
"..eehh, buuseet.. istighfar Vie. Otak lo kram yaa..?"
"Ngga..cuma gue putus asa..Gi. Di keluarga, temen dan tempat kerja, gue berasa ga ada.."
"Duuh...Vie, parah lo yaa.. mungkin lo butuh di ruqyah. Jelek gitu pikiran lo. Semua perjalanan ambil hikmahnya. Kita kan ga harus selalu mempertanyakan semua kejadian."
...ruqyah...
Kata itu seperti memanggil Dy. Dia pernah mengatakan itu.
Menurutnya, aku terlalu "aneh" dan negatif.
Hhhh, aku hanya (terlalu) trauma.
"...Viiiiee...."
Aku terkesiap, tersadar dari lamuunan yang kucipta.
"..iyyaa...Gi."
"Giihh.. lo langsung pulang yaa.. bahaya kalau bengong terus gini. Teu konek wae.., suruhnya, hati-hati di jalan. Kalau lo udah siap cerita, hubungin gue..yaa?"
Aku pun terdiam, dan mengangguk.
***

Secangkir kopi hitam kental telah menemani pagiku.
Terbangun dengan pening.
Aira sedang menginap di rumah ibu untuk mengisi liburannya. Aku tak bisa menemaninya sepanjang waktu.
Pekerjaanku terlalu menumpuk.
Dy,
Di mana..dirimu kini?
Kenapa semua harus tanpa kata.
Katakan sesuatu..
Aku, putus asa!
Bantu, sederhanakanlah..pikiranku.
Lakukan sesuatu.
Sebelum aku bunuh diri.
***

Sunday, February 1, 2015

(Hanya) Catatan Kecil

Malam beranjak, jelang dini hari. Mataku tak kunjung terpejam. Tangis yang panjang tanpa jeda belum juga bisa kuhentikan. Semua hanya dalam dia dan kesendirian.
Aira tetap terlelap dengan mimpinya. Ia satu-satunya alasan aku bertahan hidup. Tetap memeluk bonekanya. Hhh, maafkan bunda sayang..belum mampu hadirkan hidup yang lengkap dengan bunga keindahan.
Dy,
Selanjutnya (hanya)
untukmu perjalanan melintasi waktu ini. Mungkin semua akan terjawab dalam diam.
Berulangkali..aku membuatmu marah untuk semua pertanyaan dan jawaban, atau topik obrolan yang menyebalkan. Bukan tanpa alasan, dalihku dalam diam. Aku tak pernah merasakan, ketakutan yang teramat sangat. Semua karenamu.
Aku kembali merasakan hidup dan lengkap. Bersamamu. Aira pun telah jadi bagianmu.
Maafkan..Dy. Ampuni..
Jika tak kunjung kurasakan damai dari semua itu.
Aku tak ingin kehilanganmu.
Perdebatan yang sering kita lakukan, mungkin tahapan lain yang harus kita jalani dan hadapi. Tak mudah memang. Tapi berjanjilah bahwa kau akan tetap bersama. Menemaniku dan Aira. Hanya dirimu yang kumiliki saat ini..
Airmata ini kembali mengalir mengabut.
Rasa sakit belumlah hilang.
Entah apa obatnya..
Mungkin diriku sendiri yang masih belum ikhlas melepas kecewa dan sedih.
Walau benar kuakui, tanganmu hangat menggenggam.
Dekapanmu menenangkan jiwa. Bisakah..aku jad bagian hidupmu? Selamanya.
***
Catatan yang kutulis di diary malam ini, sedikit membuatku lega.
Masih menantikan pagi dengan warna pelangi.
Semua harus kulakukan, membuka lembaran baru.
Tuhan,
Aku memang tak pernah tahi gambaran masa depanku kini.
Namun..izinkanlah kedamaian perasaan tetap ada menemaniku sampai di masa depan itu.
Ajarilah aku untuk berdamai dengan kehilangan, kesedihan dan ketakutan.
Perkenankanlah..Dy selalu menemaniku dan Aira.
Maafkan aku..Tuhan, jika meminta (terlalu) banyak.
Aamiiin....
***

Tuesday, January 27, 2015

Let me.. Let it be..

Tak ada hal yang sederhana, ketika kita memutuskan untuk berhubungan dengan komunitas atau seseorang.
Jika harus terjatuh karena gesekan komunikasi..let it be..
Karena dari sanalah kita belajar.
Yaa, belajar memahami dan mengerti. Mencari jalan tengah yang akan menyatukan kebaikan.
Perbedaan seharusnya tak dilihat sebagai ancaman.
Itulah caraNya mendewasakan kita.
..mmmm, buliran-buliran bening mengiringi tulisanku kali ini.
Berulangkali memanggil namanya dalam diam dan hening sepetak rumah singgahku ini.
Seharusnya aku tak takut..tak perlu lagi mencari masalah.
Tapi..sudahlah, memang semua sudah (semestinya) terjadi. Let it go..
Aku terbangun..
Selalu terbangun pukul 2 dini hari, jam berapa pun aku terlelap.
Perutku kembali nyeri. Menusuk. Aku tak ingin mengganggunya. Semua harus kuhadapi. Dalam diam aku memegang perut dan menekuk kaki hingga menekan perut. Hanya itu cara yang bisa meredakannya. Sementara saja..
Duuhh..Gusti nu Agung, paparin kakiatan, desahku..
Allohu Jabbar..Allohu Jadiir..
Berulangkali kubaca semua penggalan ayat yang kuingat.
Tuhan..kuatkan aku.
***
Di sebelah pojok ruangan ini, burung-burung bangau kertas masih belum terangkai.
Senbazuru..
Tradisi yang dimiliki oleh orang Jepang, untuk mewujudkan impian-impiannya. Membuat 1000 burung bangau kertas.
Tadi Aira bersorak gembira.., "waah asyiik, Mommy bikin burung-burung lagi". Dan melompat memelukku erat serta menciumiku. "..iyya..iyaa sayang, lepaskan pelukanmu dulu. Mommy ngga bisa napas niihh," ujarku. Bahagia tak terperi ketika melihatnya tersenyum begini.
Mm..semoga ia tetap seperti ini, desahku kini.
Mataku sembab. Menangis lagi. Setelah memutuskan untuk sholat witir, alhamdulillah.. semua berangsur membaik dan menenangkan.
Tuhan.. izinkan aku memilikinya sejenak. Di sisa waktu yang kumiliki..
Kusesap capuchinoku perlahan. Menikmatinya diiringi azan Subuh. Duuh..mataku belum terpejam. Hanya terpenggal di hitungan menit.
Belum mampu menenangkan pikiran yang terus berdialog dengan hatiku.
Hhhh... kulihat Aira masih memeluk mimpinya. Boneka racoon kesayangannya masih dipeluk erat. Ia merindu.
Dy,
Di manapun kau kini, kuminta lihatlah langit. Kutitipkan banyak kata-kata yang tak pernah kunyatakan.
Kita memang melintasi banyak perbedaan kini. Pergesekan yang luar biasa. Tapi.. tetaplah di sini. Jadi Bintangku dan Aira.
Tetaplah jadi Dy yang kukenal dulu. Sebelum gadget membentangkan jarak yang tak semestinya.
Ini..hanyalah masalah waktu dan adaptasi. Antara aku, kau dan Aira.
Jangan pernah letih, walau sering tertatih.
Pegang tanganku, genggamlah erat.
Cukup katakan.. "semua akan baik-baik saja.. Vie."
Pelukanmu. Kecupan hangat itu tetap di sini. Tersimpan di ruang rindu. Di hati kami. Aku dan Aira.
Let me be the one...