Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Monday, December 30, 2013

AKU: Masih (tetap)-Perempuan-Biasa



Aku,
Merindukanmu dalam PERJALANAN bersama di antara WAKTU,
Mendambakanmu di ribuan kilometer pada dentingan masa,
Melukiskanmu di semburat LAZUARDI yang terlintasi,
Untuk mampu menenangkan kegundahan tak (jua) berujung di senja ini.

Aku,
Mencemaskanmu di dinding sunyi malam yang mendekap,
Mengkhawatirkanmu di sepi PERJALANAN dawai hati yang membekap,
Yang selalu berusaha menghentikan kegamangan negatif tentangmu,
Namun tak kunjung beranjak (jua) semua itu.

Aku,
Memang belum mampu kembalikan dunia di telapak tangan,
Masih belajar berdamai dengan kegelisahan yang (tetap) menjabat erat jiwa,

Aku, 
Yaa,(memang) masih aku....

Yang dulu mengenalmu dalam keheningan,
Menyimpanmu (selalu) di bilik kerinduan tiada hentian dan tepian,

Yang kini menyapamu di kesunyian,
Mengharapmu (selalu) berkenan menemani dalam hitungan hari,

Yang nanti menyalamimu di kebisuan,
Menghimpunkanmu (selalu) dalam lembaran hati yang terserak dan tercabik,

Untuk,
Menyulamkannya (kembali) di keindahan nuansa BUKU JIWA,


Aku,
Yaa, memang (akan) jadi aku,
Tetap (pada)mu,
Di hitungan WAKTU....


#TerlanjurSayang-Memes

Tuesday, December 17, 2013

#I love you... Mom



Paris van Java, Penghujung 2013

Bunda,
Apa kabarmu?  Mudah-mudahan rahmat Tuhan selalu mampu menjaga Bunda, lebih baik dariku. Rasanya sudah lama kita tidak duduk bersama, bercengkrama dan berbagi cerita.  Ingin membagi kebahagiaan menyaksikan keindahan kota ini bersamamu.  Jarak hati, waktu dan jarak yang kini memisahkan memang terasa begitu menyesakkan dada.  Namun cinta memang tak pernah salah untuk memilih kepada siapa ia akan berlabuh.  Maka, jika memang kali ini kita ada di persimpangan jalan, kuharap satu saat nanti Bunda mampu menerima semua keputusan ini dengan keterbukaan pikiran dan kejernihan hati.

Bunda,
Ini bukannya tanpa makna.  Pun juga bukan terputuskan dalam ketergesaan.  Semua telah melalui belasan candra di tahun ini, ratusan jam serta detik yang tak terhitung sebelum kini.   Jangan lupa tanyakan buliran airmata dan hujan yang tertetes menemani perjalananku di kesunyian hati. Tak pula ini yang (benar) kuinginkan, namun jika memang ini takdirNya, maka aku hanya bisa menerima dengan lapang dada walau tetap dengan airmata.  

Bunda,
Seandainya kau tahu, terlalu banyak luka yang tak pernah kuceritakan padamu, karena kutabukan diriku untuk memaparkan kedukaan ke pangkuanmu... Bunda.  Hanya kusimpan di hati dan pikiranku sendiri (saja).  Ini kumaksudkan agar tak lagi menyakiti perasaanmu (lagi).  Namun ini pulalah yang menjadi celah untuk menyudutkanku di sisi pandangmu kini.

Bunda,
Apapun adanya pemikiranmu tentangku kini, aku tak begitu perduli.  Yang kuingin... hanyalah dekapan hangat kasihmu, untuk menyembuhkan lukaku, mengeringkan airmata yang selalu tertumpah mengingatmu.   
Maafkan aku yaa.. Bunda.  Hingga detik ini aku berdiri, belum mampu sedetik pun memberikan lengkungan senyuman di wajahmu dan membahagiakanmu dalam arti yang sebenar-benarnya.  Tapi Bunda... cukuplah catat di dalam hatimu, bahwa aku teramat menyayangimu lebih dari diriku sendiri.   
Tak ada yang mampu membuatku terjatuh dan gagal untuk bangkit, selain merasakan jarak antara kita kini.  Sakit... Bunda, teramat sakit.

Bunda,
Kini.. aku memang sedang tak mampu menata hati untuk menyederhanakan kegalauan dan kekalutanku tentangmu.  Maka surat ini kubuat untuk kutitipkan di dingin malam yang menyentuh beku dinding hati.  Besar harapan agar esok hari, kala terbit Mentari mampu menghangatkan (kembali) ruang jiwamu, untuk kembali menatapku dengan kelembutan perasaanmu. 

Bunda,
Apapun adanya aku kini... Tak satu pun dapat memupuskan  semua rasa yang ingin kutangkupkan dalam do’a dan airmataku untukmu.  Cintamu, bagaimana pun wujudnya, tetap menjadi penerang jalan dan penguat hidup yang terjalani. Aku tetap selalu menunggumu di ujung jalan ini.

Jaga selalu kesehatanmu ya.. Bunda.  I always love you... Mom.

Peluk cium,
VIe

Saturday, December 14, 2013

@CatatanAngan



Sejenak, terpekur menatap lurus ke depan.  Melihat Bandung yang berkabut, seolah mengerti sisi gelap yang tengah menyelimuti hatiku.  Pikiran ini tak jua berkompromi untuk kembali di titik positif.  Aku mengubah posisi duduk, menatapnya dalam diam.  Mendengarkan ceritanya, memperhatikan gerak bibir dan ekspresi wajahnya. Duhh.. rasanya tak kuat menahan tawa.  Banyak sekali yang bisa menjadi kenangan indah darinya.  

Yaa... di tengah gerimis, aku memang memintanya untuk menemaniku menepikan hari.  Ingin menyaksikan sunset.  Namun hujan memang sepertinya belum berhenti.  Maka hamparan putih kabut yang menyelimuti Bandung pun tetap jadi pemandangan yang indah, hiburku.  Semua selama bersamanya.

Tempat ini teramat sering kami kunjungi.  Sebuah kafe dengan pemandangan yang luar biasa.  Pengunjungnya lumayan banyak.  Tapi datang silih berganti, hingga tak terasa padat.  Situasi inilah yang ingin kami cari.  Ketenangan.  Biasanya kami bisa duduk berjam-jam di sini.  Karena memang nyaman sebagai tempat berbagi cerita.  Menunya pun beragam.  Namun karena frekuensi kami memang sangat sering, dan selalu mencoba menu yang berbeda, maka hampir semuanya sudah tercicipi.  Hmmm... aku pun berusaha memenuhi paru-paru dengan udara dingin yang menyengat. 

Untung mengenakan sweater berlapis.  Walau pun begitu, perlahan rasa gatal menghinggapi.  Haahh.. kaligataku kumat.  Aku memang alergi dingin dan AC.  Aneh..... karena aku memang tumbuh dan besar di bawah pengunungan tertinggi di Indonesia. Tetap saja aku memiliki kelemahan ini.  Maka di masa kecilku, penghangat ruangan yang ada di kamar selalu ada di suhu yang lumayan tinggi.  Selalu membuat Mas dan adikku protes kepanasan.  Yaah.. akhirnya mereka juga yang harus mengalah, karena memang kalau tidak, aku akan terus mengganggu karena mengerang dan berkeluh kesah sepanjang malam.

Ketika kami datang, Cuma ada sepasang pengunjung.  Mereka sudah selesai makan dan hendak bersiap pulang.  Biasanya tak sesepi ini.  Mungkin karena hujan yang mengguyur cukup deras, hingga banyak yang enggan beranjak dari rumahnya.  Ini pun sempat kutanyakan padanya.  Membelah hujan, bukanlah hal yang mudah dilakukan.  Banyak tanya kulontarkan, dan ujungnya.. 

“Aahh.. sudahlah, ... skip....”
“Lo ribet yaa...” 

Yaa... aku memang sedang dilanda keribetanku sendiri.  Terjebak di pemikiran-pemikiran (dalam) tentangmu.  Aku tak henti membayangkan masa depan yang memang belum pasti dan kuketahui.  Ingin bertanya, berjuta tanya, namun semua seperti tak terjawab.  Aku memang lebih sering menatapmu dalam diam.  

Aku masih rindu padamu..

Aku masih sayang padamu, meski cintamu bukan aku...

Lagu Yovie ‘n Nuno yang mengalun di playlist, semakin membuat kabut di mataku menebal.  Tiba-tiba, ia melakukan manuver ekspresi yang luar biasa lucu.  Dan tawa yang sudah lama kutahan pecah sudah.  Tak sengaja menyemburnya.  Ia terkejut luar biasa.
“Biasa.. aja kaliii...” sambil mengusap muka.
“Iiih.. maaap atuuh lah, lo luuccuu...” sambil membantunya.

Ah.. hari yang meredup ini mulai mengaburkan kabut di bawah sana.  Coba kembali melepaskan gundahku.  Tak diizinkan pun masa lalu akan pergi, dan tak diharapkan pun.. masa depan pasti datang.
Tak pernah terbayangkan olehmu (mungkin), perasaan yang terasa jika membaca tulisan-tulisanmu dengan (....sayang...).  Selalu terbangun  di gelap malam, manakala bersama dingin malam untuk merasakan degup jantungmu yang tenang mengalunkan kidung kasih.

Kegelisahan ini menapak di puncaknya.  Rasanya berhenti di satu titik.  Tak banyak yang ingin kuungkap dan katakan di antara semua kebimbangan.  Bisakah kuselalu ada dalam hidupmu....?  Bernapas dengan rasamu..? 
Baru bisa kembali terlelap, dengan HP yang tergenggam setelah mengetikkan kalimat yang ingin kunyatakan.  Menyimpan semua luka di jiwa.

*******
Jelang esok hari yang kuharapkan.

Paagiii... Mentari.

Hal yang sudah sangat lama tak dilakukannya.  Semua untuk sedikit memberi ruang yang melegakan di paru-paruku.  Ingin menutup tahun bersamanya... (mungkinkah?)
Perjalanan rapat ini benar membosankanku.  Aku sedang tak bisa berkonsentrasi dan fokus. Hhhhh... berulang kali menghela napas untuk melepaskan kegundahan yang tak kunjung pergi.  Sudah 4 hari.  Hanya ingin menikmati hari (selagi bisa) bersamanya.  Meluangkan waktu untuk menemaninya mempersiapkan "moment"nya.  

deJa Vu....

Selalu tampan menggunakan semua baju yang dicobanya.  Pssst.... selalu dapat mengalihkan perhatian kaum hawa.
“Hhh.... dompetku ketinggalan..” keluhnya setelah menerima telpon.
“Dimana?,” tanyaku.
“FO... nanti kau saja yang turun mengambilkan itu yaaa..?” pintanya.
“Hmm... iye..iye.... Yuuk... basah niih..”
Ia pun bergegas memutar arah motornya untuk kembali ke kampus.  Kadang memang kita seringkali harus menghentikan langkah untuk sebuah awal yang baru yang lebih baik.  

Banyak yang mengatakan, aku nampak galau dan risau.  Semua tergambar jelas di mata dan wajahku.  Aku tak tahu pasti.  Mungkin aku memang sedang terperangkap pada pergulatan pikiran, hati dan perasaanku sendiri,  Belum mampu menyederhanakan semuanya dengan logis.  

“Vie...”
Lamunanku buyar.  Sudah ada di parkiran kampus.  Aku bergegas turun untuk mengambilkan dompetnya.  Pasti ini akan membuat heboh Ina dan kawan-kawannya.  Tapi.. biarlah.  Tak memperdulikan lagi apa yang ingin oran komentari tentang semua yang terkait dengan ini.
Berjalan melangkah masuk dan menghampiri petugas FO yang terheran menatapku.  Hanya mengatakan keinginanku, lalu berlalu meninggalkan setumpuk pertanyaan yang tak penting untuk kujawab. 

Perasaan gamang ini lebih mendominasiku.  Berusaha menuliskan goresan indah di kanvas hati saja.  Menuntunkan langkah baru untuk masa depannya.  Menjadikannya indah pada waktunya.   
Dan... tak putus berharap, semoga... semoga... aku selalu ada di setiap langkahmu.. yaa sayang?  (boleh kupanggilkan itu?)  *hugs,

Malam ini kututup dengan tangis.  Kini seringkali selalu terlupakan untuk mengucapkan “terimakasih” untuk hari yang terjalani bersamanya (lagi).  Ku tak ingin melupakan untuk bersyukur untuk setiap detik yang telah terjalani.  Maka ketika catatan harian itu terhapuskan oleh sistem, aaargghh...   Yang baru saja terjadi teramat memukul hati.  Pesan-pesan “indah”nya terhapus dari memori HPku.  Ahh.. tak sempat buat backupnya.  Mengetikkan emotikon menangis untuknya.  
Mungkin itu tak penting buat kebanyakan orang.  Namun bagiku, catatan itu merupakan nyawaku.  Yang menguatkanku.  Hhhhh....

Malam ini, aku terduduk di kebeningan sepi dan menyesap kopi hitam panas yang mengepul.  Mengumpulkan energi yang terserak, agar tak tersia.  Memang tengah berupaya terlelap kembali, untuk dapat menyusulmu dalam mimpi yang telah dipenuhi rindumu...
Menuliskan deretan kalimat yang mewakili rasa;


Tak ingin melihat (lagi) masa lalu,
Walau melangkah di keheningan,
Aku adalah Kau,
Jika tetap kau inginkan itu,
Tak pernah terbatas waktu..

Meneruskan langkah,
Walau hari memang berganti (tanpa) riuh,
Aku adalah Jiwamu,
Jika itu yang kau minta demikian,
Tiada jeda di antara masa....


Aku memang bukan siapa-siapa,
Tak juga ada di lintasan masa,
Hanyalah sesaat jeda,
Dan selalu menjadi koma,

Di dalam diam, kusimpan rasa..
Di dingin malam, kutitip rindu...
Di tetesan hujan, kutangkupkan do’a...
Di sejuk embun, kunyatakan cinta...
Semua terangkum di ketulusan jiwa,

Masa lalu memang akan tetap berlalu, walau (tak) kuizinkannya..
Masa depan selalu datang menghampiri, meski (tak) terpikirkan itu..

Apa kabar... HATI?
Masihkah... SEPI?

Bintang,
Kubutuhkan kilasan cahaya..
Rembulan,
Kuperlukan sekerlip terang..
Pagi,
Kumintakan setitik benderang..
Malam,
Kurindukan sedetik tenang...
Embun,
Kuinginkan setetes kesejukan...
Angin,
Kuharapkan sehembus semangat...

Jika hatimu tengah mematah,
Pinjamlah kakiku untuk menemanimu melangkah...


Kututup semua dalam tangkupan do’a...
Terpejamkan mata, melepaskan angan, melesatkan impian dalam damai mimpimu,
Izinkanlah....(merindumu),
[bolehkah?]

@VD