Paris
van Java, Penghujung 2013
Bunda,
Apa
kabarmu? Mudah-mudahan rahmat Tuhan
selalu mampu menjaga Bunda, lebih baik dariku. Rasanya sudah lama kita tidak
duduk bersama, bercengkrama dan berbagi cerita.
Ingin membagi kebahagiaan menyaksikan keindahan kota ini bersamamu. Jarak hati, waktu dan jarak yang kini
memisahkan memang terasa begitu menyesakkan dada. Namun cinta memang tak pernah salah untuk
memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Maka,
jika memang kali ini kita ada di persimpangan jalan, kuharap satu saat nanti
Bunda mampu menerima semua keputusan ini dengan keterbukaan pikiran
dan kejernihan hati.
Bunda,
Ini bukannya tanpa makna. Pun juga bukan
terputuskan dalam ketergesaan. Semua
telah melalui belasan candra di tahun ini, ratusan jam serta detik yang tak terhitung sebelum kini.
Jangan lupa tanyakan buliran airmata dan hujan yang tertetes menemani perjalananku di kesunyian hati. Tak pula ini yang (benar) kuinginkan, namun jika memang ini takdirNya,
maka aku hanya bisa menerima dengan lapang dada walau tetap dengan airmata.
Bunda,
Seandainya kau tahu, terlalu banyak luka yang tak pernah kuceritakan padamu, karena
kutabukan diriku untuk memaparkan kedukaan ke pangkuanmu... Bunda. Hanya kusimpan di hati dan pikiranku sendiri
(saja). Ini kumaksudkan agar tak lagi
menyakiti perasaanmu (lagi). Namun ini
pulalah yang menjadi celah untuk menyudutkanku di sisi pandangmu kini.
Bunda,
Apapun
adanya pemikiranmu tentangku kini, aku tak begitu perduli. Yang kuingin... hanyalah dekapan hangat
kasihmu, untuk menyembuhkan lukaku, mengeringkan airmata yang selalu tertumpah
mengingatmu.
Maafkan aku yaa.. Bunda. Hingga detik ini aku berdiri, belum mampu
sedetik pun memberikan lengkungan senyuman di wajahmu dan membahagiakanmu dalam
arti yang sebenar-benarnya. Tapi
Bunda... cukuplah catat di dalam hatimu, bahwa aku teramat menyayangimu lebih
dari diriku sendiri.
Tak ada yang mampu
membuatku terjatuh dan gagal untuk bangkit, selain merasakan jarak antara kita
kini. Sakit... Bunda, teramat sakit.
Bunda,
Kini..
aku memang sedang tak mampu menata hati untuk menyederhanakan kegalauan dan
kekalutanku tentangmu. Maka surat ini
kubuat untuk kutitipkan di dingin malam yang menyentuh beku dinding hati. Besar harapan agar esok hari, kala terbit Mentari
mampu menghangatkan (kembali) ruang jiwamu, untuk kembali menatapku dengan
kelembutan perasaanmu.
Bunda,
Apapun
adanya aku kini... Tak satu pun dapat memupuskan semua rasa yang ingin kutangkupkan dalam do’a
dan airmataku untukmu. Cintamu,
bagaimana pun wujudnya, tetap menjadi penerang jalan dan penguat hidup yang
terjalani. Aku tetap selalu menunggumu di ujung jalan ini.
Jaga
selalu kesehatanmu ya.. Bunda. I always
love you... Mom.
Peluk cium,
VIe
I would rather "I Love you.. Mom" than other, because of all the stories about mother could make me thouched and shed a tear..
ReplyDelete