Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Thursday, December 5, 2013

SEMESTAKU: Cerita dalam Hening




Jika aku bukan jalanmu..
Kuberhenti mengharapkanmu...
Jika aku memang tercipta untukmu...
ku ‘kan memilikimu...

Haaii... haaaii....
Paagii.. Mentari, sapaan ini sudah mulai jarang Vie sampaikan ke kalian yaa..
Yaah, memang tergerus kesibukan juga, jadi baru kali ini Vie bisa siaran pagi lagi.  So.. untuk mengobati itu semua, Vie sudah susunkan tembang-tembang cantik di play list yang ‘kan temani aktifitas kamu.

Well,
Percayakah dirimu akan perjalanan takdir yang akan menemukanmu dengan “soulmate”?  Masih banyak yang meyakini bahwa dia yang berada di sampingmu itulah belahan jiwa.  Tapi... sebagian lagi percaya, bahwa terkadang “soulmate” sejati, seringkali bukan orang yang kini berjalan bersamamu.
Hmmm... rasanya aneh ya?
Kalian pilih yang mana... guys?

Rasanya Vie... pengen percaya tentang ini.  Tapi yang Vie alami siihh... memang pendapat yang kedua.  ‘ntah kalian.  Cara ngetesnya bagaimana... coba?
Katanya, jika kau tutup matamu, orang pertama yang kau ingat itulah belahan jiwamu.  Dan kau selalu merindukannya, merasakan waktu tak pernah cukup.  Eh? benar ga.....
Ahh... dari pada berdebat panjang.  Dengerin lagu Afgan ini yaa....

Tenanglah kekasihku Ku tahu hatimu menangis Beranilah tuk percaya Semua ini pasti berlalu Meski takkan mudah Namun kau takkan sendiri Ku ada disini .. Untukmu aku akan bertahan Dalam gelap takkan kutinggalkan Engkaulah teman sejati Kasihku di setiap hariku Untuk hatimu ku kan bertahan Sebentuk hati yang kunantikan Hanya kau dan aku yang tahu Arti cinta yang tlah kita punya Beranilah dan percaya Semua ini pasti berlalu Meski takkan mudah Namun kau takkan sendiri Ku ada disini ..


Selama siaran hari ini, yang kulakukan hanya memandangi foto imut yang ada di telpon genggamku.  Kenangan yang tak terlupakan darinya.  Yang mampu membangkitkan semangat dan terus menghadirkan kerinduan tanpa henti.

Sepanjang hari, terus kurindukannya.  Menutup mata.  Menghadirkan bayangnya.  Tak apalah.  Aku tak menyukai keheningan ini.  Siaran yang kujalani selalu menghiburku dalam sepi.  Bersandar padanya selama berapa bulan, membuatku menjauh dari kemandirian perasaan.  Ini yang amat menyakitkan. 
Tapi ini membuatku bahagia.  Bahagia merasakan menjadi wanita.  Satu momen yang tak pernah kumiliki sebelumnya.

Yaa... karena memang selama ini, aku adalah sosok wanita mandiri.  Tak pernah takut mendaki gunung setinggi apapun itu.  Hmmm...
Rasanya perubahan itu tetap akan menjadi angin segar dalam hidup kan?  Maka jika itu menghampirimu, cukup katakan “iyaa... selamat datang perubahan...” and... give a big smile and hugs.”
Itu aku yang dulu.  Awalnya tak mudah.  Namun perjalanan sang Waktu pun memang akan menjemput keberanian untuk menerima takdirNya dengan lapang dada.  Yang kukatakan padanya, “Izinkan saja... aku menyayangimu.."

Itulah inspirasi tulisan dan bahan yang aku jadikan script siaran.  Kebersamaan yang kini kuretas bersamanya, memang menjadi bagian misteri kehidupan.  Masih menanyakan “why”?
Namun... mulai kuheningkan di dinding malam yang bisu saja.
Biarkan mengalir bersama Sang Waktu.

Bulan ini, adalah bulanku.  Bulan kelahiranku, dan banyak anugerah yang kurasakan.  Tak jua cukup rasa syukur untuk menggambarkan rasanya. Keindahannya.
Bulan ini juga, jejak-jejak yang tertinggal serasa semakin dekat.  Aaahh... kabut pun juga menyaput di langit kehidupanku.  Itulah kodrat hakiki kehidupan.
Langit kelam akan selalu ada, untuk membuktikan keindahan langit cerah.
Hujan hadir untuk menyatakan hangat mentari.
Bintang ada di langit kelam, untuk membuktikan bahwa sekecil apapun selalu ada maknanya.  Karena sebenar-benarnya, bukan masalah besar atau kecil, semua hanya terpatri dalam sisi pandang kita saja, ketika melihat.

Hmmm....
Jika kurunutkan kejadian tahun ini, terpukau dan selalu mengucap syukur untuk semua kesedihan dan kepedihan, yang kemudian menghadirkan Dy dalam hidupku. 

Bulan ketiga itu, tiba-tiba mendekatkanku padanya.  Atas semua peristiwa yang sama sekali tak pernah terbayangkan.

Bulan keempat mulai mendapati perjalanan yang “luar” biasa.  Mengurai kedekatan dan membuka komunikasi tak berjarak.  Komunikasi positif dengan kesantunan positif sajalah...
“panggil aku... Vie saja,” itu pintaku.
“Aku ga bisa dan terbiasa dengan itu..” tolaknya halus.
please... just do that...” pintaku untuk mulai membuka komunikasi.

Di satu kesempatan...

“Vie...”

Ah... akhirnya, terlontar juga panggilan itu.  Membuat semua perbedaan yang terbentang ini mendekat di persamaan saja.  Bukan menghilangkannya.  Hanya mulai mengurangi jaraknya.

Bulan Kelima, aku sering meminjam bahunya untuk melepas kegetiran yang terasa.  Di suatu pagi... kututup smsku dengan “Dy”.

Dy?.... g salah sms?, tanyanya manjawab smsku.
Namamu berujung “Dy” kan?”
yaa..
So.. that’s way I wanna call u.  Is that ... ok?
Gpp....

Saat ini, kebiasan mengirimkan pesan singkat untuk menyapanya setiap pagi dan malam, hampir tak pernah kulakukan.  Rindu... masa-masa ini, sangat.. Dy.  Tapi memang tak tega untuk memaksamu selalu kebingungan untuk menjawabnya.  Walau buatku, menjawab dengan caramu saja sudah cukup indah.  Karena aku, Vie, yang menyukai kesejukan embun, lama tercenung menatap senja dan menghitung buliran air di tetes hujan.  Belajar untuk menerima apa adanya.

Di rinai hujan yang sering menemani perjalanan kami, seringkali  Dy menatap dengan tatapan yang menguatkanku.  Menjadikanku wanita.  Walau ia tak pernah tahu buliran airmata itu mengalir bersama hujan. Tersamarkan.  Bulan kelima ini memang bukan candra yang biasa buatku.  Penguatan dan pendewasaanku melintasi perjalanan waktu.

“Terganggu ga.. kalau aku melakukan ini.. Vie?”
“Kenapa..”
“Kau pernah katakan.. sekilas kudengar, jika seringkali ini membuatmu merasa menjadi wanita yang lemah,” tanyanya ketika berteduh di depan Borma, dan kami menggigil kedinginan.
“Aahh... mungkin awalnya terasa aneh.. Dy, karena aku terbiasa sendiri.  Tapi mulai terbiasa.  Lumayan.. juga.”

Pecahlah kedinginan dan kebekuan tembok yang membatasi kami.  Membukakan kehilanganku pada Usi, yang memang harus mengikuti suaminya setelah pernikahan mereka. Aaah.. ternyata sendiri itu menyakitkan.


*******

Demi janjiku pada Usi, aku pun kini mulai mempelajari sifat-sifat Nana.  Sebenarnya itu tugas kami berdua.  Menyesal juga meninggalkannya di ujung studi.  Ketidakmampuan kami berdua mengawalnya seiring dan selangkah. Aku dan Usi memang pribadi yang mandiri.  Usi memang cerdas.  Karena bergolongan darah A, yang ditakdirkan memiliki kepandaian di atas rata-rata.  

Aku, jikalau mampu mengendalikan kecuekanku, maka mampu juga bersaing dengannya.  Namun karena mewarisi golongan darah B dari Ayah, maka itulah karakter yang kumiliki. Cuek, santai, dan mengalir saja. 
Yang menyelamatkanku, rhesus A yang mengalir dari Ibu.  Maka walaupun cuek, aku tetap mampu menargetkan pekerjaan yang harus kuselesaikan tepat waktu.  Hmmm...
Inilah yang kami lupakan. Kebiasaan kami yang mampu begadang hingga larut, tak dimiliki Nana.  Maka kedisiplinan untuk terus melangkah di setiap hari mengerjakan tugas akhir ini tak mampu dikejarnya.

“lo harus selalu bisa jaga Nana, di penelitiannya.. Vie. Kawal dia yaa..”
“Ok.. siap, Say... am gonna miss u so..,” pelukku erat melepaskannya pergi berlalu di Soetta.

Kulihat jauh....
Pesawatnya membelah langit, meninggalkan Indonesia.  Entah berapa lama jeda ruang ini memisahkan kami.

Dan kinni aku masih terpekur sendiri.  Tak mampu bicara banyak.  Karena Nana memang bukan sosok yang menerima masukan.  Berulang kali hau memperpanjang studi dengan bayaran SPP yang lumayan besar, menyiksanya sebenarnya.  Namun semangatnya tak cukup kuat untuk menghancurkan tembok itu.

Aku melalui studi lanjutanku dengan mengikuti proses seleksi beasiswa yang super dupe ketat. Hhhh... gelisah merambati hati kala itu, karena harus mampu bersaing dengan ribuan mahasiswa yang memang menginginkan kemudahan ini. Berjuang dengan mengorbankan banyak hal.  Aku memang berasal dari keluarga yang lumayan.  Tapi kali ini aku memang ingin membuktikan pada Ayah dan Ibu, bahwa setelah semua ulah yang mengecewakan mereka, aku mampu berprestasi.  Aku memang bukan putri mereka yang manis.  Pergulatan dan perjuanganku sampai di titik ini dengan luka yang merobek ulu hati.  Waktu yang lama untuk menyembuhkannya.

Dan di titik ini, aku pun masih harus berkutat dengan “basic needs”.  Walau tahun ini sejumlah kemajuan kuraih.  Menjadi penyiar senior di radio yang cukup ternama di Bandung mulai menaikkan kredibilitasku.  Banyak side job yang menghampiriku.  Inilah sebenarnya pemasukan gaji terbesarku.  Hhhmm...
Walau jika ditambah untuk keperluan kuliah, masih kuranglah.

Keinginanku untuk meraih pendidikan setinggi mungkin, bukan tanpa alasan.  Aku ingin mengembangkan karierku sebagai dosen dan peneliti, tak hanya sebagai penyiar.  Dosen kumaksudkan untuk meraih kemudahan melanjutkan studi Doktoralku.  Dan Peneliti adalah jalan yang ingin kutempuh ketika melanjutkan karier di luar negeri. Kenapa?
Di Indonesia, karier ini memang tak banyak diminati, karena tak menjamin masa depan.  Namun buatku, mengembangkan keilmuan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan itulah tujuan hidup.
Pernah kubaca, ada dua masa terpenting dalam hidup, yaitu: masa kelahiran dan masa pencarian makna (arti) kita dalam kehidupan itu sendiri.  Setujukah kalian?
Semangat itulah yang terus kugenggam untuk memberi nyawa impianku.  Jangan tanyakan cercaan dan makian bagiku.  Memang tak mudah menjadi wanita dengan impian setinggi itu.  Tapi biarlah...
Bukankah, tak merugikan orang lain...

Hmmm...
Kesakitan memperjuangkan mimpi itu, lebih karena tak adanya dukungan dari keluargaku.  Semua mencemoohku.  Hanya Ayah yang selalu menguatkan hati dan keyakinanku.  Dari dialah, aku belajar menjadi wanita yang tangguh.  Bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki.

"Nduk... jadi perempuan itu, jangan mengandalkan laki-laki yoo... Nanti ndak nelangsa nek ditinggalke..."

Sejak SMP aku sudah ditempa dengan berbagai macam aktifitas yang biasa dilakukan kaum Adam.  Membuatku "berbeda".  Tapi kunikmati semua dengan perasaan bahagia.
Baru kini kusadai efek negatifnya.  Aku sangat mandiri.  Dan rata-rata laki-laki tak terlalu menyukai perempuan semacam ini. Hhhhmm...
Biarlah.. mungkin satu saat nanti, ada yang mampu menerimaku apa adanya, bukan ada apanya.

Maka, teruslah aku mengejar mimpi yang tak biasa ini.  Mulai belajar mengerti tentang penolakan keluarga.  Ibu.  Mulai menjauh dan membatasi komunikasi.  Sakit.. teramat sakit.  Belum pernah mendapatkan perlakuan semacam ini sebelumnya.
Tapi "do'a-do'a pasti terjawab".. yakinku,
Bismillaah.... teguhku.

*******

Well...
Guys... maaf kalau tadi sempat terpenggal lama.  Tapi deretan tembang-tembang yang Vie sajikan cukup menghibur kaliaan kan?
Kini sudah waktunya Vie undur diri... yaa, tembang dari Astrid akan menutup perjumpaan kita pagi ini..
Keep on dreaming and find ur values of life... Ganbatte!
See u... mmuuuaaachhh, *big hugs*

Aku tersesat menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Izinkanku lepas penatku
Tuk sejenak lelap di bahumu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Reff:
Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya

Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Kau titipkan cahaya terang
Tak padam didera goda dan masa

Repeat reff [2x]
Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Dapatkah selamanya kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya

Kupenggal lamunan panjangku, karena kulihat Mas Adi mengetuk kaca mengingatkanku. 
Aku beringsut keluar meninggalkan ruangan siaran.  Vina menyalamiku hangat.  Ia yang kebagian siaran selanjutnya.

“Haaii... Vie, tambah cantik aja.. Lama kita ga ketemu, kemana aja?,” tanyanya hangat.
“Aaahh.. lo bisa aja, gue ga punya receh niihh...”
“Hihihihih.. dolar juga ga apa-apa.  Eh.. gimana kabar beasiswa lo.. tembus ga?”
“Ga tau.. lagi H2C niih. Doakan sajalah... kalau rezeki ga akan kemana kan?”

“Amiiiiiiiiiinnnn..”
Semua kru yang ada di ruangan itu mengamini doaku secara jamaah.  Mas Adi menarikku pelahan.

“Vie... ada apa? Lo kelihatan resah...”
“Hmmmm... gpp... Mas, gue baik-baik aja.”
“Heey... lo bisa boongin orang lain.  Tapi ga gue... Gue udah kenal lo lima tahun.  Berbarengan dengan lo kenal El kan? Gimana kabarnya dia? Lo jarang terlihat bareng...” interogasinya.

Yaa... tak bisa kupungkiri, Mas Adi memang terkait denganku teramat erat.

“Gue.. memilih pergi.. Mas..”
“Haaahhh, buseet daa... kenapa gue ga tau apa-apa?”
“Aaahh.. ini kan urusan kami.  Gue lelah aja.. pengen sendiri.”
“Hhhmm, ya memang gue ga bisa recokin juga keputusan lo.. Vie.  Lo yang jalani dan lo juga yang hadapi semuanya.  Tapi... ini bukan keputusan yang emosional kan?”
“Kaga.. Mas, gue mutusin ini berdasarkan pertimbangan yang ga sebentar.. Eh, Mas.. gue cabut ya.. mau bantuin Nana.”
“Ok.. take care yaa... Vie” sambil mengusap kepalaku.  Aku memang sudah dianggp adik olehnya.  Perkenalanku dengan El, memang melalui dirinya.  Kami bertemu di komunitas Pencinta Alam.  Hingga ketika jadian dengan El di Puncak Mahameru, ialah saksi kunci selain puncak itu sendiri.

********

Kuhirup udara dingin bulan keenam, dengan perjuangan yang luar biasa.  Nilai TOEFL yang kuperlukan belum juga teraih.  Hmmm.. tak mampu berpikir jernih manakala kegelisahan memenuhi hati.
Aarrgghh.. dan ini tinggal sebentar lagi.  Perjuangan ini. 

Berulang kali... hingga aku merasakan deJa vu lagi.  Di ujian kali ini rasanya kesempatan itu seperti menyalamiku erat.  Perjalanan meretas mimpi ini tak lepas dari kawalan Dy.  Ia benar-benar menjabat hatiku teramat erat.  Mungkin ia memang malaikat penjaga yang dikirimkan Tuhan untukku.

Maakaasiihh... Dy, untuk semua jabat yang kau lakukan. Tak pernah lengkap jika tanpamu.  Maafkan jika aku selalu merepotkanmu....

Kuucapkan itu dalam diam, ketika menatap wajahnya yang tetap menenangkan ketika terlelap. Semua dalam diam saja...
Mungkin telah terbaca, seperti saat ini... aku merasakan kehadirannya di sampingku.  Padahal kami terbatasi dinding jarak.  Aahhh... kemudahan mampu merasakannya memang warisan luar biasa dari kakek.  Dulu belum bisa kukendalikan kemampuan supra natural ini.  Sering kunafikan kemampuan ini.  Rasanya lebih baik melihat manusia dari sisi kasatnya sajalah..
Tapi... tak jua mampu menghindari anugerah indah ini.  The Gift...

Dalam diam di candra delapan, aku terhenyak pada sebuah impian bernyawaku yang terwujud.  Perjalanan kami menggunakan bis malam membelah semua keterbatasan pikiran yang seringkali terjebak dalam “ketidakmungkinan” semata.  Padahal, manakala keyakinan bahwa yang terjadi adalah wewenangNya.  Maka mampukanlah untuk bisa bersabar dan menyakininya.  Sudah nampakkah aku seperti motivator ternama itu?
Hahahaha...

Keterpurukanku meyakini kegigihan mimpi bernyawaku, mulai kupertanyakan. Serangan orang-orang sekitar yang mulai menggerogoti keyakinan yang kian terpupuk.  Perjalanan hidupku membelah sang waktu mulai goyah dan limbung. Aku bukanlah aku tanpa mimpiku.  Keangkuhan ego ini mulai terselingi dengan airmata.  Tak layakkah semua diperjuangkan?
Apakah ini bukan mimpi yang mampu teraih?
Tak ada yang kosong.. Vie.  Semua hadir dengan makna.  Yang nyata atau tersembunyi. 

Di candra sembilan dan sepuluh ini, perjalananku di kesibukan selalu menggerus waktuku.  Hanya tak pernah sedikitpun melupakan tepian waktu bersamanya.  Sesekali menghabiskan week-end bersama di tempat yang menawan dengan pemandangan yang luar biasa.  Kulakukan itu semua di antara kesibukanku menjadi penyiar dan juga instruktur.
Menemaninya menulis itu yang selalu ingin kulakukan. Mendampinginya di antara kesibukan pekerjaan yang mendera adalah kedamaian yang luar biasa.
Hmm... rasanya......
Aah, tak mampu kulanjutkan kalimatku.  Biarkanlah merapat di antara waktu.

Dan di tengah keterpurukan, aku menulis di antara dera pening yang cukup hebat.  Kesakitan yang selalu kurasakan, ketika terperangkap dalam jebakan pikiran yang teramat rumit.  Keterbatasan inilah yang ingin kudobrak.  Penyakit inilah yang ingin kulawan.  Demi mimpiku-mimpiku, dengan hembusan ‘ruh’.
Hasrat pun muncul ingin menelponnya sejenak.  Hanya untuk mendengarkan suara dengan nada yang tak lebih dari “fa” itu, selalu mampu menemaniku dan menghiburku di tepian waktu.  Dan pernahkah kau tahu.. jika getaran suara itu tersesap dalam pembuluh nadi mengantarkan kedamaian di hati.  Ini bukan hampa, tapi bermakna.  Dan dalam dinding kebisuan malam, kulontarkan tanya yang menggelayut ini, Dy... adalah makna tanpa hampa itu?

Kegelisahan yang tak jua berujung di batas pikiran terus menggerus kesehatanku.  Tak ingin terlihat ringkih.  Terkadang menepi di tempat untuk melepas kepenatan hati.  Perjalanan waktu semakin indah di antara lazuardi merah yang terlihat di teras balkon tempat ini.  Pergantian warsaku, memang teramat berbeda kali ini.  Semua perjalanan tak lagi sama.  Memang tak ada kata “cinta” tanpa derita.  Seperti yin-yang, kesejatian kehidupan selalu bermuka dua.

“Vie... heeyy..” teriakan Mas Adi yang melengking, menyadarkanku di antara waktu, Ayo... Mentari, kuatkan dirimu,” ujarnya sambil mengusap pundakku, seolah ingin mengambil sebagian bebanku.

Aaahh... Mentari, sebutan itu selalu mampu melambungkan anganku ke awang kenangan.  Karena Dy menggunakan sapaan itu.  Aku kini tengah merindunya.  Apakah kau juga merindukanku.. Dy? , tanya gamang yang terlempar di buliran hujan yang kuhitung, satu-dua-tiga-empat-lima-.....

Berapa lagi waktuku untuk bisa melihatmu, memelukmu, mendekapmu, menyandarkan gelisahku?
Adakah aku dalam mimpimu?
Apakah sang waktu memang (ada) bagiku?
Berapa jarak sebenarnya antara aku dan kamu?
Berjuta tanya, beribu jejak, beratus dekap, ... semua menyata antara langit jiwa dan realita.
Aku (benar) mencintaimu... sepenuh jiwa. 
Caci sajalah aku, manakala kau meragu.
Tampar diriku untuk meyakinkan apa yang kukatakan ini nyata.
Tak ada yang kurekayasa, semua perasaan mengalir begitu sempurna (bagiku).  ‘Ntah bagimu...

Langit Bandung yang kembali sering terguyur hujan, menjadi deJa vu.  Yang kau katakan, aku menemukanmu, dan membuatmu bagai sesosok jiwa yang bermakna. Hmm... manakala boleh kukoreksi (ya?).  Kita saling menemukan.  Kita tak pernah mencari dan dicari.  Semua mengalir indah di perbatasan hari.  Senja langit waktu itu selalu indah.  Itulah kenapa kuingin hadikan senja Senggigi untukmu.  Itulah kehadiran awalmu.  Sejarah itu selalu nyata terpatri di ingatanku.

Aku, Vie, petualang sejati yang selalu berjalan bersama putaran waktu.  Mengikuti perjalanan dengan ‘keribetan’.  Dan, kini terjebak di kerinduan tak terbatas.  Banyak tanya untukmu.  Tapi kuyakini sebagai bagian pendewasaan komunikasi.  Kutangkap kegelisahan yang memang tak ingin kau bagi.  Yang kau sembunyikan di balik kata-kata dan tawa.  Putaran waktu memang takkan mudah untuk di pahami sesaat.  Hidup adalah proses.

Kegelisahanku, hadir bersama bayangmu di langit yang berembun dan berkabut.  Selalu khawatirkan dirimu tanpa batas. Rindukanmu tanpa tepian.  Walau kembali kuhadirkan tangis untuk pemahaman pengertian.  Mampukah aku menggapai keikhlasan tanpa jeda?

Pernah kusakiti hati dan fisikku sendiri, jika merasa gagal dalam hidup.  Mungkin tak banyak yang tahu tentang itu.  Hanya sahabat-sahabatku yang tak pernah lelah mendampingiku, untuk menjagaku dari kebodohan yang pernah mendamparkanku di RS ternama di kota ini.

Banyak yang nyinyir mengatakanku gila. Aku hanya tertekan dengan cinta yang teramat kupuja pada orang yang tak menghargainya.  Rasanya memang sudah selayaknya kita lakukan itu.  Hanya tak seluruh jiwa.....
Hmmm...
Karena jika kau lakukan itu, maka sebenar-benarnya kau sedang menyiapkan pisau untuk memotong urat nadimu, jika orang itu pergi meninggalkanmu dengan kepedihan yang tak mau ia tahu.  Hanya inginkanmu semu..

“Vie... belajarlah kembali untuk bisa percaya, karena dari sanalah orang kan kembali mempercayaimu,” nasehat Endro yang tiba-tiba kutemui di antara kegelisahan yang memuncak ini.

Perlahan kuperhatikan dia lekat, dan kucerna nasehat yang mengalir, dan masih terdengar jelas menerobos jendela hati.  Perawakannya yang gempal, kulit putih dengan mata yang sipit, selalu mampu mengingatkanku pada Dy. 
Aarrrgghh... Dy lagi... Dy lagi.... gee, kenapa aku tak bisa sedetik pun lepaskan ingatanku darinya. 

Dengan susah payah kupusatkan perhatian kembali pada Endro.  Tak kusangka, selama ini aku memiliki sahabat-sahabat yang baik hati.  Mutiara yang tersembunyi.  Tak salah hatiku memilih.
Sahabat adalah tempat menyandarkan letih, selalu berusaha mengerti dan memegang tanganmu agar tak terjatuh.

“Vie.. jika sudah kau yakini ini benar, maka tak perlu ada keraguan untuk menjalaninya kan?,” tanyanya menatapku lekat.
“Iya, aku tahu.  Hanya mungkin belajar ikhlas itu memang ga mudah.. Ndro..”
“Heey.. siapa yang bilang itu mudah? Gue juga kalau ada di posisi lo, ga akan ambil jalan itu. Tapi gue memang ga akan pengaruhi lo untuk berubah pikiran.”

Aku terdiam, perjalanan meretas mimpi (yang dicaci banyak orang) ini, sering kali terbentur di tembok keangkuhan.  Aku tak ingin hentikan mimpi ini. Namun di sisi lain aku tak ingin mengecewakan Ibu.  Betapa banyak kebencian yang disampaikannya padaku, ketika tahu aku meneruskannya.  Tak bisa kusalahkannya, karena semua pandangan ‘salah’ nya, berdasarkan laporan El saja.  Diterimanya secara utuh, tanpa konfirmasi.
Itulah pula alasan yang menguatkan untuk meninggalkan El di belakang, dan tak ingin rajut kembali masa depan bersama.
Semua telah terkoyak....

Bu,
Jika ini kau baca, kuyakin bahwa di dalam hatimu tetap ada aku. Gadis kecilmu.  Tak mampu kubatasi hati untuk sebuah kata ‘benci’.  Bagaimana pun aku di penilaianmu kini.  Aku hanya ingin menegaskan apa yang ingin kujalani dengan asa tanggung jawab.  Pedih... memang menerima perlakuan ini, tapi percayalah.. Bu, semua yang terjadi memang sudah suratan.  Keputusan ini memang sudah kupikirkan matang.  Aku bukan bicara dengan emosi sesaat.  5 tahun sudah cukup bagiku untuk memahami apa yang terjadi.  Mencoba mengikhlaskan semua kejadian dengan legowo saja.  Aku tetap anakmu kan... Bu?
Sampai kapan pun itu, kasihmu selalu menjadi lenteraku.  Terimakasihku untuk semua perjalanan yang terdampingi dengan kasih.  Dengan caramu.
Aku tetap ingin berhenti di titik ini, dan meneruskannya dengan mimpi yang baru.  Semua untuk masa depanku. Walau terasa angkuh, aku hanya ingin melakukan ini.  Perjalanan Ibnu Battuta teramat menginspirasiku.  Ilmu memang harus selalu dicari.  Petualangan ini tak layak untuk terhenti.
Ibu... do’akanku,
Peluk cium di kerinduan,
Vie

Surat ini memang tak pernah terkirimkan.  Airmata yang terjatuh beriringan dengan buliran hujan, cukuplah sebagai pengurai sakit dan kepedihan yang terasa kian lekat.
Aku berhenti menulis sejenak.  Kuamati kamarku yang berantakan.  Sudah beberapa hari ini pusing hebat kembali mendera.  Penyakit itu mulai mengganggu lagi. Aku hanya meletakkan baju yang telah kupakai di pojok kamar kosku ini. Hhh... banyak sekali perkerjaan rumah yang kutinggalkan.  Mulai tidak fokus.  3 kucingku mulai mengeong kelaparan.  

Akhirnya aku bangkit, dan menyiapkan makanan untuk mereka.  Lalu beringsut duduk tegak, kembali menulis.  Aku sudah membiasakan untuk mengetik dengan sepuluh jari lagi.  Ternyata terapi ini mampu mengurangi keribetanku.  Dan sambil tersenyum, mengingat perkataan Dy, tentang “hidden therapy” untukku.   
Hhhh... Dy, apa kabarmu hari ini?
Ketika menulis, aku memang selalu mengganggunya dengan sms.  Tetap ingin dekat.  Ahh.. pikiran, berhentilah sejenak untuk tak mengajakku memutar kenangan yang telah terlalui dengannya.  Semakin pula terjebak di kerinduan tanpa batas.
*******

Hari baru.  Bulan sebelas terlalui dengan perimbangan rasa yang sempurna. Perfecto!  Bulanku ini memang menyisakan kenangan tak teramat indah.  Seperti kataku, segala konsep kehidupan dihadirkan seperti yin-yang.
DI guyuran hujan candra penutup tahun ini,  aku ingin mendekap erat mimpi-mimpi yang tertunda.  Menggoreskannya nyata di kanvas rencana yang harus terwujudkan.  Terkadang, memang aku terlampau keras pada diriku sendiri.  Namun kesuksesan memang takkan teraih tanpa kerja keras.
Harapanku... mimpi melanjutkan studi tertinggi yang tertunda ini, mendorong impianku yang lain mewujud nyata.  Tak mungkin meraih semuanya.. kan?

Life is choices, so we should choose it one...
Buku-buku yang kubaca tahun ini, memiliki arti.  Semua menggambarkan impian secara nyata dan gamblang.  Tak pernah sengaja mencari.  Muncul begitu saja dalam rak buku, yang kemudian menuntun keluar impianku dalam nyata.  Perjalanan yang luar biasa.  Maka tetap menyakini... mimpi-mimpi itu akan tetap bernyawa, jika kau mampu menjaga pelitanya dalam jiwa.  Terus menyala... 

Dan..
Di antara semua impian yang kupunya itu, terselip indah satu nama yang akan selalu kuhadirkan di tangkupan do’a-do’a.  Semoga.....
Amiiiinnn... Ya robbal ‘alamiin...


“Bintang-bintang, langit malam, dan segenap cakrawala senantiasa menyanyikan lagu puja.  Maka buka telinga, dengarkan, dan menarilah mengikuti irama semesta.  Sungguh, demikian nasihat Sang Nabi, tak ada alasan untuk tak bersyukur pada Sang Hidup.”  (Khalil Gibran)

No comments:

Post a Comment