Jika aku bukan
jalanmu..
Kuberhenti
mengharapkanmu...
Jika aku
memang tercipta untukmu...
ku ‘kan
memilikimu...
Haaii... haaaii....
Paagii.. Mentari, sapaan ini
sudah mulai jarang Vie sampaikan ke kalian yaa..
Yaah, memang tergerus kesibukan
juga, jadi baru kali ini Vie bisa siaran pagi lagi.
So.. untuk mengobati itu semua, Vie sudah susunkan tembang-tembang
cantik di play list yang ‘kan temani aktifitas kamu.
Well,
Percayakah dirimu akan
perjalanan takdir yang akan menemukanmu dengan “soulmate”? Masih banyak yang meyakini bahwa dia yang
berada di sampingmu itulah belahan jiwa.
Tapi... sebagian lagi percaya, bahwa terkadang “soulmate” sejati,
seringkali bukan orang yang kini berjalan bersamamu.
Hmmm... rasanya aneh ya?
Kalian pilih yang mana... guys?
Rasanya Vie... pengen percaya
tentang ini. Tapi yang Vie alami
siihh... memang pendapat yang kedua.
‘ntah kalian. Cara ngetesnya
bagaimana... coba?
Katanya, jika kau tutup matamu,
orang pertama yang kau ingat itulah belahan jiwamu. Dan kau selalu merindukannya, merasakan waktu
tak pernah cukup. Eh? benar ga.....
Ahh... dari pada berdebat
panjang. Dengerin lagu Afgan ini yaa....
Tenanglah kekasihku Ku tahu hatimu
menangis Beranilah tuk percaya Semua ini pasti berlalu Meski takkan mudah Namun
kau takkan sendiri Ku ada disini .. Untukmu aku akan bertahan Dalam gelap
takkan kutinggalkan Engkaulah teman sejati Kasihku di setiap hariku Untuk
hatimu ku kan bertahan Sebentuk hati yang kunantikan Hanya kau dan aku yang
tahu Arti cinta yang tlah kita punya Beranilah dan percaya Semua ini pasti
berlalu Meski takkan mudah Namun kau takkan sendiri Ku ada disini ..
Selama siaran hari ini, yang kulakukan
hanya memandangi foto imut yang ada di telpon genggamku. Kenangan yang tak terlupakan darinya. Yang mampu membangkitkan semangat dan terus
menghadirkan kerinduan tanpa henti.
Sepanjang hari, terus
kurindukannya. Menutup mata. Menghadirkan bayangnya. Tak apalah.
Aku tak menyukai keheningan ini.
Siaran yang kujalani selalu menghiburku dalam sepi. Bersandar
padanya selama berapa bulan, membuatku menjauh dari kemandirian perasaan. Ini yang amat menyakitkan.
Tapi ini membuatku
bahagia. Bahagia merasakan menjadi
wanita. Satu momen yang tak pernah
kumiliki sebelumnya.
Yaa... karena memang selama
ini, aku adalah sosok wanita mandiri.
Tak pernah takut mendaki gunung setinggi apapun itu. Hmmm...
Rasanya perubahan itu tetap
akan menjadi angin segar dalam hidup kan?
Maka jika itu menghampirimu, cukup katakan “iyaa... selamat datang
perubahan...” and... give a big smile and hugs.”
Itu aku yang dulu. Awalnya tak mudah. Namun perjalanan sang Waktu pun memang akan
menjemput keberanian untuk menerima takdirNya dengan lapang dada. Yang kukatakan padanya, “Izinkan saja... aku
menyayangimu.."
Itulah inspirasi tulisan dan
bahan yang aku jadikan script siaran. Kebersamaan
yang kini kuretas bersamanya, memang menjadi bagian misteri kehidupan. Masih menanyakan “why”?
Namun... mulai kuheningkan di
dinding malam yang bisu saja.
Biarkan mengalir bersama Sang
Waktu.
Bulan ini, adalah bulanku. Bulan kelahiranku, dan banyak anugerah yang
kurasakan. Tak jua cukup rasa syukur
untuk menggambarkan rasanya. Keindahannya.
Bulan ini juga, jejak-jejak
yang tertinggal serasa semakin dekat.
Aaahh... kabut pun juga menyaput di langit kehidupanku. Itulah kodrat hakiki kehidupan.
Langit kelam akan selalu ada,
untuk membuktikan keindahan langit cerah.
Hujan hadir untuk menyatakan
hangat mentari.
Bintang ada di langit kelam,
untuk membuktikan bahwa sekecil apapun selalu ada maknanya. Karena sebenar-benarnya, bukan masalah besar
atau kecil, semua hanya terpatri dalam sisi pandang kita saja, ketika melihat.
Hmmm....
Jika kurunutkan kejadian tahun
ini, terpukau dan selalu mengucap syukur untuk semua kesedihan dan kepedihan,
yang kemudian menghadirkan Dy dalam hidupku.
Bulan ketiga itu, tiba-tiba
mendekatkanku padanya. Atas semua
peristiwa yang sama sekali tak pernah terbayangkan.
Bulan keempat mulai mendapati
perjalanan yang “luar” biasa. Mengurai
kedekatan dan membuka komunikasi tak berjarak.
Komunikasi positif dengan kesantunan positif sajalah...
“panggil aku... Vie saja,” itu
pintaku.
“Aku ga bisa dan terbiasa
dengan itu..” tolaknya halus.
“please... just do that...”
pintaku untuk mulai membuka komunikasi.
Di satu kesempatan...
“Vie...”
Ah... akhirnya, terlontar juga
panggilan itu. Membuat semua perbedaan
yang terbentang ini mendekat di persamaan saja.
Bukan menghilangkannya. Hanya
mulai mengurangi jaraknya.
Bulan Kelima, aku sering
meminjam bahunya untuk melepas kegetiran yang terasa. Di suatu pagi... kututup smsku dengan “Dy”.
Dy?.... g salah sms?, tanyanya
manjawab smsku.
Namamu berujung “Dy” kan?”
yaa..
So.. that’s way I wanna call u. Is that ... ok?
Gpp....
Saat ini, kebiasan mengirimkan
pesan singkat untuk menyapanya setiap pagi dan malam, hampir tak pernah
kulakukan. Rindu... masa-masa ini,
sangat.. Dy. Tapi memang tak tega untuk
memaksamu selalu kebingungan untuk menjawabnya.
Walau buatku, menjawab dengan caramu saja sudah cukup indah. Karena aku, Vie, yang menyukai kesejukan
embun, lama tercenung menatap senja dan menghitung buliran air di tetes hujan. Belajar untuk menerima apa adanya.
Di rinai hujan yang sering
menemani perjalanan kami, seringkali Dy
menatap dengan tatapan yang menguatkanku.
Menjadikanku wanita. Walau ia tak
pernah tahu buliran airmata itu mengalir bersama hujan. Tersamarkan. Bulan kelima ini memang bukan candra yang
biasa buatku. Penguatan dan
pendewasaanku melintasi perjalanan waktu.
“Terganggu ga.. kalau aku
melakukan ini.. Vie?”
“Kenapa..”
“Kau pernah katakan.. sekilas
kudengar, jika seringkali ini membuatmu merasa menjadi wanita yang lemah,”
tanyanya ketika berteduh di depan Borma, dan kami menggigil kedinginan.
“Aahh... mungkin awalnya terasa
aneh.. Dy, karena aku terbiasa sendiri.
Tapi mulai terbiasa. Lumayan..
juga.”
Pecahlah kedinginan dan
kebekuan tembok yang membatasi kami.
Membukakan kehilanganku pada Usi, yang memang harus mengikuti suaminya
setelah pernikahan mereka. Aaah.. ternyata sendiri itu menyakitkan.
*******
Demi janjiku pada Usi, aku pun
kini mulai mempelajari sifat-sifat Nana.
Sebenarnya itu tugas kami berdua.
Menyesal juga meninggalkannya di ujung studi. Ketidakmampuan kami berdua mengawalnya
seiring dan selangkah. Aku dan Usi memang pribadi yang mandiri. Usi memang cerdas. Karena bergolongan darah A, yang ditakdirkan
memiliki kepandaian di atas rata-rata.
Aku, jikalau mampu mengendalikan
kecuekanku, maka mampu juga bersaing dengannya.
Namun karena mewarisi golongan darah B dari Ayah, maka itulah karakter
yang kumiliki. Cuek, santai, dan mengalir saja.
Yang menyelamatkanku, rhesus A
yang mengalir dari Ibu. Maka walaupun
cuek, aku tetap mampu menargetkan pekerjaan yang harus kuselesaikan tepat
waktu. Hmmm...
Inilah yang kami lupakan.
Kebiasaan kami yang mampu begadang hingga larut, tak dimiliki Nana. Maka kedisiplinan untuk terus melangkah di
setiap hari mengerjakan tugas akhir ini tak mampu dikejarnya.
“lo harus selalu bisa jaga
Nana, di penelitiannya.. Vie. Kawal dia yaa..”
“Ok.. siap, Say... am gonna
miss u so..,” pelukku erat melepaskannya pergi berlalu di Soetta.
Kulihat jauh....
Pesawatnya membelah langit,
meninggalkan Indonesia. Entah berapa
lama jeda ruang ini memisahkan kami.
Dan kinni aku masih terpekur
sendiri. Tak mampu bicara banyak. Karena Nana memang bukan sosok yang menerima
masukan. Berulang kali hau memperpanjang
studi dengan bayaran SPP yang lumayan besar, menyiksanya sebenarnya. Namun semangatnya tak cukup kuat untuk
menghancurkan tembok itu.
Aku melalui studi lanjutanku dengan mengikuti proses seleksi beasiswa yang super dupe ketat. Hhhh... gelisah
merambati hati kala itu, karena harus mampu bersaing dengan ribuan mahasiswa
yang memang menginginkan kemudahan ini. Berjuang dengan mengorbankan banyak
hal. Aku memang berasal dari keluarga
yang lumayan. Tapi kali ini aku memang
ingin membuktikan pada Ayah dan Ibu, bahwa setelah semua ulah yang mengecewakan
mereka, aku mampu berprestasi. Aku
memang bukan putri mereka yang manis.
Pergulatan dan perjuanganku sampai di titik ini dengan luka yang merobek
ulu hati. Waktu yang lama untuk
menyembuhkannya.
Dan di titik ini, aku pun masih
harus berkutat dengan “basic needs”.
Walau tahun ini sejumlah kemajuan kuraih. Menjadi penyiar senior di radio yang cukup
ternama di Bandung mulai menaikkan kredibilitasku. Banyak side job yang menghampiriku. Inilah sebenarnya pemasukan gaji
terbesarku. Hhhmm...
Walau jika ditambah untuk
keperluan kuliah, masih kuranglah.
Keinginanku untuk meraih
pendidikan setinggi mungkin, bukan tanpa alasan. Aku ingin mengembangkan karierku sebagai
dosen dan peneliti, tak hanya sebagai penyiar. Dosen kumaksudkan
untuk meraih kemudahan melanjutkan studi Doktoralku. Dan Peneliti adalah jalan yang ingin kutempuh
ketika melanjutkan karier di luar negeri. Kenapa?
Di Indonesia, karier ini memang
tak banyak diminati, karena tak menjamin masa depan. Namun buatku, mengembangkan keilmuan dan
mampu menerapkannya dalam kehidupan itulah tujuan hidup.
Pernah kubaca, ada dua masa
terpenting dalam hidup, yaitu: masa kelahiran dan masa pencarian makna (arti)
kita dalam kehidupan itu sendiri.
Setujukah kalian?
Semangat itulah yang terus kugenggam untuk memberi nyawa impianku. Jangan tanyakan cercaan dan makian bagiku. Memang tak mudah menjadi wanita dengan impian setinggi itu. Tapi biarlah...
Bukankah, tak merugikan orang lain...
Hmmm...
Kesakitan memperjuangkan mimpi itu, lebih karena tak adanya dukungan dari keluargaku. Semua mencemoohku. Hanya Ayah yang selalu menguatkan hati dan keyakinanku. Dari dialah, aku belajar menjadi wanita yang tangguh. Bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki.
"Nduk... jadi perempuan itu, jangan mengandalkan laki-laki yoo... Nanti ndak nelangsa nek ditinggalke..."
Sejak SMP aku sudah ditempa dengan berbagai macam aktifitas yang biasa dilakukan kaum Adam. Membuatku "berbeda". Tapi kunikmati semua dengan perasaan bahagia.
Baru kini kusadai efek negatifnya. Aku sangat mandiri. Dan rata-rata laki-laki tak terlalu menyukai perempuan semacam ini. Hhhhmm...
Biarlah.. mungkin satu saat nanti, ada yang mampu menerimaku apa adanya, bukan ada apanya.
Maka, teruslah aku mengejar mimpi yang tak biasa ini. Mulai belajar mengerti tentang penolakan keluarga. Ibu. Mulai menjauh dan membatasi komunikasi. Sakit.. teramat sakit. Belum pernah mendapatkan perlakuan semacam ini sebelumnya.
Tapi "do'a-do'a pasti terjawab".. yakinku,
Bismillaah.... teguhku.
*******
Well...
Guys... maaf kalau tadi sempat
terpenggal lama. Tapi deretan
tembang-tembang yang Vie sajikan cukup menghibur kaliaan kan?
Kini sudah waktunya Vie undur
diri... yaa, tembang dari Astrid akan menutup perjumpaan kita pagi ini..
Keep on dreaming and find ur
values of life... Ganbatte!
See u... mmuuuaaachhh, *big
hugs*
Aku tersesat menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Izinkanku lepas penatku
Tuk sejenak lelap di bahumu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Reff:
Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Beri aku jalan yang indah
Izinkanku lepas penatku
Tuk sejenak lelap di bahumu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Reff:
Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Kau titipkan cahaya terang
Tak padam didera goda dan masa
Membuatku takut kehilangan
Kau titipkan cahaya terang
Tak padam didera goda dan masa
Repeat reff [2x]
Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Dapatkah selamanya kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Menyatukan perasaan kau dan aku
Dapatkah selamanya kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Kupenggal lamunan panjangku,
karena kulihat Mas Adi mengetuk kaca mengingatkanku.
Aku beringsut keluar
meninggalkan ruangan siaran. Vina
menyalamiku hangat. Ia yang kebagian
siaran selanjutnya.
“Haaii... Vie, tambah cantik
aja.. Lama kita ga ketemu, kemana aja?,” tanyanya hangat.
“Aaahh.. lo bisa aja, gue ga
punya receh niihh...”
“Hihihihih.. dolar juga ga
apa-apa. Eh.. gimana kabar beasiswa lo..
tembus ga?”
“Ga tau.. lagi H2C niih. Doakan
sajalah... kalau rezeki ga akan kemana kan?”
“Amiiiiiiiiiinnnn..”
Semua kru yang ada di ruangan
itu mengamini doaku secara jamaah. Mas
Adi menarikku pelahan.
“Vie... ada apa? Lo kelihatan
resah...”
“Hmmmm... gpp... Mas, gue
baik-baik aja.”
“Heey... lo bisa boongin orang
lain. Tapi ga gue... Gue udah kenal lo
lima tahun. Berbarengan dengan lo kenal
El kan? Gimana kabarnya dia? Lo jarang terlihat bareng...” interogasinya.
Yaa... tak bisa kupungkiri, Mas
Adi memang terkait denganku teramat erat.
“Gue.. memilih pergi.. Mas..”
“Haaahhh, buseet daa... kenapa
gue ga tau apa-apa?”
“Aaahh.. ini kan urusan
kami. Gue lelah aja.. pengen sendiri.”
“Hhhmm, ya memang gue ga bisa
recokin juga keputusan lo.. Vie. Lo yang
jalani dan lo juga yang hadapi semuanya.
Tapi... ini bukan keputusan yang emosional kan?”
“Kaga.. Mas, gue mutusin ini
berdasarkan pertimbangan yang ga sebentar.. Eh, Mas.. gue cabut ya.. mau
bantuin Nana.”
“Ok.. take care yaa... Vie”
sambil mengusap kepalaku. Aku memang
sudah dianggp adik olehnya. Perkenalanku
dengan El, memang melalui dirinya. Kami bertemu
di komunitas Pencinta Alam. Hingga
ketika jadian dengan El di Puncak Mahameru, ialah saksi kunci selain puncak itu
sendiri.
********
Kuhirup udara dingin bulan
keenam, dengan perjuangan yang luar biasa.
Nilai TOEFL yang kuperlukan belum juga teraih. Hmmm.. tak mampu berpikir jernih manakala
kegelisahan memenuhi hati.
Aarrgghh.. dan ini tinggal sebentar
lagi. Perjuangan ini.
Berulang kali... hingga aku
merasakan deJa vu lagi. Di ujian kali
ini rasanya kesempatan itu seperti menyalamiku erat. Perjalanan meretas mimpi ini tak lepas dari
kawalan Dy. Ia benar-benar menjabat
hatiku teramat erat. Mungkin ia memang
malaikat penjaga yang dikirimkan Tuhan untukku.
Maakaasiihh... Dy, untuk semua
jabat yang kau lakukan. Tak pernah lengkap jika tanpamu. Maafkan jika aku selalu merepotkanmu....
Kuucapkan itu dalam diam,
ketika menatap wajahnya yang tetap menenangkan ketika terlelap. Semua dalam
diam saja...
Mungkin telah terbaca, seperti
saat ini... aku merasakan kehadirannya di sampingku. Padahal kami terbatasi dinding jarak. Aahhh... kemudahan mampu merasakannya memang
warisan luar biasa dari kakek. Dulu
belum bisa kukendalikan kemampuan supra natural ini. Sering kunafikan kemampuan ini. Rasanya lebih baik melihat manusia dari sisi
kasatnya sajalah..
Tapi... tak jua mampu
menghindari anugerah indah ini. The
Gift...
Dalam diam di candra delapan,
aku terhenyak pada sebuah impian bernyawaku yang terwujud. Perjalanan kami menggunakan bis malam
membelah semua keterbatasan pikiran yang seringkali terjebak dalam “ketidakmungkinan”
semata. Padahal, manakala keyakinan
bahwa yang terjadi adalah wewenangNya. Maka
mampukanlah untuk bisa bersabar dan menyakininya. Sudah nampakkah aku seperti motivator ternama
itu?
Hahahaha...
Keterpurukanku meyakini
kegigihan mimpi bernyawaku, mulai kupertanyakan. Serangan orang-orang sekitar
yang mulai menggerogoti keyakinan yang kian terpupuk. Perjalanan hidupku membelah sang waktu mulai
goyah dan limbung. Aku bukanlah aku tanpa mimpiku. Keangkuhan ego ini mulai terselingi dengan
airmata. Tak layakkah semua
diperjuangkan?
Apakah ini bukan mimpi yang
mampu teraih?
Tak ada yang kosong.. Vie. Semua hadir dengan makna. Yang nyata atau tersembunyi.
Di candra sembilan dan sepuluh
ini, perjalananku di kesibukan selalu menggerus waktuku. Hanya tak pernah sedikitpun melupakan tepian
waktu bersamanya. Sesekali menghabiskan
week-end bersama di tempat yang menawan dengan pemandangan yang luar biasa. Kulakukan itu semua di antara kesibukanku
menjadi penyiar dan juga instruktur.
Menemaninya menulis itu yang
selalu ingin kulakukan. Mendampinginya di antara kesibukan pekerjaan yang
mendera adalah kedamaian yang luar biasa.
Hmm... rasanya......
Aah, tak mampu kulanjutkan kalimatku. Biarkanlah merapat di antara waktu.
Dan di tengah keterpurukan, aku
menulis di antara dera pening yang cukup hebat.
Kesakitan yang selalu kurasakan, ketika terperangkap dalam jebakan
pikiran yang teramat rumit. Keterbatasan
inilah yang ingin kudobrak. Penyakit inilah
yang ingin kulawan. Demi
mimpiku-mimpiku, dengan hembusan ‘ruh’.
Hasrat pun muncul ingin menelponnya
sejenak. Hanya untuk mendengarkan suara
dengan nada yang tak lebih dari “fa” itu, selalu mampu menemaniku dan
menghiburku di tepian waktu. Dan
pernahkah kau tahu.. jika getaran suara itu tersesap dalam pembuluh nadi
mengantarkan kedamaian di hati. Ini
bukan hampa, tapi bermakna. Dan dalam
dinding kebisuan malam, kulontarkan tanya yang menggelayut ini, Dy... adalah
makna tanpa hampa itu?
Kegelisahan yang tak jua
berujung di batas pikiran terus menggerus kesehatanku. Tak ingin terlihat ringkih. Terkadang menepi di tempat untuk melepas
kepenatan hati. Perjalanan waktu semakin
indah di antara lazuardi merah yang terlihat di teras balkon tempat ini. Pergantian warsaku, memang teramat berbeda
kali ini. Semua perjalanan tak lagi
sama. Memang tak ada kata “cinta” tanpa
derita. Seperti yin-yang, kesejatian
kehidupan selalu bermuka dua.
“Vie... heeyy..” teriakan Mas
Adi yang melengking, menyadarkanku di antara waktu, Ayo... Mentari, kuatkan
dirimu,” ujarnya sambil mengusap pundakku, seolah ingin mengambil sebagian
bebanku.
Aaahh... Mentari, sebutan itu
selalu mampu melambungkan anganku ke awang kenangan. Karena Dy menggunakan sapaan itu. Aku kini tengah merindunya. Apakah kau juga merindukanku.. Dy? , tanya gamang
yang terlempar di buliran hujan yang kuhitung, satu-dua-tiga-empat-lima-.....
Berapa lagi waktuku untuk bisa
melihatmu, memelukmu, mendekapmu, menyandarkan gelisahku?
Adakah aku dalam mimpimu?
Apakah sang waktu memang (ada)
bagiku?
Berapa jarak sebenarnya antara
aku dan kamu?
Berjuta tanya, beribu jejak,
beratus dekap, ... semua menyata antara langit jiwa dan realita.
Aku (benar) mencintaimu...
sepenuh jiwa.
Caci sajalah aku, manakala kau
meragu.
Tampar diriku untuk meyakinkan
apa yang kukatakan ini nyata.
Tak ada yang kurekayasa, semua
perasaan mengalir begitu sempurna (bagiku).
‘Ntah bagimu...
Langit Bandung yang kembali
sering terguyur hujan, menjadi deJa vu.
Yang kau katakan, aku menemukanmu, dan membuatmu bagai sesosok jiwa yang
bermakna. Hmm... manakala boleh kukoreksi (ya?). Kita saling menemukan. Kita tak pernah mencari dan dicari. Semua mengalir indah di perbatasan hari. Senja langit waktu itu selalu indah. Itulah kenapa kuingin hadikan senja Senggigi
untukmu. Itulah kehadiran awalmu. Sejarah itu selalu nyata terpatri di
ingatanku.
Aku, Vie, petualang sejati yang
selalu berjalan bersama putaran waktu.
Mengikuti perjalanan dengan ‘keribetan’.
Dan, kini terjebak di kerinduan tak terbatas. Banyak tanya untukmu. Tapi kuyakini sebagai bagian pendewasaan
komunikasi. Kutangkap kegelisahan yang
memang tak ingin kau bagi. Yang kau
sembunyikan di balik kata-kata dan tawa.
Putaran waktu memang takkan mudah untuk di pahami sesaat. Hidup adalah proses.
Kegelisahanku, hadir bersama
bayangmu di langit yang berembun dan berkabut.
Selalu khawatirkan dirimu tanpa batas. Rindukanmu tanpa tepian. Walau kembali kuhadirkan tangis untuk
pemahaman pengertian. Mampukah aku
menggapai keikhlasan tanpa jeda?
Pernah kusakiti hati dan
fisikku sendiri, jika merasa gagal dalam hidup.
Mungkin tak banyak yang tahu tentang itu. Hanya sahabat-sahabatku yang tak pernah lelah
mendampingiku, untuk menjagaku dari kebodohan yang pernah mendamparkanku di RS
ternama di kota ini.
Banyak yang nyinyir
mengatakanku gila. Aku hanya tertekan dengan cinta yang teramat kupuja pada
orang yang tak menghargainya. Rasanya
memang sudah selayaknya kita lakukan itu.
Hanya tak seluruh jiwa.....
Hmmm...
Karena jika kau lakukan itu,
maka sebenar-benarnya kau sedang menyiapkan pisau untuk memotong urat nadimu,
jika orang itu pergi meninggalkanmu dengan kepedihan yang tak mau ia tahu. Hanya inginkanmu semu..
“Vie... belajarlah kembali
untuk bisa percaya, karena dari sanalah orang kan kembali mempercayaimu,”
nasehat Endro yang tiba-tiba kutemui di antara kegelisahan yang memuncak ini.
Perlahan kuperhatikan dia lekat,
dan kucerna nasehat yang mengalir, dan masih terdengar jelas menerobos jendela hati. Perawakannya
yang gempal, kulit putih dengan mata yang sipit, selalu mampu mengingatkanku
pada Dy.
Aarrrgghh... Dy lagi... Dy
lagi.... gee,
kenapa aku tak bisa sedetik pun lepaskan ingatanku darinya.
Dengan susah payah kupusatkan
perhatian kembali pada Endro. Tak
kusangka, selama ini aku memiliki sahabat-sahabat yang baik hati. Mutiara yang tersembunyi. Tak salah hatiku memilih.
Sahabat adalah tempat
menyandarkan letih, selalu berusaha mengerti dan memegang tanganmu agar tak
terjatuh.
“Vie.. jika sudah kau yakini
ini benar, maka tak perlu ada keraguan untuk menjalaninya kan?,” tanyanya
menatapku lekat.
“Iya, aku tahu. Hanya mungkin belajar ikhlas itu memang ga
mudah.. Ndro..”
“Heey.. siapa yang bilang itu
mudah? Gue juga kalau ada di posisi lo, ga akan ambil jalan itu. Tapi gue
memang ga akan pengaruhi lo untuk berubah pikiran.”
Aku terdiam, perjalanan meretas
mimpi (yang dicaci banyak orang) ini, sering kali terbentur di tembok
keangkuhan. Aku tak ingin hentikan mimpi
ini. Namun di sisi lain aku tak ingin mengecewakan Ibu. Betapa banyak kebencian yang disampaikannya
padaku, ketika tahu aku meneruskannya.
Tak bisa kusalahkannya, karena semua pandangan ‘salah’ nya, berdasarkan
laporan El saja. Diterimanya secara
utuh, tanpa konfirmasi.
Itulah pula alasan yang
menguatkan untuk meninggalkan El di belakang, dan tak ingin rajut kembali masa
depan bersama.
Semua telah terkoyak....
Bu,
Jika ini kau baca, kuyakin
bahwa di dalam hatimu tetap ada aku. Gadis kecilmu. Tak mampu kubatasi hati untuk sebuah kata ‘benci’. Bagaimana pun aku di penilaianmu kini. Aku hanya ingin menegaskan apa yang ingin
kujalani dengan asa tanggung jawab. Pedih...
memang menerima perlakuan ini, tapi percayalah.. Bu, semua yang terjadi memang
sudah suratan. Keputusan ini memang
sudah kupikirkan matang. Aku bukan
bicara dengan emosi sesaat. 5 tahun
sudah cukup bagiku untuk memahami apa yang terjadi. Mencoba mengikhlaskan semua kejadian dengan
legowo saja. Aku tetap anakmu kan... Bu?
Sampai kapan pun itu, kasihmu
selalu menjadi lenteraku. Terimakasihku
untuk semua perjalanan yang terdampingi dengan kasih. Dengan caramu.
Aku tetap ingin berhenti di
titik ini, dan meneruskannya dengan mimpi yang baru. Semua untuk masa depanku. Walau terasa
angkuh, aku hanya ingin melakukan ini. Perjalanan
Ibnu Battuta teramat menginspirasiku.
Ilmu memang harus selalu dicari.
Petualangan ini tak layak untuk terhenti.
Ibu... do’akanku,
Peluk
cium di kerinduan,
Vie
Surat ini memang tak pernah
terkirimkan. Airmata yang terjatuh
beriringan dengan buliran hujan, cukuplah sebagai pengurai sakit dan kepedihan
yang terasa kian lekat.
Aku berhenti menulis
sejenak. Kuamati kamarku yang
berantakan. Sudah beberapa hari ini
pusing hebat kembali mendera. Penyakit
itu mulai mengganggu lagi. Aku hanya meletakkan baju yang telah kupakai di
pojok kamar kosku ini. Hhh... banyak sekali perkerjaan rumah yang kutinggalkan. Mulai tidak fokus. 3 kucingku mulai mengeong kelaparan.
Akhirnya aku bangkit, dan menyiapkan makanan untuk mereka. Lalu beringsut duduk tegak, kembali menulis. Aku sudah membiasakan untuk mengetik dengan sepuluh jari lagi. Ternyata terapi ini mampu mengurangi keribetanku. Dan sambil tersenyum, mengingat perkataan Dy, tentang “hidden therapy” untukku.
Hhhh... Dy, apa kabarmu hari ini?
Akhirnya aku bangkit, dan menyiapkan makanan untuk mereka. Lalu beringsut duduk tegak, kembali menulis. Aku sudah membiasakan untuk mengetik dengan sepuluh jari lagi. Ternyata terapi ini mampu mengurangi keribetanku. Dan sambil tersenyum, mengingat perkataan Dy, tentang “hidden therapy” untukku.
Hhhh... Dy, apa kabarmu hari ini?
Ketika menulis, aku memang
selalu mengganggunya dengan sms. Tetap
ingin dekat. Ahh.. pikiran, berhentilah
sejenak untuk tak mengajakku memutar kenangan yang telah terlalui dengannya. Semakin pula terjebak di kerinduan tanpa
batas.
*******
Hari baru. Bulan sebelas terlalui dengan perimbangan
rasa yang sempurna. Perfecto!
Bulanku ini memang menyisakan kenangan tak teramat indah. Seperti kataku, segala konsep kehidupan
dihadirkan seperti yin-yang.
DI guyuran hujan candra penutup
tahun ini, aku ingin mendekap erat
mimpi-mimpi yang tertunda. Menggoreskannya
nyata di kanvas rencana yang harus terwujudkan.
Terkadang, memang aku terlampau keras pada diriku sendiri. Namun kesuksesan memang takkan teraih tanpa
kerja keras.
Harapanku... mimpi melanjutkan
studi tertinggi yang tertunda ini, mendorong impianku yang lain mewujud
nyata. Tak mungkin meraih semuanya..
kan?
Life is choices, so we should
choose it one...
Buku-buku yang kubaca tahun
ini, memiliki arti. Semua menggambarkan
impian secara nyata dan gamblang. Tak
pernah sengaja mencari. Muncul begitu
saja dalam rak buku, yang kemudian menuntun keluar impianku dalam nyata. Perjalanan yang luar biasa. Maka tetap menyakini... mimpi-mimpi itu akan
tetap bernyawa, jika kau mampu menjaga pelitanya dalam jiwa. Terus menyala...
Dan..
Di antara semua impian yang
kupunya itu, terselip indah satu nama yang akan selalu kuhadirkan di tangkupan
do’a-do’a. Semoga.....
Amiiiinnn... Ya robbal ‘alamiin...
“Bintang-bintang, langit malam,
dan segenap cakrawala senantiasa menyanyikan lagu puja. Maka buka telinga, dengarkan, dan menarilah
mengikuti irama semesta. Sungguh,
demikian nasihat Sang Nabi, tak ada alasan untuk tak bersyukur pada Sang Hidup.” (Khalil Gibran)
No comments:
Post a Comment