Aku
masih terus mengumamkan keheningan, di antara musik yang mengalun lembut
mengusap gendang telingaku. Tek pernah
kusalahkan Ibu untuk semua kebencian yang melemparkanku ke jurang terjal
komunikasi.
Yang
kutahu...
Jauh
di lubuk hatinya, aku tetap gadisnya.
Dalam kebekuannya, masih terbaca kesedihan yang menyaput tipis di bola
matanya. Ia hanya sedang tak ingin
menyatakannya secara verbal.
Hari
ini..
Aku
mencoba mengerti. Belajar menerima
kekurangan dan keterbatasan diri. Memang
tak ada yang yang sempurna. Ayah
menatapku dengan bahu yang terlelah menahan beban hidupnya. Perjalanan panjang
waktu, telah memeluknya dalam pemahaman yang tak lagi otoriter.
Sabar
saja... nduk, dengan apa yang telah kau miliki.
Selalu bersyukurlah....
Maka,
Kutabur
damai dalam balutan kesedihan yang tersamarkan.
Kumiliki teman dan sahabat yang selalu memelukku di kesunyian.
Tanpa
kata, mereka menyampaikan simponi damai:
Vie...
Jika kau
merasa lelah, sandarkan itu dalam diam,
Rebahkannya
di keheningan,
Tangkupkan
dalam do’a,
Tuhan selalu
menjagamu....
Dan kirimkan
kami sebagai penjaga,
Aku memang sedang menanti. Di penghujung tahun yang tak mudah
terjalani. Kepastian yang memang tak
mudah dicerna dan mengerti. Juga
(mungkin) tak terlepas dari egosentris yang kumiliki. Aku memang ingin sendiri....
Berjuang meretas mimpi-mimpi bernyawa, yang
seringkali tercacikan sombong melambungkan harga diri. Ahh... biarlah, kulepaskan cerca itu bersama
angin dan hujan.
Aku
pun ingin (ada) dalam mimpi-mimpimu.
Walau tembok itu terasa angkuh menantangku. Meruntuhkannya butuh keajaiban. Mendobraknya adalah suratan takdirNya. Melewatinya adalah keindahan. Berjuang untuknya adalah kesejatian.
Nyatakah
ini... duhai angan?
Tak
mampu paksakan kehendak bagai diktaktor. Hanya berharap (semoga) kehadiran ini (juga)
ada di langit jiwa dan realita. Tak
hanya tertepuk di sebelah tangan saja.
Jika
mimpi ini (juga) milikmu...
Nantikan
aku di ujung hari ini, di tepian waktu itu.
Aku
menunggu di kaki langit. Menyaksikan
pagi dan senja yang terus berganti.
Menyesap kopi pahit untuk terus memampukan penyadaran kesejatian hakiki.
Mencoba halangi waktu untuk berlayar lepas di samudera.
Meyakini
keputusan ini sebagai proses yang terlewati, mengajariku menerima keikhlasan
tanpa tanya.
Nduk...
Kita itu
hanya wayang. Tuhan yang lebih tahu yang
terbaik bagi umatnya. Kopi yang selalu
Mbah Kung nikmati bersamamu ini.. mengajari banyak hal kan?
Lihat lukisan
Mbah ini, semua tergores dengan cinta.
Bisa terlihat berbeda ketika pikiran melayang tanpa batas.
Yakini itu
ya.. Nduk, Mbah Kung selalu menemani langkahmu.
Kilasan
waktu memutar sejarah, mengingatkanku di kesulitan yang terasa penat. Mbah Kung
datang di antara nyata dan khayal. Di
alam keabadiannya, ia menjelma jadi setitik cahaya.
Kini,
biarkanlah aku jadi jalan setapak yang damai menuju hatimu, peri yang menuntun
pada kebaikanmu, kunang-kunang yang selalu mendampingi kegelapan harimu,
kupu-kupu yang menyaput keindahan cakrawala kanvas kehidupanmu, Mentari di pagi
dan malammu, Bulan yang mendekap dan menjaga indah mimpi-mimpimu.
Takkan
ada yang salah, dari semua kejadian yang telah terlewati dan akan
terjalani. Semua memang atas restu Ilahi
Robbi...
No comments:
Post a Comment