Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Sunday, May 11, 2014

Pelangi di Keheningan



Prolog
Aku ingin datang dengan luka yang menganga, ke pangkuanmu... Ibu.  Terkapar dengan biluran luka bernanah.  Tak kasad. Di hati.
 
Yang kuingin, dengan tangan terbuka lalu mengatakan hangat, “kemari nak.. menangislah sesukamu.  Lepaskan semua gundahmu.  Hidup memang tak selalu dengan warna yang kau suka.  Semua tak terlepas dari takdirNya.”

Ya, itu kilatan kenangan yang tak terlupakan.  Menangis di pangkuan bunda.  Memohon ampun untuk kepongahan diri menatap keegoisan diri.  Pembelajaran dan pendewasaan.  Dan itulah aku.. VIE.  Rindukan bilangan waktu
***

Kenangan Masa Lalu

Cintaku sederhana.  Sesederhana aku dan pemikiranku.  Tapi itu dulu.  Banyak yang telah berubah (ternyata).  Perjalananku dengan Elang memang tidaklah sebentar.  Kupikir semua akan baik-baik saja.  Namun harapan tak seindah kenyataan.  Semua kebersamaan itu usai sudah.  Love @the first sight.. itu kupikir tulus adanya.  Ternyata gosip dan rumor itu benar adanya.  Aku hanya dimanfaatkannya.  Cintanya hanya keterpaksaan semata. 
Pergilah aku melangkah sendiri.  Menapaki hari-hari di kesunyian.  Namun... cerita baru mengalir bersama waktu.

Di antara luka, cintaku tetaplah sederhana.  Hanya ingin kebersamaan yang dijalin di ketulusan tanpa jeda.  Maka hanya pria sederhana saja yang mampu menerjemahkannya dalan tautan kasih.

Dan itu belum kutemukan.  Tak sesingkat itu untuk menemukan kesejatian “sederhana”.  Tak cukup belasan tahun untuk memahami konsep itu.  Semua akan teruji oleh waktu.  Perjalanan ini awalnya amat kuyakini menuju ke gerbang keabadian.  Tapi kini, semua tersanggahkan atas sebuah realita.  Bahwa mungkin memang benar jika “tak ada yang abadi”, kecuali kita membuka pikiran untuk sebuah keinginan itu.

Hhhmmhh....kuhirup teh manis panas buatannya.  Sahabatku ini memang selalu berusaha mengertiku.  Walau terkadang kekesalannya juga seringkali tampak nyata.  Namun kami memang selalu berusaha untuk terbuka menyampaikan apapun dengan cara yang sebisa mungkin tak melukai.  Aku pun tak pernah sanggup tersinggung dengan kata-katanya yang terkadang sangat pedas.  Manatap mata teduh yang menyiratkan kekesalan, tetap saja membuatku merasa beruntung memilikinya.

“Manis.. Dy,” kataku menyesap perlahan teh yang masih mengepul panas.  Sekilas melayangkan ingatan teh nasgitel (panas legi dan kentel) khas kota Solo dan Yogya. Hhhh... sudah lama tak sowan ke sana.

“Tadi gue bilang apa?,” tanyanya sedikit terasa ketus.

“Iya..iya, gue bilang gulanya terserah lo..., Cuma komen masa ga boleh,” sanggahku menghampirinya, mengusap tangannya, “makasih... gue hampir lupa ada teh manis, karena selalu berkutat dengan kehambaran teh kegemaran versi gue.  Padahal kalau gue mau.. masih bisa juga merasakan kemanisan dalam hidup juga kan?  Seperti aku menghendaki teh manis ini.  Hanya ingin merasakan sejenak teh buatanmu.  Memahami banyak dirimu.”

“Eh.. lo kalau semakin galau jadi kreatif juga..ya?,” sambil menyantap kentang goreng dan fillet ikan dori.

“Pliiss.. don’t mention that over and over again.  I wanna cry now....”

Senyap sesaat membatasi waktu.  Ia pun beranjak dan berlalu sambil mengusap kepalaku, “Yuk.. sholat dulu..”
***

Sayounara...

Jelang Ramadhan. Tinggal beberapa minggu lagi.  Namun lamunan negatifku telah menggerogoti kesehatanku.  Seraya menatap foto itu.  Just You and Me. Kenapa semua tak menjadi sederhana?

Tahun ini aku harus melambaikan tangan pada semua kenangan masa lalu yang harus kusimpan di tempatnya.  Sayounara.... tak ada pengharapan untuk kembali.  Cukup sudah.  Aku memang mungkin tak layak dipertahankan.  Tapi bukan pula saatnya aku memposisikan diri sebagai orang yang merasa rugi.  Elang yang meninggalkanku.  Dan jika ia ingin aku mengemis untuk cintanya. Najis! Penggalan kata kasar itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.  

Perdebatan itu terus menghadirkan luka.  Aku yang berupaya untuk tetap ada di sisinya.  Bertahun-tahun.  Belajar menjadi sempurna seperti yang diinginkannya.  Menggadaikan semua idealisme yang pernah kupegang.  Atas nama cinta.  Hhh... kata itu semakin menorehkan luka dan airmata.  Ingin menghapuskannya.  Untuk menyembuhkan luka-luka ini.  Mungkinkah?

Mengutip dan mencatat banyak kata yang dilontarkan Dy.  Dalam buku harianku.  Lembaran jiwa.  Selalu mengingatnya, ketika merasa waktu terasa panjang dan membosankan untuk dilalui.  Mengisi kehampaan di ruang tanpa jeda dan batas.  Ingin mampu menembusnya.  Untuk sekedar tahu perasaannya.  Melihatnya jauh di kedamaian jiwa.

El, tak ingin lagi tumpahkan airmata untukmu.  Perjalanan yang kuanggap awal ketenangan jiwa itu telah terporak.  Ramadhan ini semua akan dimulai tanpamu. Masih terasa sakit.  Apalagi menatap mentari kecil di sudut ruangan.  Meringkuk tanpa daya.  Aku pergi untuk tak lagi menghadirkan kebencian padamu. Dan bukan itu yang kumau.  Bagaimana pun adanya, semua tetap pernah bermakna bagiku.

Maka lagu ini, yang tengah mengalun di sepetak kamar milikku kini.  Peraduanku tempat menangis tanpa seorangpun tahu.  Jutaan pedih itu biarkanlah milikiku.  Mendekapku.  Merindukannya sepanjang waktu.  Di antara semua perbedaan yang menjadi indah kini.  Itu pula yang mengantarkanku untuk mengatakannya, over and over again.. Dan kusadari itu bukan kamu. 
 
Terusir dari lingkaran waktu dan kehidupanmu. El, sayounara.... temukan perempuan sempurna untukmu.  Dan itu bukan aku.

Tangisan itu tak terhenti jua.  Aira terbangun dari tidurnya.  “Mommy....,” panggilnya.  “Iya.. sayang, udah bangun?,” melangkah mendekatinya. Menyusut airmata dengan cepat.  Ia tak boleh menyaksikan kegundahanku.  Memeluknya erat.   Mengusap lembut rambut ikalnya.  Tak berapa lama Aira pun terlelap kembali. 
Beringsut perlahan, meneruskan ketikanku.  Sayup lagu ini masih kuputar di hening malam. Untuknya teman sejatiku... Sahabatku.

ALL OF ME
by John Legend
What would I do without your smart mouth
Drawing me in, you kicking me out
Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down
What's going on in that beautiful mind
I'm on your magical mystery ride
And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright
My head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
'Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
How many times do I have to tell you
Even when you're crying you're beautiful too
The world is beating you down, I'm around through every mood
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing in my head for you
My head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
'Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
Give me all of you, oh oh
Cards on the table, we're both showing hearts
Risking it all though it's hard
Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you
I give you all of me
And you give me all, of you, oh oh
***

Catatan Perjalanan

Journey.. itu sebutanku untuk sebuah perjalanan baru yang kumulai di tahun ini.  Belum banyak cerita.  Hanya kepedihan yang terbungkus dalam diam.  Tak inginkan ini.  Namun kutahu memang ini yang terbaik.  Saat ini.  

Lama untuk mampu kembali bangkit dan berdiri.  Tak ada yang kendalikan itu.  Semua bagaimana caraku menatapnya.  Keindahan itu muncul dari hati yang tulus. Kemurnian pikiran menerima dengan ikhlas semua tahapan kehidupan.  Bintang di atas langit di antara kegelapan, mampulah jadi pelita.  Tak perlu selalu menangis untuk sesuatu yang tak layak ditangisi.  Namun carilah sandaran untuk mampu mengurangi isak.  Dalam hening malam.  Di pelukan damai sang waktu.

Menatap matanya.  Sipit dan teduh.  Menenteramkan.  Jauh di ujung waktu itu, tetap ingin melakukan banyak hal bersamanya.  Mendampingi di antara mimpi dan harapan.  Yang kumiliki bersama Aira.  

Hatiku bukan pualam.  Merekatkannya kembali bukanlah pekerjaan yang mudah.  Bertahun lalu ini pun telah pernah retak.  Tapi aku tetap percaya, waktu adalah obat terbaik untuk semua kehidupan ini.  Memejamkan mata sejenak.  Menatap di kegelapan.  Setitik cahaya itu muncullah.  Thanks God... for everything happened, in happiness and sadness.  Jadikanlah aku hambaMu yang selalu mampu berdiri dan bersyukur...”.

***

Lembar Baru

April bukan bulan yang mudah terlalui.  Tak perlu juga menyerak pada keadaan yang memang tak berpihak.  Aku tetaplah Vie.   Penyiar kenes yang selalu berupaya menyembunyikan airmata, sambil cuap-cuap memotivasi pendengar.  Seringkali aku merasa gagal untuk memotivasi diriku.  

Bulan ini menjadi titik balik untuk beringsut dari keterpurukan.  Simpan saja tangis itu.  Sedu sedan itu.  Berikan untuk hal yang berarti dalam hidupmu.  Yang menghargai kehadiranmu.  Memerlukan ketulusanmu.

Tapi.. itulah aku.  Perempuan biasa saja.  Di depan semua orang, Aira dan bahkan Dy, aku selalu menyembunyikan tangisku.  Seringkali tak mampu berkata-kata.  Hanya bisa berupaya “baik-baik saja..”

Kali ini aku memang berjanji, bagi diriku, untuk mampu lebih berarti.  Berdamai dengan diri dan keadaanku.  Tak ada yang sempurna.  Maka biarkanlah mengalir.  Seperti airmataku dan tetesan air di jendela.  Memburamkan mata dan kaca.  Lalu menghadirkan rona pelangi yang indah.

“Moommyy.... ada Masha,” Aira berteriak dan melompat kegirangan, “come on... Mommy, duduk di sini,” ditunjuknya sofa kecil disampingnya.   Aku beringsut mendekatinya.  Meninggalkan semua  kesibukan  yang membelenggu.  Yang membuatku semakin “sakit”. 

Menarik nafas dalam-dalam dengan normal.  Melepaskannya perlahan.  Sakit di dada memang masih menyesak.  Namun tak boleh buatku semakin kehilangan arah.  Aku punya Aira yang harus kujaga.  Deminya aku mulai mempercayai kembali ketulusan hubungan.  Untuk Aira dan Dy.

Jauh di ujung langit, kutitipkan banyak doa untuk pejuang-pejuangku.  Kuatkanlah hati untuk tetap jadi setitik cahaya bagi semua yang inginkanku.  Kembali menitikkan airmata.  Tapi ini bukanlah kesia-siaan.  Mereka selalu tahu aku ada.  Selalu ada.  Ini hanya masalah jarak.  Ini hanya masalah waktu.
Dan berlalulah duka...

Mentari tetap merindukan Bulan dan Bintang.  Di kaki langit mereka bersalaman dengan semburat merah jingga di lazuardi.  Keindahan yang selalu menjadi pemandangan terindah pecinta alam.  Dengan secangkir kopi pahit yng tersesap perlahan.  Semua selalu diciptakan berpasangan. Suka-duka. Pahit-manis. Indah-buruk. Sedih-bahagia.  Dalam harmoni kehidupan semua mengalun sempurna.

Berdamailah dengan waktu dan lukamu, Vie.  Tak mudah.. Tapi bukan tak mungkin. Demi dirimu, Aira, Dy dan pejuang-pejuang kecilmu.  Percayalah... kau tak sendiri.  Tutuplah semua dengan manis. 

Puisi Wiji Thukul ini mengusik semua kebisuan.  Mampu bangkitkanku dalam sunyi.  Inilah saatnya..

SAJAK SUARA

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

Iringan lagu ini akan terus terngiang, di relung jiwa. Badai pasti berlalu.... 

***

Thursday, May 8, 2014

#Untuk Sebuah Nama



Lama bertapa di keheningan, membuat kreatifitasku semakin tak terbendung.  Banyak ide penelitian yang mangalir.  Walau akhirnya aku mengerti bahwa ide itu memanglah jiwaku. Ruhku.  Maka hanya akulah yang terpilih untuk menuliskan dan mempresentasikannya secara sempurna.

Berselancar di dunia maya dan sosial media kuabaikan untuk menetralisir perasaan negatifku pada kehidupan.  Kekecewaan ini terlalu dalam.  Hampir menolak keras takdir Tuhan untukku. Yang terbaik, walaupun pahit.  Namun kemudian perlahan kusadari, bahwa rasa pahit itulah yang membuat rasa kopi semakin sempurna.  Aah, kenapa bisa kulupakan itu?  Harusnya aku lebih membuka pikiranku, bahwa memang tak ada yang sempurna.
Nazla Khumaira, tengah mewarnai di buku yang kubelikan untuknya.  Begitu menikmati hari-harinya dengan keceriaan khas balita.  Sesekali kupandangi dan menanyainya tentang kegiatannya hari ini.  Celoteh cerianya selalu mampu membuatku kembali berdiri ketika penat menghampiriku di ujung hari.

Mmm... ialah Mentariku.  Bersama Bintang ketika langit gelap menaungi.  Mereka berdua yang tak lelah mendampingiku untuk dapat menyusun kembali semua mimpi.  Mewujudkannya.  Masa lalu itu tetaplah di belakang.  Tak perlu diratapi.  Tak juga harus membuat diri menjadi bersalah dan tak berarti.  Karena memang bukan aku yang membuang semua kehidupan yang pernah terlalui.  Hanya kebajikan yang ingin kuingat, sebagai pembelajaran pendewasaan pikiranku.  Cinta itu memang hanya bertepuk sebelah tangan, maka tak perlulah memaksakan keinginan.

Tetaplah berjalan.  Melangkah untuk sebuah pengharapan.  Demi Nazla Khumaira.  Demi satu nama yang selalu lekat dalam hati.  Dy.  Bismillah....[]

The contact: Cerita di keheningan

Di sebuah perjalanan baru yang tertapaki, aku menjaga hati untuknya.  Menempatkannya di ruang hati yang terhias apik dengan rerona bunga setaman.  Harum semerbak selalu memenuhi relung-relungnya hingga sudut jiwa.  Semua memang lengkap dan sempurna.

March 12, 2014
/Cintanya, sejuk laksana embun pagi. Kasihnya, tulus seperti Mentari. Tatapannya, teduh bagaikan awan. Senyumnya, semanis Rembulan. Temani aku, mencari makna.. Nazla Khumaira,,/

March 13, 2014
/...menatap Aira,panggilannya,ketika melepas penat setelah seharian menjalani rutinas,bagai sejuk embun pagi. Menyegarkan. Jemari lentik mungilnya menyambut, memegang pipiku,seraya berkata,"I missed you.. Mom,seperti ini.....",ia pun berusaha memelukku erat. Kurengkuh badannya, dan mengecup lembut pipi tembemnya, "mmm...Mommy juga kaangeen, sayaang..". Aah, tak pernah sekali pun, atau tak sekedip pun, takkan berani membayangkan hidup tanpanya. Cintanya adalah Mentari. Kelucuannya jadi Energi. Ia alasan hidup terbaik.  Aira adalah Maknaku./

March 18, 2014
/...tiba-tiba, buliran bening yang telah lama tertahan di pelupuk mata itupun mengalirlah. Kepedihan yang selama ini tersimpan rapi di sudut hati, menyeruak di rimbun keteduhan jiwa. Aku menyerah... Kerinduan itu telah mengental dalam darah. Mendekap Aira yang terlelap damai, mengingatkanku pada sosok yang selama ini selalu menemani. Memberi kasih tulus tanpa jeda. Terasa nian jarak yang membentang kini. Hhhh... I really missed you, Mom./

March 19, 2014
/..tercenung di kepadatan lalu lintas yang menjebak. Baru benar kusadari kebodohanku. Keinginan memilikimu, telah membuncah di batas waktu. Tak ingin bagai menggenggam pasir. Waktu yang berdetik, pertanda inginku dekat di pembuluh nadimu. Aku, sedang mempertanyakan ketulusan- tapi, belajar keikhlasan. Kau memang mengajarkan arti Kehangatan PERSAUDARAAN Tanpa Ikatan Darah. I really..missed you... bisikku bergetar menahan tangis, dan terus mendekap Aira.. MIMPIku,/

March 20, 2014
/..aku tidaklah sempurna. Maka berlari menjauhlah.. Elang, jika inginkan itu dariku. Cintaku sederhana saja, bagai kunang-kunang di pekat belantara. Cukuplah jadi sekerlip Bintang. Ketulusan hati yang sematkan indah puspa jiwa. Aira..Aira,,banyak yang pertanyakannya. Namun buatku, ialah kesejatian nyanyian damai dawai hati./

March 22, 2014
/...yang kupeluk kini, hanyalah Aira. Mimpiku. Tangis tertahan, agar tak membangunkannya. Aku merindukan kebersamaan yang hangat. Selepas beragam aktifitas yang membelenggu. Akhir pekan yang membahagiakan, dengan cara sederhana. Tuhan, pinjamkan kekuatan dan kesabaran lebih, untuk mempercayai Mentari Pagi yang akan selalu menyapa ramah. Esok... Tetap memeluk Aira, menyanyikan kidung malam. Tidur nyenyak yaa.. Cinta, aku selalu ada untukmu./

March 26, 2014
/..tiba-tiba terjaga dini hari. Tanganku masih mendekapnya. My angel..Aira. Yang selalu menghiaskan lengkungan senyum dan tawa lepas di wajahku. Pagi ini aku terperangkap di kegelisahan. Tiba-tiba mata sipitnya terbuka perlahan, "I love you...Mom, mau kasih bearhug, like Marsha". Aku tersenyum, mengecup keningnya dan menggusap jemari lentik mungil miliknya, "love you too.. Mentari". Dan, ia pun kembali terlelap. Kembali mengemas tasku. Tak pernah sebelumnya meninggal Aira tanpa menemaninya sarapan dan mendengarkan celotehnya. Pekerjaan ini mulai menyita banyak waktuku. Seringkali tak sempat bercengkrama. Tuhan, hanya Engkaulah sandaran jiwa manakala merapuh dan berpeluh. Dan tetap izinkanlah.. Aku mendekap Aira kini dan nanti (yaa?), karena tanpanya hidup terasa hampa dan mati../

March 27, 2014
/.. Malam hening meleburkan harapan dalam setangkup doa. Surat dari Sahabatku, terbaca di kemurnian jiwa dan pikiran. Di sampingku, (masih) terlelap Aira, Matahariku. Menatapnya selalu mendamaikan. Terus membaca dan menulis untuk menemaninya. Sesekali kuhentikan ketikan, ketika merasa resah merangkaikan kata, untuk sesaat menyentuhnya. Mengusapnya. Ialah semangatku. Dalam suratnya, sahabatku mengutipkan pepatah bijak: "You can not change the wind direction, but you can only change your wing direction" Ah, yaa.. Sahabat, aku Vie sang penjelajah waktu, petualang sejati yang telah menjadi kupu-kupu. Memampukan diri mengubah arah sayap agar tak terpatahkan Sang Jeda. Terimakasih, karena tetap berkenan menjadikanku "makna". Menguatkanku./

April 02, 2014
/.., melesapkan kenangan di sudut tergelap hati, sambil menyesap secangkir kopi pahit. Usailah. Cukup sudah. Berdiri tegak kembali, di pijakan kaki sendiri. Lembayung menggayut di lazuardi. Penanda batas hari Terlewati (lagi) sehari penuh makna syukur. Apapun iramanya. Mengalirlah...Tuhan, Terimakasih..atas pinjaman kekuatan dan kesabaranMu. Di tangkupan doa ini..tetap izinkan aku terus mendekap rindu bersama Aira. Memeluknya sepanjang waktuku. Menemaninya tanpa jeda. Menghiasi hari demi hari dengan lengkungan senyum manisnya. Melukiskan tawa lepas di rona merah pipinya. Sepanjang waktu yang kupunya. Tanpa jeda. Amiin.. Membulir bening, merinai. Embun. Mengalirlah../

April 05, 2014
/..Sepagi ini aku telah merindukannya lagi. Padahal tadi sempat memeluknya erat. Dan menciuminya berulang kali. "Mommy... Aira love you, much...", jemari mungilnya mengembang,"tapi..pipi Aira jangan diciumi terus, nanti bisa kempes", protesnya lucu. Aku tersenyum simpul. Memeluk dan menciuminya lagi. "ga..dong, honey. Mommy selalu kangen padamu",tegasku sambil mengusap rambut ikalnya. Ya, aku memang selalu terjebak perasaan kangen padanya, seperti siang yang terus terpaut rindu pada Matahari. Mematikan waktu sejenak, untuk bisa menelponnya. Sejenak mendengarkan suaranya menggaung di telinga, bagai siraman sejuk embun pagi. Energi baru di siang yang melelahkanku. Spasiba balshoi... Aira, untuk semua warna pelangi baru di langitku. Kesempatan memilikimu, adalah anugerah Tuhan yang terindah. Hingga kenangan kelam itupun melesaplah.. bukan lagi jadi lapisan rapuh. Walau dalam balutan cinta yang tak sempurna, maafkanlah..untuk itu. Tapi aku terus berjanji, dalam hati. Ada untukmu. Selalu mencintaimu setulus hati. Aira, Bintangku./

April 08, 2014
/..Siang ini aku duduk termenung. Di hadapanku hanya ada secangkir kopi hitam kental panas. Tak terhitung berapa siang yang tak kujalani bersama Aira untuk makan siang bersama. Berulangkali menelponnya, tapi sinyal tak kunjung bersahabat. Tak tahu harus bagaimana lagi. Aku hanya ingin pulang, memeluk dan mendengarnya bercerita panjang lebar. Tak jauh dariku sepasang mahasiswa bercengkrama. Sesekali bergurau dan tertawa. Aku ingin Aira di hadapanku dan makan siang bersama. Mendengarkan celotehnya. Hanya ingin melihatnya tertawa lebar. Aah..aku harus bisa meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Merancang libur yang sederhana, untuk melihat matahari terbenam bersama. Merasakan sekejab, keindahan rasa yang membuncah. Memilikinya kini./

April 15, 2014
/...,cahaya matahariku, memberi waktu menatap pagi, menyentuh sejuk embun dan memeluk mimpi-mimpi. Memberanikanku mewujudkannya hingga tak teronggok sebagai angan kosong di sudut ruang labirin waktu. Mmmm..harum aroma secangkir kopi hitam pahit menyeruak dari dapur kecil di pojok kamarku. Menyesapnya perlahan, seraya menghirup dalam aroma khasnya, membuatku kembali di kesegaran. Secangkir kafein cukuplah untuk membuka mata yang kuyu. Baru bisa terlelap jelang subuh. Aira masih menonton Masha and The Bear kesukaannya. Sesekali menoleh dan tersenyum manis padaku. "Mommy, terimakasih....", sejenak terkejut dari lamunan, menyadari pelukan eratnya. "mmmhh..yaa, Sayang. Tapi untuk apa?", mengangkatnya, meletakkannya di pangkuanku. Mengusap rambut ikalnya. "untuk pagi ini...Mommy liat Masha..", jawabnya lugu dan polos khas balita, mirip Masha. Aah.. Cinta, maafkan Mommy... tak cukup waktu untukmu, bisik hatiku menyesak. Kaulah nadiku. Selalu. Bagaimana pun rintangan itu. Kaulah jiwa yang bermakna.. *bearhugs,kisses*/

April 19, 2014
/..dan elang itu terbang pergi. Tinggallah aku dan Aira. Kupandangi wajahnya. Tetap mendamaikanku. Menyepi di hiruk pikuk dunia. Panggil saja aku Vie, penyiar di sebuah radio yang tengah menyelesaikan novel. Yang selalu berusaha tetap berdiri tegar, setelah ditegur keras. Memberanikan diri mewujudkan mimpi-mimpi. Cahaya Matahari itu Aira. Mendekapnya di setiap lintasan malam, bagai memetik Bintang. "I love you...mmmhh", ia mengecup pipiku lembut memelukku erat, "bearhug" istilahnya. Menyambut ketika aku datang terdera penat. Hhh... Tuhan, jangan biarkan damai ini pergi.. pandanganku pun memburam. Membalas pelukan erat dan menciumnya berulangkali. "Chubby bunny...missed you so.. yuk, temani masak spagheti.. Sayang". "Aaasyiikk..," ia selalu melompat-lompat kegirangan jika aku meluangkan waktu untuk memasak makanan kesukaan dan menemaninya makan malam. Terduduk sejenak di sofa, mengusap lembut kepala dan rambut ikalnya. Mendengarkan celotehannya. Kemudian mendekapnya hingga tertidur pulas. Tuhan...titipkan sayang ini padanya sepanjang waktu. Agar tak terasa tepian sunyi itu. Dan izinkanlah aku memilikinya tanpa jeda waktu. Amiin.../

April 21, 2014
/...,dan aku Vie, dengan segala kerumitan dan keribetannya. Namaku Aniesah Alviany, dan panggil saja aku Vie. Tengah menemani Cici, kucing kesayanganku yang sakit. Memandikannya. Membungkusnya dengan handuk. Memberinya kehangatan. Aah..ternyata ia menantiku. Tak lama, matanya pun terbuka. Menatapku hampa. Aira..ingatanku melayang padanya. Tak ingin di kehampaan tanpanya. Sejurus kemudian, aku menyaksikan tubuh Cici mengejang. Menarik napas. Perlahan dan tersengal. "iya.. Ci, aku ada untukmu. Sembuh yaa..miliki semangat hidup itu." Mengusap lembut bulu, di tubuh yang mengurus. Hhh..hanya aku yang berusaha tulus padanya. Membagi kasih pada sesama makhlukNya. Airmataku membulir. Tubuh Cici lemas, bagai tak bertulang. Hembusan napasnya hilang. Tatapan matanya kosong, tak lagi berbinar. Aku merawatnya dari bayi. Menyaksikannya berjuang demi sebuah mimpi kehidupan. Kini, aku harus melepasnya pergi. Ia menungguku, untuk ajal yang menjemput. Menahan kesakitannya. Hhh..pergilah dengan tenang, Ci, bisikku, seraya menutup liang lahatnya di kebunku. Dekat bunga melati kesukaanku. Satu persatu..akhir kehidupan itu kusaksikan. Mengingatkanku. Hidup cuma sekedipan mata. Berartilah. Aira... Aira... hanya kata itu yang mampu kuketikkan di lubuk hati terdalam. Menyimpan "I love you...and need you..." di relung sanubari. Di hening malam penuh kesunyian. Hanya ialah makna hidup, kini dan nanti. Alhamdulillaah..untuk cahaya mataharimu, satu hari (lagi) bersamamu. Selalu ada yaa.. Cinta, saling temani. Tetap genggam tangan, hingga terpejam. Aku sedang takut dan gelisah.../

Semua catatan ini terambil dari media sosial milikku.  Kutuliskan semua sebagai teman ketika perjalanan menembus Cadas Pangeran.  Perjalanan rutin seminggu dua kali.  Aku memang selalu merindunya.  Ingin selalu menuliskan namanya di setiap penggalan waktu yang terlalui.  Tak ingin menjadikannya sia-sia.  Namun ketakutan dan kegelisahan itu benar-benar mengunciku di kebekuan dan kekeluan.  Hingga semua memang terhenti di hari itu..... Sejenak.[]

Sepenggal Kejujuran

Aku menatap wajahnya yang terlelap di sampingku.  Badanku panas.  Menahan kesakitan yang tak pernah kuceritakan.  Tetap kudekap erat hanya untukku.  Berulang kali aku terjaga.  Untuk kembali memeluknya erat.  Begitu takut kehilangannya.  Ahh...

Aira pun terlelap di sudut lain.  Ia tetap nyenyak.  Seharian berceloteh tentang Masha.  Menuturkan kesabaran Mischa si beruang.  I love him.. Mommy”, ucapnya kemudian.  “Kenapa.. sayang?”, tanyaku meresponnya.  Menghentikan sejenak ketukan jari-jariku di keyboard.  Hmm.... kekhawatiranku tentang tertumpuknya pekerjaan ini memang tak cukup untuk mendampinginya melalui hari.  Semua bisa menanti.  Tapi tidak demi waktu yang harus kubagi dengannya. Kini, hanya dia yang kumiliki.  “mm... Mommy tahu ga, Mischa itu sabar banget.  Sayang banget.  Mommy sayang Aira ga?”, tanyanya tiba-tiba.  Mengejutkanku.  “Kenapa Aira nanya gitu..? Mommy sayaaaangg banget....,” aku merengkuhnya dalam pelukanku.  Menciumi pipi tembemnya.  “Cuma maafkan Mommy yaa.. sayaang, sering meninggalkanmu sendirian bersama mbak Ina.  Mommy kan harus kerja..”.  Hhhh... guilty feeling itu selalu menghantui banyak perempuan sepertiku.  “mmmmuuaaachh....,”  Aira memang tak menjawab apa-apa.  Bearhug dan ciumannya menyadarkanku.  Ia layak diperjuangkan.  Tak harus aku selalu terbelenggu di kelam kenangan yang tak sudi menatapku. 

Ia hanya membalas pelukanku dengan sangat erat dan hangat.  Menciumku dengan ketulusan yang langsung membidik relung hati.  Menyadarkanku.  Tak pernah menerima ciuman dengan ketulusan seperti ini.  Menyembunyikan kepala di dadanya.  Mendengarkan detak jantungnya.  Semakin mengalirkan energi positif untukku.  Tanpa sadar buliran bening itupun mengalir.  Ia belum menyadarinya.  Aku hanya perempuan biasa.  Kegundahan itu menyeruak mencari udara bebas.

“Eh... ada apa? Kenapa?”, tanyanya kemudian.  Memaksaku untuk menatapnya dengan memegangi wajahku.  Hanya terdiam dan menggeleng perlahan.  Kembali memeluknya erat saja.  Belum mampu menceritakan bahwa aku begitu menginginkannya dalam hidupku.  Tak perdulikan waktu.  Hanya ingin bersamanya.
Dan, saatnya memang tiba.  Mengalirlah semua kejujuran itu.  Kesakitan itu selalu terwarnai dengan buliran bening di balik kaca jendela mata.  Biarkanlah..... hanya untuk membantu melegakan jiwa.  Membebaskan hati dari semua ketakutan itu.  Aku berusaha siap menunggu reaksinya.  Tak berniat berlari dalam kebohongan.  Namun khawatir ketika ia kemudian berlari dan berlalu, ketika tahu aku hanyalah perempuan biasa.  Tak sempurna.  Aku telah melewati banyak pintu yang telah terbanting.  Kaca itupun telah retak.  Aku bukan siapa-siapa.  Sanggupkah tatapanmu (masih) sama?

Dini hari ini aku tetap sendiri.  Tak mampu terpejam.  Karena tetap terjebak di kekhawatiran.  Seperti naif.  Tapi itulah kejujuranku.  Mentari esok itu terharapkan tetap hangat.  Pelukan dan ciuman itu tetap ingin kurasakan.  Atas nama sebuah ketulusan dan kejujuran.  Jaket, kaos dan aroma tubuh yang lekat membuatku berulangkali terjaga.  Hanya sekedar mengirimkan pesan singkat.  Are you still there?” Hhhh... takut, dan aku teramat merindukanmu.... Dy. []