Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Monday, May 13, 2013

CERITA HATIKU

Di semua puncak gunung yang kudaki, tak pernah kutemui kesulitan yang berarti.  Walau pendakian tersulit yang kulakukan sendiri, kala membuang sepi dan gundah. Rinjani merupakan petualangan penutup yang tak mungkin kulupakan.
Tak mudah membuang benci.

Itu belum jadi petualang sejati, manakala petualangan hati berbicara.
Bagaimana hatimu bisa bebas menjelajah perasaan yang tak mengenal batas ruang dan waktu.

Perjalanan yang kutuliskan ini...
Merupakan sebuah perjalanan hati yang benar nyata terjadi.  Cerita perjalanan hatiku membelah waktu, di antara kesunyian jiwa yang tumbuh di keramaian dunia.
Yaa... jika berkenan, jadikan saja ini cerita hatiku, hatimu... atau hati orang-orang yang kalian cintai.
Teman yang bisa menjadi dongeng, walau memang tak berakhir sempurna seperti yang ada dalam cerita khayal yang dibacakan menjelang tidur.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi,
Aku pernah membaca, bahwa seseorang bisa amat menyukai pagi karena identik dengan harapan baru.
Hmmm... aku pun setuju dengan pagi yang menunjukkan asa dan harapan.
Maka, yaa... aku lebih suka pagi.  Karena kemurnian oksigen yang bisa didapat ketika dini hari (pagi). Harapan-harapan baru pun dilakukan, ketika pagi.  Menggantikan malam yang lelah, dan bangun dari istirahat yang memulihkan tenaga.
Dan banyak keindahan bisa terlihat di pagi hari, walau terkadang penuh kelelahan juga dengan melihat lalu lintas yang padat.
Itulah hidup... tak bisa memiliki semua yang indah saja.

Tuhan Maha Adil karena membagi rasa menjadi dua: pahit vs manis; senang vs sedih; suka vs duka, dll.
Pernahkah terfikirkan untuk belajar menerima kesedihan terlebih dahulu, dibandingkan kegembiraan atau kebahagiaan?
Belajar berdamai dengan kesakitan, kepedihan, kegundahan, kepahitan atau kegetiran. Ikhlas menerimanya saja dulu.

Yaa... memang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Aku pun lebih sering tersungkur di kesakitan, dan menangis sendiri ketika bersimpuh di hening malam.  Hanya di keheningan malam, saat aku merasa bersahabat dengan kesedihan hidupku.
Hanya saat itu.. saja, selebihnya aku habiskan waktu dengan tertawa dan keceriaan yang terbagi untuk orang-orang yang mengenalku.
Hingga mereka tak tahu bahwa aku adalah orang yang "tough outside, but fragile inside".
Aku sudah putuskan sebagai petualang sejati.

Hmmmm...
Seringkali ini didefinisikan dengan hal "negatif".
Namun aku adalah aku, yang memang selalu membebaskan angan dan belajar bersahabat dengan kelam.  Tak semua orang setuju dengan fikiran kita, namun tetap tegaklah memegang apa yang kau yakini, jika itu memang benar.
Biarlah... orang bermain dengan fikirannya masing-masing tentangku. Berbicara banyak hal tentang aku.
Dan dengan sedikit egois yang tersamarkan, aku akan katakan lantang "aku tak perduli...".
Maaf jika kau tak setuju, itu memang hakmu.. tapi perjalanan hidup mengajarkanku.. banyak hal.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ibu.. aku ingin melepas kegundahan ke Lombok, mungkin seminggu."
"Kemana... nak?"
"Sudahlah... Bu, biarkan aku melakukan apa yang kulakukan."

Hanya sesingkat itu pesan yang kusampaikan lewat telfon, pada Ibu yang memang terlalu sayang pada anak perempuan tertuanya ini.
Anak perempuan yang selalu dengan lantang menyatakan sikap, jika tak menerima ketidak-sesuaian pendapat.
Hmmmmm...
Hanya itu... desah nafas panjang yang dihela Ibu, sebelum kuakhiri salam.
Terasa berat dan tak berdaya, karena aku selalu melakukan itu.  Dilarang pun sia-sia.

Aku bergegas berangkat ke Cicaheum, untuk mengejar bis menuju Cirebon.  Ada bis patas yang bisa mengantarku dengan cepat ke Surabaya, dengan tarif ekonomi.
Hari ini kuputuskan menuju Lombok dan mendaki Rinjani sendiri, tegasku dalam hati.
Ini adalah perjalanan tergila yang kujalani.
Aku sudah tak memperdulikan kuliahku, karena aku sudah mengabari Ika dan Neu, bahwa aku mengambil izin pada semua dosen, karena ingin menemui keluarga di Yogya.
Maaf... sahabatku... belum bisa kuceritakan ini. Biarlah kali ini aku egois dan tak membagi kepedihanku.  Buatku yang akan kubagi cerita manis saja. Tawaku saja.

Yopie teman sesama pendaki, yang telah banyak mebagi pengalaman ketika ia dan rombongannya ke Rinjani, sudah berteriak-teriak panik.
"Vie... tolong.... jangan lakukan itu sendiri. Bisakah kau tunggu kami saja?"
"Kau khawatir kah?. Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tinggal mencari pendamping dari penduduk sekitarkan?"
"Vie... please.." nadanya benar-benar khawatir. Dan 3 bulan kemudian baru kuketahui alasannya, kenapa ia begitu khawatir.
"Yopie, kirimkan saja rutenya dan rincian dananya. Ok?  Aku akan baik-baik saja."

Akhirnya, kini aku ada di sini, di perjalanan menuju Surabaya.  Pekat malam terbelah dingin, sehingga kunaikkan kerah jaket dan menggunakan penutup kepalanya.
Aku terlambat mengejar bis patas yang kumaksud dari Cirebon, sehingga menaiki bis yang selalu berhenti di setiap terminal untuk mencari penumpang.
Berulangkali, kursi di sebelahku diduduki laki-laki, karena aku baru menyadari ternyata perjalanan malam itu di dominasi oleh kaum Adam.
Huuuufftt... khawatir juga. Ibu... maafkan aku, sesalku..

Kubaca semua do'a untuk mengusir kekhawatiranku tentang manusia.  Aku hanya berpasrah padaNya, tentang hidup dan matiku.  Walau berat kujalani, aku tetap ingin berdiri dan terus berdiri di atas kakiku, atas nama kebahagiaan hatiku.
Aku percaya, dan memang sangat percaya, jika perjalanan hidup dilalui dengan cinta kasih, maka itu pulalah yang akan menjadi teman perjalanan ini.
Aku tak bisa mengikat hati manusia untuk tetap bersamaku, yang bisa kulakukan hanyalah memberi pengertian bahwa aku ada untuknya.
Dan jika ia pun tak jua percaya... akan kubebaskannya melambungkan angannya tanpaku.
Aku ikhlas menjalaninya... kembali sendiri.
Karena sebenar-benarnya, aku tak pernah benar-benar sendiri.  Allohu Azza wa Jalla tak pernah pergi.

Sesekali mataku terpejam, untuk sekedar melepaskan beban hati ini.
Menatap langit pekat, dan kembali menitikkan airmata perlahan.
Yaa Rabb... tuntunlah hatiku serta izinkanlah hatiku menemukan keikhlasan, menjalani suratanMu, dengan lapang.
Kau yang tahu batas kemampuanku untuk bangkit dari limbung dan sakit ini... Tuhan..
Semua terjadi dengan izinMu, kehendakMu....
Dan sangat kuyakin, bahwa yang Kau gariskan ini... masih ada dalam batas kekuatanku sebagai hambaMu.

Aku memang belum tertidur dengan lelap di perjalanan ini, karena terlalu takut meninggalkan kesadaran di perjalanan.  Aku sadar aku hanya sendiri.
Perjalanan ini merupakan pembuktian, bahwa aku akan kembali padaNya sendiri.  Berani menerima suratan takdir sendiri. Dan belajar bangkit dari keterpurukan sendiri, hingga harus berani meluapkan kepedihan dengan berteriak di lautan lepas, atau puncak gunung tertinggi, agar dapat memukul angin dengan kemarahan yang selama ini tertahan.
Membebaskan perasaan dan kembali bernafas dengan normal. Yaa... karena aku sering tersengal, karena masih terbalut amarah dan kecewa.

Sejurus aku terlelap, mungkin karena benar-benar merasa lelah menahan semuanya sendiri.
Dan yang kurasakan kedamaian, walau sesaat. Adzan Shubuh itu bagai embun yang menyejukkan hati yang kerontang karena lara.
Aku seperti kembali menemukan aku yang dulu, sebelum menghadapi permasalahan yang meruntuhkan pertahanan jiwaku.
Kunikmati itu walau sekejap.  dan disanalah kutemukan kebenaranNya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kilasan cerita itu seolah menjadi pusaran waktu yang kembali.
Apakah dunia itu memang bulat?  Benarkah? tanya iseng yang menggelitik hati, karena yang kuhadapi kini, bukanlah hal yang mudah kulalui.
Aku bukan menyerah pada nasib, namun aku belajar untuk berpasrah pada garis ketentuanNya.
Aku belajar banyak tentang ketulusan, keyakinan, kepasrahan dan yang terpenting adalah keikhlasan menerima hidup dengan apa adanya.

Mpah... I really missed you all the time since you passed away.
Keluhku gamang pada hatiku sendiri, sejak kepergiannya setahun silam.  Beliau yang selalu memberiku semangat, nasihat dan pemahaman tentang Islam secara kaffah. Menjadikan Islam benar-benar sebagai panduan hidup, dan bijak di kehidupan.
Mengajari cinta tulus yang tak tergerus jeda.


Cinta yang tulus, yang tak tergerus waktu.
Adakah ini?
Selaksa tanya terus bergelayut di langit hati, membaca pelangi yang datang silih berganti. Tak henti mempertanyakan... adakah ketulusan yang sejati.

Aku coba membuktikan itu dalam kehidupan yang kujalani kini.
Nyaris tak percaya, ada cinta yang seputih itu, setulus itu.
Sampai kutemukan dia kembali.

Perlahan kupahami dia dengan segala keunikan sifat dan karakternya.  Kupelajari sikap dan sifatnya selama hampir 2 tahun.  Di batas ruang kelas, kantin atau bahkan di dunia sosial media. Pribadi yang nyaris jarang kutemui di dunia yang chaos. Lugu, pemalu dan pendiam, merupakan pribadi yang hanya satu-satunya di kelasnya. Hampir sempurna ia menutup karakter aslinya.
Hanya bukan aku, jika tak sanggup ungkap dan sibak kabut yang dipakainya menutup diri.
Hmmmm....
Menarik, bisikku pelan ketika kutemui di pertemuan pertama kami.

Waktu yang telah menepi kini, selalu mengantarkanku pada titik nadirnya. Manakala kukatakan resah, gundah dan sepi.  Kabut menipis dan kulihat dia ada dan selalu ada menemani.
Awalnya... biasa saja, tak ada yang menarik dari kami.
Semuanya... benar-benar biasa, dan yang tak terduga.... begitu mengalir mengikuri arus yang menuntun pada kesejatian yang hanya bisa difahami dan dimengerti oleh kami saja.

Malam-malam yang sepi selalu mengantarkan mimpi indah... seindah harapan ketika pagi.  Buat kami itulah saat menepi yang sempurna, dari semua kebisingan yang seringkali membutakan hati.
Yaa... membutakan dari perasaan yang tak terbaca.
Menulis banyak rangkaian kata indah...
Saling menemani, ketika terlelap... dan terjaga.

Vie..Dy.. berbincang tentang Cinta dibawah Terang Bintang dan Cahaya Bulan. 
Ia menuliskan kalimat ini, ketika aku merasa teramat lelah dan penat. Aku tersenyum... yang kuyakin dia pun bisa melihat itu.
Kami selalu bisa berkomunikasi dengan cara yang indah.  Tanpa kata yang berungkap, karena sudah terbaca dalam hati dan fikiran.

Ketika kutuliskan apa yang seharusnya kuselesaikan malam ini, aku tengah menunggunya.... merebah di pangkuanku.. menghantarkan lelahnya.
Kelelahan hati yang membuncah.. yang seharusnya, dibagi padaku, sebagaimana kubagi laraku.
Yang dikatakannya... tak ingin menambah laraku.

"Sudahlah... Vie.. biarkan ini jadi bagianku. Milikku sendiri.."
"Tapi itu tak pernah adil buatmu... karena aku terlalu banyak minta waktumu lebih."
"Ssssttt... antarkan lelahmu. Aku [hanya][sedang] ingin dgn mu saja."

Begitu terakhir yang ia tulis, sebelum berangkat terlelap. 
Kutungguinya... tetap menantinya terjaga.. dengan asa yang selalu jadi PAGI.
Banyak rasa yang diantarkannya, malam ini...
Rasa yang hanya bisa terasa oleh hati, namun kelu lidah untuk ungkapkannya.

Sepanjang perjalanan yang mengantarku pulang, begitu erat kudekapnya, karena sangat kuingin terbaca olehnya.  Betapa tak henti kuucap syukur... atas kehadirannya dalam hidupku.
Tak kuatur cerita untuk lakukan itu...
Karena.. semuanya mengalir bagai alunan ombak menuju pantai... pecah dan menjadi keindahan tepian pantai.
Kugenggam tangannya, untuk nyatakan aku akan selalu ada jika diinginkannya.
Membagi kehangatan dalam bahasa yang kami mengerti. Semua tentang ketulusan hati.

"Kutemukan level kenyamanan terbaik denganmu... Vie." jawabnya ketika kutanyakan alasan menunggui aku selalu.
"Hari ini, dekat denganmu, memegang dan genggam tanganmu..benar-benar dekat.. Dan ada yang dirimu rasakan dari diri ku tadi..Vie?." tanyanya sejurus kemudian sebelum kemudian menghilang tanpa menanti jawabanku.
Bukan pergi...
Hanya terlelap... karena dia bisa terlelap ketika bercakap.
Ingin kujawab.. pertanyaannya, dengan langsung menjejakkan kata.
Tapi mungkin... inilah cara terbaik.
Ku tak pernah khawatir... tentang jawaban yang tak pernah sampai.
Karena kami selalu terhubung dengan cara yang kami mengerti.
tak perlu banyak orang untuk pahami.  Biarkan ini menemukan jalannya sendiri.

Aku memang ingin dia terlelap... dengan merebahkan kesakitan yang seringkali tak dirasakannya.
Merebahkannya di pangkuanku.... menghantarkan kepenatan hati, dan terus menyayanginya tanpa henti.

Sejuta tanyamu.. kujawab dengan rindu,
Segenap rasamu.. kunanti dalam hati,
Di ujung hari ini..
Benarlah semua..
Kutemukan Cinta yang tulus, yang tak tergerus waktu.
Bersamamu kini...
Sungguhlah [selalu] PAGI.


(Hanya ingin meluangkan waktu denganmu (saja)... Vie.. Dy)


No comments:

Post a Comment