Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Wednesday, November 20, 2013

JEDA



Terpenggal dan terperangkap di antara lingkaran waktu ini, membuatku benar-benar mengerti bagaimana arti hadirmu dalam hidupku.  Aku bukan dewi, yang baik dan bisa selalu mengerti.  Namun.. ditemani dan menemani, itulah yang sering kita lakukan.  Mendukung dengan sederhana, atau pun memperhatikan detil-detil kecil, memang membuat hidup dan kehidupan kita “lengkap”.  
Hmmm... aku tertegun sejenak, menghentikan apa yang kutulis dalam notes yang selalu ada di dalam tasku.  Teman perjalanan yang setia.  Yang selalu mendengarkan semua ceritaku, walau di atas bis kota. Tak mudah memang menulis dalam kendaraan umum yang terus melaju.  Tapi.. itulah tantangan.  Buatku, tak ada yang bisa halangiku untuk menuliskan cerita.  Semua akan kubiarkan mengalir.
Itu perjalananku.. selama ada di ikatan asa yang mulai meretas nyata.  Memang tak semua dapat digenggam.  Sesaat.. biarkan satu tujuan mengikat, sementara yang lain menunggu.
Toh, roda waktu akan berputar lagi.  Seperti saat ini....
Kini, aku pun menuliskan cerita.  Di sampingku terbaring dengan pulas, Dy.  Baru semenit yang lalu, ia masih bercerita.  Membagi pengalamannya.  Namun tiba-tiba, terpenggal oleh kantuk yang menyerangnya dahsyat. 
Hmmm... tak bisa kubayangkan, jika aku bisa tidur semudah itu.  Hahaha..
Jujur.. belum pernah aku terlelapkan dengan jeda yang singkat.  Sesingkat yang dialami Dy.  Artikel yang kubaca, menunjukkan fakta bahwa hal itu dikarenakan kehangatan jantung yang selalu terjaga.  Well, ia memang memilikinya.  Kehangatan.  *wink,wink*
Sudah lama rasanya, tak mendampinginya terlelap.  Di ruang inilah pertama kali ia menemaniku terlelap, sesaat setelah aku menemaninya terlelap.  Di pangkuanku.  Hhhh.....
Wajahnya tetap damai dan tenang.
Menawarkan kehangatan, di antara kebekuan komunikasi dan ‘perang dingin’ yang kualami.
Dan ia memang ‘Bintang Timur’ku.  Selalu begitu.
Kuketikkan kata-kata yang terangkai menjadi kalimat dengan ketukan pada keyboard yang lembut.  Telah kulatih tanganku untuk berbagi tugas dengan adil.  Sebelumnya.. walau sudah bisa mengetik dengan sepuluh jari, aku tak pernah membagi tugas yang sama antara tangan kanan dan kiriku.  Dy mengingatkanku, untuk keanehan ini. 
Yaa.. he always pay attention of details..
Kupegang pipinya.. perlahan saja.  Dengan lembut.  Emmm... bahagia hangat mengalir dalam dada.  Aku memang selalu suka melakukan itu, manakala ada kesempatan.

*****

“Itu kan pilihanmu..” Ayah mengingatkanku.  Beliau tiba-tiba mendatangiku di kota ini. 
"Iya.. Ayah, maka benarlah semua keputusan yang kuambil ini atas pertimbangan bertahun-tahun.  Bukan keputusan sesaat yang Ayah dan Ibu sangkakan padaku," jelasku sambil menahan tangis.

Ayah menatapku dan mulai berusaha menyimak serta memahami penjelasan yang aku berikan. Tak mudah melakukannya.  Aku telah lama meninggalkan perasaanku, memasukkannya dalam kotak dan membuang kuncinya.

"Baiklah.... Vie, lakukan apa yang menurutmu baik untuk masa depanmu.  Ayah akan memberikan penjelasan pada Ibu, dan meluruskan semuanya.  Kau tetap bisa pulang ke rumah....." 
"Terimakasih... Ayah.  Untuk semua dukungan keluarga."

Aku mencium tangannya, dan menyaksikannya berlalu, meninggalkanku yang masih harus berjibaku dengan kontrak kerja yang harus kuselesaikan di hari Minggu. Hhhmm....
Rasanya, setelah pekerjaan ini aku ingin main ke studio.  Mendengarkan lagu dan bercengkrama dengan teman-teman, mungkin dapat mengurai kekusutan pikiranku.
Mudah-mudahan sempat.... gumamku.

"Haii... malam guys, 'dah lama yaa,,, rasanya kita tak bertemu.  Malam ini Vian akan menemani malam.. yang cukup cerah, dengan sinar bulan yaa... Nah, "First Love" Utada Hikaru, rasanya pas untuk membuka pertemuan kita kali ini..
Enjoy it..."

Aku meletakkan headset, untuk sejenak berbincang dengan Adi, dan kemudian membuka netbookku untuk meneruskan apa yang kutulis.  Aku hanya ingin menuliskan semuanya.  Perjalanan ini telah tercatatkan dalam mini diary. Maka di mana pun aku menuliskan kejadian yang kualami.

@night:
Yang tak pernah terlintas itu terjadi (lagi).  Aku terduduk di depan pintu yang terkunci rapat. Hmm... hela napas panjang untuk melepaskan amarah yang membuncah dan tangis yang tertahan.  Ingin menelponnya kembali.  Sahabatku. Agar mengantarkanku (lagi) ke tempat yang amat damai.  Masjid saja. Tak apalah.... jika harus membaringkan lelah hati ini di tempat suci itu.
Aku pernah menjalani kehidupan seperti ini.  deJavu.  Menatap nanar langit, bulan menjadi saksi airmata yang mengalir.  Ibu pernah melakukan ini.  Dulu ketika aku hendak memilih di jalan mana kulabuhkan harapan. Segenap penolakan aku kerahkan untuk membela prinsipku.  Lombok menjadi tempat pelarianku.  Dan kembali karena Ibu masuk RS.  Hhhh..... kembali menghela napas panjang.
Cukup kali itu saja aku melakukan kesalahan fatal.  Kini takkan kulakukan hal senaif itu.  Apapun adanya, aku akan tetap di sini, walau pun tak menerima prasangka negatif tentangku.  
Akhirnya, tak kulakukan itu.  Dy ternyata tengah ingin menyepi di kamarnya.  Menikmati kegelapan.  Aku juga biasa melakukan itu, manakala banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab.  Di ujung perenungan, akhirnya tetesan airmata merembes untuk sebuah kerinduan yang tak terjawab.  Dy... aku (benar) merindukanmu duduk di sisiku.  Bercerita denganmu, menatap teduh matamu, membuatku kembali percaya sebuah keikhlasan dan ketulusan.  Jabat hatimu ini, seringkali membuatku terperangkap dalam tangis panjang.  Maka jika kau kini memang ingin sendiri, karena memang aku tak tahu apa yang terjadi dalam jiwamu, kuberikan waktumu.  Kubiarkan masa berlalu tanpa kata.  Sesekali aku mencoba menelpon Fari, meminta bantuan agar membukakan pintu.  Semuanya terjawab dalam sepi.  Tak pernah terpikirkan...

*****

Aku hanya mampu menelan sedih sendiri.  Dan pagi ini kulihat Fari pun menangis, menguraikan kegelisahannya padaku.  Yang kutahu.. ia takut.  Teramat takut.  Kegamangan rasa yang terasa dalam hatinya, kemudian memudar cepat, seiring lazuardi merah di sunset hari ini.  Kuusap kepalanya.  Ia bagian keluarga yang tetap mendukungku.  Usapan tanganku, mengantarkannya ke sekolah.

"Maafkan aku Fari..." 
Airmata yang kusembunyikan itu akhirnya pecah. Mengalirlah.  Maaf rasanya tak cukup untuk membayar kepedihan hatinya, ketika kuungkap aku akan meninggalkan rumah.  Tinggal di kos, untuk meredam konflik.  Ibu memang pribadi yang keras.  Tak mungkin terus bersebrangan dengannya.  Tinggal dalam rumah yang sama, namun terbeku dalam kebisuan komunikasi.  Itu penjelasanku pada Fari.  Sementara, hingga menunggu semua mereda, aku memang memutuskan untuk menyepi...

Seperti yang dilakukan Dy...
Mematikan lampu dan merenung, menikmati dingin udara malam dan sepi.  
Aaahhh... Dy, betapa kerinduan ini tak berjeda untukmu.  Bahkan di perjalanan tugasku ke Jakarta di pagi buta ini pun, tetap ingin memelukmu.  Ingin mendengarkan damai detak jantungmu.

Aku memang tengah membelah pagi buta, untuk mengirimkan aplikasi beasiswa S3ku.  Ini yang ditentang Ibu.  Menurutnya, tak perlu aku melanjutkan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi.  Hanya akan membuang waktu, pikiran dan uang saja.  Toh.. perempuan akan mengurus anak dan suaminya.... begitu pendapat beliau.

Inilah asal muasal perdebatan panjang kami.  Yang kemudian membentangkan jarak komunikasi "beku".  Sudah hampir 7 bulan, kami berhenti bicara dalam konteks yang pribadi.  Hanya sesekali menyapa. 
Ayah mendukung keputusanku, hingga akhirnya aku tetap meneruskan petualanganku membedah keilmuan untuk dapat aku ekstraksi dalam sebuah ruh penelitian yang menarik.  Inilah yang memberiku kekuatan di antara derai airmata.

Dan... di sinilah aku.
Keretaku datang tepat waktu di Jakarta.  Masih ada kekurangan fileku.  Belum sempat print out semua berkas.  Hmmm... kemana aku bisa print ini?  Sejurus kebingungan menyergapku.  Aku tak terlalu hapal seluk beluk Jakarta.  
Aaahh.. yaa, ke AtmaJaya.  Pasti di sana aku bisa meneruskan apa yang masih kurang.  Semalam memang hanya sebentar mampu melengkapi deskripsi penelitian yang kuinginkan.

Sepanjang jalan, terus memberikan kabar padanya. Walau kutahu, mungkin aku selalu mengganggu dengan keribetanku. 
Maaf yaa... Dy, jujur aku memang tergantung padamu.  Seperti yang kau sampaikan di terakhir kita bertemu, sebaiknya aku tak terlalu tergantung padamu.  Karena jika kau pergi, maka aku akan.......

Hhhhhhffttt... Dy, aku tak ingin membayangkan itu.  Tak mau dan tak mampu.  Sepulang pertemuan kita itu, aku menangis di bis kota.  Tak kuasa membayangkannya.
Aaahh.. Dy,  mungkin kau tak pernah tahu, kini aku benar menghitung waktu kebersamaanku denganmu.  Karena yang kutahu, setelah proses yang kini tengah kau kerjakan selesai, kau akan melambungkan mimpimu juga. Memberi nyawa pada impianmu.  Dan mungkin... memang tak ada aku di sana.
Di sini, di Jakarta, aku pun bisa merasakan itu.  Ketika memasuki gedung perkantoran ini, aku merasakan dua rasa hati yang bertolak belakang.  
Yaa... di antara kebahagiaan itu, memang terselip kegelisahan. 

Aku mengisi data pribadiku di buku yang telah penuh dengan nama.  Hmmm... Bismillah, dengan tekad yang bulat.  Sekilas kulihat deretan nama yang telah memasukkan aplikasi beasiswa ini.  Banyak...
Tapi sudahlah... berserahlah padaNya.  Dalam hidup, yang terpenting adalah proses, karena hasil adalah anugrah (gift).

Dy...
Sudah bergerak lagi ke Bandung, ketikku dalam pesan singkat.  
Ingin menikmati malam sejenak bersamamu... bisa?

Tak ingin menutup malam ini tanpa perbincangan dengannya.  Hingga di ujung perjalanan kalimat yang kususun ini.  Tak sekejap pun mampu memalingkan ingatan darinya.  Ini sudah terjadi sejak ia memutuskan menemaniku di antara waktu, dalam tangis yang mengalir di antara hujan, ataupun ketika ditinggalkan sholat di tepian waktu di sebuah tempat.  Hampir tak mampu aku bisa menghentikan hati, pikiran dan jiwaku untuk selalu mengucapkan "I love you... Dy".

Maka...
Biarkanlah... Dy,
Ketergantunganku padamu, selalu ada... walau tak bisa kubayangkan jika aku jauh darimu.  Tapi.. biarlah itu.. Dy,
Aku tak ingin ketakutan membayangi masa depan, karena biarlah itu menjadi keajaiban rahasia Ilahi.  Sperti rahasia yang terkuak manakala aku menemukan jalan bersamamu.  Kita tak pernah mencari, kita hanya menemukan dengan jalanNya.

Dan,
Cukupkanlah dengan syukur... Dy, dalam hening tapamu dalam gelap malam ini.  
Kegelisahan yang kau rasakan, pun juga jadi milikku.  
Aku memang ingin bersamamu.. selalu.  Tanpa terjeda ruang dan waktu.
Makasiihh.. 
Untuk semua keindahan, kedamaian, ketulusan dan keikhlasan yang selalu terlahir dalam dirimu.
Ingin kucium tanganmu lalu mendekapmu, untuk bisa mengungkap betapa hadirmu.......
Nyawaku,

#PerjalananMenembusWaktu 
@Dy's Room

No comments:

Post a Comment