Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Monday, May 13, 2013

CERITA HATIKU

Di semua puncak gunung yang kudaki, tak pernah kutemui kesulitan yang berarti.  Walau pendakian tersulit yang kulakukan sendiri, kala membuang sepi dan gundah. Rinjani merupakan petualangan penutup yang tak mungkin kulupakan.
Tak mudah membuang benci.

Itu belum jadi petualang sejati, manakala petualangan hati berbicara.
Bagaimana hatimu bisa bebas menjelajah perasaan yang tak mengenal batas ruang dan waktu.

Perjalanan yang kutuliskan ini...
Merupakan sebuah perjalanan hati yang benar nyata terjadi.  Cerita perjalanan hatiku membelah waktu, di antara kesunyian jiwa yang tumbuh di keramaian dunia.
Yaa... jika berkenan, jadikan saja ini cerita hatiku, hatimu... atau hati orang-orang yang kalian cintai.
Teman yang bisa menjadi dongeng, walau memang tak berakhir sempurna seperti yang ada dalam cerita khayal yang dibacakan menjelang tidur.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Pagi,
Aku pernah membaca, bahwa seseorang bisa amat menyukai pagi karena identik dengan harapan baru.
Hmmm... aku pun setuju dengan pagi yang menunjukkan asa dan harapan.
Maka, yaa... aku lebih suka pagi.  Karena kemurnian oksigen yang bisa didapat ketika dini hari (pagi). Harapan-harapan baru pun dilakukan, ketika pagi.  Menggantikan malam yang lelah, dan bangun dari istirahat yang memulihkan tenaga.
Dan banyak keindahan bisa terlihat di pagi hari, walau terkadang penuh kelelahan juga dengan melihat lalu lintas yang padat.
Itulah hidup... tak bisa memiliki semua yang indah saja.

Tuhan Maha Adil karena membagi rasa menjadi dua: pahit vs manis; senang vs sedih; suka vs duka, dll.
Pernahkah terfikirkan untuk belajar menerima kesedihan terlebih dahulu, dibandingkan kegembiraan atau kebahagiaan?
Belajar berdamai dengan kesakitan, kepedihan, kegundahan, kepahitan atau kegetiran. Ikhlas menerimanya saja dulu.

Yaa... memang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Aku pun lebih sering tersungkur di kesakitan, dan menangis sendiri ketika bersimpuh di hening malam.  Hanya di keheningan malam, saat aku merasa bersahabat dengan kesedihan hidupku.
Hanya saat itu.. saja, selebihnya aku habiskan waktu dengan tertawa dan keceriaan yang terbagi untuk orang-orang yang mengenalku.
Hingga mereka tak tahu bahwa aku adalah orang yang "tough outside, but fragile inside".
Aku sudah putuskan sebagai petualang sejati.

Hmmmm...
Seringkali ini didefinisikan dengan hal "negatif".
Namun aku adalah aku, yang memang selalu membebaskan angan dan belajar bersahabat dengan kelam.  Tak semua orang setuju dengan fikiran kita, namun tetap tegaklah memegang apa yang kau yakini, jika itu memang benar.
Biarlah... orang bermain dengan fikirannya masing-masing tentangku. Berbicara banyak hal tentang aku.
Dan dengan sedikit egois yang tersamarkan, aku akan katakan lantang "aku tak perduli...".
Maaf jika kau tak setuju, itu memang hakmu.. tapi perjalanan hidup mengajarkanku.. banyak hal.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ibu.. aku ingin melepas kegundahan ke Lombok, mungkin seminggu."
"Kemana... nak?"
"Sudahlah... Bu, biarkan aku melakukan apa yang kulakukan."

Hanya sesingkat itu pesan yang kusampaikan lewat telfon, pada Ibu yang memang terlalu sayang pada anak perempuan tertuanya ini.
Anak perempuan yang selalu dengan lantang menyatakan sikap, jika tak menerima ketidak-sesuaian pendapat.
Hmmmmm...
Hanya itu... desah nafas panjang yang dihela Ibu, sebelum kuakhiri salam.
Terasa berat dan tak berdaya, karena aku selalu melakukan itu.  Dilarang pun sia-sia.

Aku bergegas berangkat ke Cicaheum, untuk mengejar bis menuju Cirebon.  Ada bis patas yang bisa mengantarku dengan cepat ke Surabaya, dengan tarif ekonomi.
Hari ini kuputuskan menuju Lombok dan mendaki Rinjani sendiri, tegasku dalam hati.
Ini adalah perjalanan tergila yang kujalani.
Aku sudah tak memperdulikan kuliahku, karena aku sudah mengabari Ika dan Neu, bahwa aku mengambil izin pada semua dosen, karena ingin menemui keluarga di Yogya.
Maaf... sahabatku... belum bisa kuceritakan ini. Biarlah kali ini aku egois dan tak membagi kepedihanku.  Buatku yang akan kubagi cerita manis saja. Tawaku saja.

Yopie teman sesama pendaki, yang telah banyak mebagi pengalaman ketika ia dan rombongannya ke Rinjani, sudah berteriak-teriak panik.
"Vie... tolong.... jangan lakukan itu sendiri. Bisakah kau tunggu kami saja?"
"Kau khawatir kah?. Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Tinggal mencari pendamping dari penduduk sekitarkan?"
"Vie... please.." nadanya benar-benar khawatir. Dan 3 bulan kemudian baru kuketahui alasannya, kenapa ia begitu khawatir.
"Yopie, kirimkan saja rutenya dan rincian dananya. Ok?  Aku akan baik-baik saja."

Akhirnya, kini aku ada di sini, di perjalanan menuju Surabaya.  Pekat malam terbelah dingin, sehingga kunaikkan kerah jaket dan menggunakan penutup kepalanya.
Aku terlambat mengejar bis patas yang kumaksud dari Cirebon, sehingga menaiki bis yang selalu berhenti di setiap terminal untuk mencari penumpang.
Berulangkali, kursi di sebelahku diduduki laki-laki, karena aku baru menyadari ternyata perjalanan malam itu di dominasi oleh kaum Adam.
Huuuufftt... khawatir juga. Ibu... maafkan aku, sesalku..

Kubaca semua do'a untuk mengusir kekhawatiranku tentang manusia.  Aku hanya berpasrah padaNya, tentang hidup dan matiku.  Walau berat kujalani, aku tetap ingin berdiri dan terus berdiri di atas kakiku, atas nama kebahagiaan hatiku.
Aku percaya, dan memang sangat percaya, jika perjalanan hidup dilalui dengan cinta kasih, maka itu pulalah yang akan menjadi teman perjalanan ini.
Aku tak bisa mengikat hati manusia untuk tetap bersamaku, yang bisa kulakukan hanyalah memberi pengertian bahwa aku ada untuknya.
Dan jika ia pun tak jua percaya... akan kubebaskannya melambungkan angannya tanpaku.
Aku ikhlas menjalaninya... kembali sendiri.
Karena sebenar-benarnya, aku tak pernah benar-benar sendiri.  Allohu Azza wa Jalla tak pernah pergi.

Sesekali mataku terpejam, untuk sekedar melepaskan beban hati ini.
Menatap langit pekat, dan kembali menitikkan airmata perlahan.
Yaa Rabb... tuntunlah hatiku serta izinkanlah hatiku menemukan keikhlasan, menjalani suratanMu, dengan lapang.
Kau yang tahu batas kemampuanku untuk bangkit dari limbung dan sakit ini... Tuhan..
Semua terjadi dengan izinMu, kehendakMu....
Dan sangat kuyakin, bahwa yang Kau gariskan ini... masih ada dalam batas kekuatanku sebagai hambaMu.

Aku memang belum tertidur dengan lelap di perjalanan ini, karena terlalu takut meninggalkan kesadaran di perjalanan.  Aku sadar aku hanya sendiri.
Perjalanan ini merupakan pembuktian, bahwa aku akan kembali padaNya sendiri.  Berani menerima suratan takdir sendiri. Dan belajar bangkit dari keterpurukan sendiri, hingga harus berani meluapkan kepedihan dengan berteriak di lautan lepas, atau puncak gunung tertinggi, agar dapat memukul angin dengan kemarahan yang selama ini tertahan.
Membebaskan perasaan dan kembali bernafas dengan normal. Yaa... karena aku sering tersengal, karena masih terbalut amarah dan kecewa.

Sejurus aku terlelap, mungkin karena benar-benar merasa lelah menahan semuanya sendiri.
Dan yang kurasakan kedamaian, walau sesaat. Adzan Shubuh itu bagai embun yang menyejukkan hati yang kerontang karena lara.
Aku seperti kembali menemukan aku yang dulu, sebelum menghadapi permasalahan yang meruntuhkan pertahanan jiwaku.
Kunikmati itu walau sekejap.  dan disanalah kutemukan kebenaranNya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kilasan cerita itu seolah menjadi pusaran waktu yang kembali.
Apakah dunia itu memang bulat?  Benarkah? tanya iseng yang menggelitik hati, karena yang kuhadapi kini, bukanlah hal yang mudah kulalui.
Aku bukan menyerah pada nasib, namun aku belajar untuk berpasrah pada garis ketentuanNya.
Aku belajar banyak tentang ketulusan, keyakinan, kepasrahan dan yang terpenting adalah keikhlasan menerima hidup dengan apa adanya.

Mpah... I really missed you all the time since you passed away.
Keluhku gamang pada hatiku sendiri, sejak kepergiannya setahun silam.  Beliau yang selalu memberiku semangat, nasihat dan pemahaman tentang Islam secara kaffah. Menjadikan Islam benar-benar sebagai panduan hidup, dan bijak di kehidupan.
Mengajari cinta tulus yang tak tergerus jeda.


Cinta yang tulus, yang tak tergerus waktu.
Adakah ini?
Selaksa tanya terus bergelayut di langit hati, membaca pelangi yang datang silih berganti. Tak henti mempertanyakan... adakah ketulusan yang sejati.

Aku coba membuktikan itu dalam kehidupan yang kujalani kini.
Nyaris tak percaya, ada cinta yang seputih itu, setulus itu.
Sampai kutemukan dia kembali.

Perlahan kupahami dia dengan segala keunikan sifat dan karakternya.  Kupelajari sikap dan sifatnya selama hampir 2 tahun.  Di batas ruang kelas, kantin atau bahkan di dunia sosial media. Pribadi yang nyaris jarang kutemui di dunia yang chaos. Lugu, pemalu dan pendiam, merupakan pribadi yang hanya satu-satunya di kelasnya. Hampir sempurna ia menutup karakter aslinya.
Hanya bukan aku, jika tak sanggup ungkap dan sibak kabut yang dipakainya menutup diri.
Hmmmm....
Menarik, bisikku pelan ketika kutemui di pertemuan pertama kami.

Waktu yang telah menepi kini, selalu mengantarkanku pada titik nadirnya. Manakala kukatakan resah, gundah dan sepi.  Kabut menipis dan kulihat dia ada dan selalu ada menemani.
Awalnya... biasa saja, tak ada yang menarik dari kami.
Semuanya... benar-benar biasa, dan yang tak terduga.... begitu mengalir mengikuri arus yang menuntun pada kesejatian yang hanya bisa difahami dan dimengerti oleh kami saja.

Malam-malam yang sepi selalu mengantarkan mimpi indah... seindah harapan ketika pagi.  Buat kami itulah saat menepi yang sempurna, dari semua kebisingan yang seringkali membutakan hati.
Yaa... membutakan dari perasaan yang tak terbaca.
Menulis banyak rangkaian kata indah...
Saling menemani, ketika terlelap... dan terjaga.

Vie..Dy.. berbincang tentang Cinta dibawah Terang Bintang dan Cahaya Bulan. 
Ia menuliskan kalimat ini, ketika aku merasa teramat lelah dan penat. Aku tersenyum... yang kuyakin dia pun bisa melihat itu.
Kami selalu bisa berkomunikasi dengan cara yang indah.  Tanpa kata yang berungkap, karena sudah terbaca dalam hati dan fikiran.

Ketika kutuliskan apa yang seharusnya kuselesaikan malam ini, aku tengah menunggunya.... merebah di pangkuanku.. menghantarkan lelahnya.
Kelelahan hati yang membuncah.. yang seharusnya, dibagi padaku, sebagaimana kubagi laraku.
Yang dikatakannya... tak ingin menambah laraku.

"Sudahlah... Vie.. biarkan ini jadi bagianku. Milikku sendiri.."
"Tapi itu tak pernah adil buatmu... karena aku terlalu banyak minta waktumu lebih."
"Ssssttt... antarkan lelahmu. Aku [hanya][sedang] ingin dgn mu saja."

Begitu terakhir yang ia tulis, sebelum berangkat terlelap. 
Kutungguinya... tetap menantinya terjaga.. dengan asa yang selalu jadi PAGI.
Banyak rasa yang diantarkannya, malam ini...
Rasa yang hanya bisa terasa oleh hati, namun kelu lidah untuk ungkapkannya.

Sepanjang perjalanan yang mengantarku pulang, begitu erat kudekapnya, karena sangat kuingin terbaca olehnya.  Betapa tak henti kuucap syukur... atas kehadirannya dalam hidupku.
Tak kuatur cerita untuk lakukan itu...
Karena.. semuanya mengalir bagai alunan ombak menuju pantai... pecah dan menjadi keindahan tepian pantai.
Kugenggam tangannya, untuk nyatakan aku akan selalu ada jika diinginkannya.
Membagi kehangatan dalam bahasa yang kami mengerti. Semua tentang ketulusan hati.

"Kutemukan level kenyamanan terbaik denganmu... Vie." jawabnya ketika kutanyakan alasan menunggui aku selalu.
"Hari ini, dekat denganmu, memegang dan genggam tanganmu..benar-benar dekat.. Dan ada yang dirimu rasakan dari diri ku tadi..Vie?." tanyanya sejurus kemudian sebelum kemudian menghilang tanpa menanti jawabanku.
Bukan pergi...
Hanya terlelap... karena dia bisa terlelap ketika bercakap.
Ingin kujawab.. pertanyaannya, dengan langsung menjejakkan kata.
Tapi mungkin... inilah cara terbaik.
Ku tak pernah khawatir... tentang jawaban yang tak pernah sampai.
Karena kami selalu terhubung dengan cara yang kami mengerti.
tak perlu banyak orang untuk pahami.  Biarkan ini menemukan jalannya sendiri.

Aku memang ingin dia terlelap... dengan merebahkan kesakitan yang seringkali tak dirasakannya.
Merebahkannya di pangkuanku.... menghantarkan kepenatan hati, dan terus menyayanginya tanpa henti.

Sejuta tanyamu.. kujawab dengan rindu,
Segenap rasamu.. kunanti dalam hati,
Di ujung hari ini..
Benarlah semua..
Kutemukan Cinta yang tulus, yang tak tergerus waktu.
Bersamamu kini...
Sungguhlah [selalu] PAGI.


(Hanya ingin meluangkan waktu denganmu (saja)... Vie.. Dy)


Saturday, May 11, 2013

IZINKAN AKU MENYAYANGIMU... [selalu]

"Aku sudah ada di Burangrang yaa..."

Kukirimkan pesan singkat untuk memberitahumu, bahwa aku memang sudah menepi di tempat yang membawa damai di hati. Tak apalah.... walau singkat dan sesaat.
Kukenal Fidy dua tahun yang lalu,  di kampus.
Seraut wajah yang begitu menonjol di antara teman-temannya, begitu damai dan... polos.

Ssssstttt...... aku berbisik untuk meredakan degup jantung yang kian tak menentu.
Tak pernah kutahu bahwa "love @first sight" ada dan nyata.  Perasaan yang indah ketika menatap wajahnya.
Ini bukan terasa seperti cinta yang biasa didefinisikan orang Indonesia.
Ini lebih seperti sayang, yang lebih dalam dari cinta sesaat saja.

Pekerjaan yang ketumpuk selama sebulan, akhirnya kembali menuntut perhatianku untuk terus dikerjakan dengan serius.
Hmmmm...... tidak mudah memang memasukkan nilai, menyesuaikan nama dan kelasnya.. kesahku.
Sesekali... kulihat jam tanganku.
Kenapa lama?? Setahuku... kantornya dekat...

Jika ini merupakan pertemuan yang begitu dekat dan akrab, itulah cerita yang terangkai di hari-hari kami.
Dan yang perlu kuceritakan.... maka tak akan cukup kata indah yang ada dalam KBBI untuk bisa hadirkan cerita yang terjadi.

Ingin kurangkai semua... andai ku boleh berkhayal..
Satu saat naantiii....

Di bibir pantai... melihat sunset indah... sangat indah.. di Pantai Sengigi Lombok, 
kuingin bagi petualangan itu pula. Mendaki Rinjani yang dulu kulakukan sendiri..
Menepi bersama waktu... menyembuhkan luka..
Tapi.. mungkinkah itu?

Duuh... kepalaku berdenyut lagi, sejak semalam kembali mengganggu.  Dan aku tak ingin ini mengubah hari yang ingin kurangkai kali ini.
Selalu kutakut, jika pusing ini lama...
Masih teringat jelas diagnosa dokter, setelah melakukan rangkaian tes padaku.
Kecelakaan motor itu memang ternyata meninggalkan jejak yang memang kurang bisa kuterima, yang selalu muncul jika aku [terlalu] banyak berfikir.

"Piring yang retak itu... tak mungkin akan kembali utuh... Vie. Maka belajarlah berdamai dengan keadaan seburuk apapun itu. Karena jika pusingmu menghebat... akibatnya fatal. Karena jika kau teruskan itu... hhmmm... sudahlah Vie... sabar saja.. Saranku... please... hadapi hidup dengan santai yaa... Stress dan pikiran dalam itu bisa benar-benar bisa membuat dirimu "sakit".. oke..?"
Begitu pesan dokter Syaifir ahli Bedah Syaraf ketika terakhir kutemui.

Yang kurasakan kini... memang sedikit penolakan terhadap kenyataan, yang sebenarnya indah.
Terlalu banyak pertanyaan yang selalu aku hadirkan dalam diriku.
Padahal seharusnya, kuletakkan semua pada kepasrahan dan keikhlasan, karena seharusnya benar kuyakini yang terjadi ini hanyalah mungkin dengan izinNya.

Tak [pernah] cukup waktu yang kuhabiskan bersamamu...
Tak [cukup] kata yang bisa kutulis.. untuk semua cerita indah yang kau hadirkan dalam hidupku.

Langit begitu indah... jadi latar yang sempurna ketika kau hadir Fidy, dan kutekan sakit yang ada di kepalaku, agar tetap bisa menghadirkan senyum agar kau tak tahu apa yang kurasakan.

"Haii...kok lama siiyy??"
"Eeyy... tadi sudah duduk nunggu di sana.."
"Kok...bisa ssiihh... ga konek deehh. Pas sms itu... sudah di sinilah"

Tawa lepas kami, memecah keheningan yang ada di hatiku, benar-benar bisa menutup kelabu yang menyaput karena sakit kepalaku.
Kami terus saling bercerita, untuk membunuh waktu, menghadirkan momen-momen indah.
Yaaa... hidup itu amat indah.. jika kau hadir dalam hidupku Fidy, gumamku sangat lirih agar tak terdengar oleh semut sekalipun.

"Aku mau baca tulisanmu..Vie"
"Yang mana?"
"Itu yang kemarin kau tulis"
"Memang belum baca.."
"Sudah... dini hari tadi.."
"Terus.. kenapa mau baca lagi?"
"Yaaa... pasti bedalah.. kalau baca di depan penulisnya..."

Fidy pun mengambil komputer jinjingku dan mencoba koneksi internet, di kafe tempat kami berbincang.
Tuhan... aku benar-benar tlah percaya dia.. kataku menatap punggungnya yang tertutup baju batik.
Tampilannya hari ini, luar biasa... sangat berbeda.
Selalu ingin kuusap punggung itu..
Dan sedetik kemudian... hal itu memang kulakukan.
Basah punggungnya..
Tak kutanyakan kenapa... tapi mungkin.. karena panas, karena sebelum kulihat bajunya, ia membuka sweater hijau yang digunakannya.

Hmmmmm.... 
Pernahkan ia tahu... aku pernah melihat kedamaian yang terasa di punggung itu di sela-sela pembatas yang ada di mushola kampus kami.
Mungkin dia tak pernah tahu... bahwa pernah kurasakan kedamaiannya... jaauuhh sebelum hari ini.

Duuhh.... jeritku dalam hati, sakit kepala ini terasa lagi.
Aku berdo'a keras agar dia tak menyadari itu, menyadari kesakitanku, dan semoga... aku tak pingsan di sini.

Ya Rabb... beri aku sedikit kekuatan.  Sedikit saja.... hingga pertemuan ini usai..
Aku tak ingin dia tahu bahwa kondisiku memang kurang sehat hari ini, tergerus kesibukan dan tekanan hatiku. Karena dia yang terindah sore ini... dan mulai kuyakini untuk bisa menjadi sandaran hati.

Kulihat dia membaca dengan seksama, tulisanku.  Sambil kuperhatikan ekspresinya.
Huuuuuffftt... sulit sekali menangkap ekspresi wajahnya, perasaannya, bagai menepuk badai.... karena wajah itu begitu damai.

"Aku ingin kau jelaskan bagian ini... Vie"
"Yang mana... Fidy?"
"Ini...." tunjuknya.

Ketika kujelaskan, Fidy mendengarku dengan penuh perhatian.  Yang selalu mengejutkanku... adalah dirinya yang selalu  "pay attention of details".  Selalu membuatku kagum dan tak menduganya.

Dalam dan banyak cerita yang sudah kita lalui.... itu yang terlontar darinya ketika selesai semua penjelasanku.

"Maksudmu?"
"Iya... ga nyangka... ternyata banyak momen yang berhasil kau rekam untuk dituliskan dalam cerita ini.
Tau ga.. aku suka tulisanmu kali ini. Begitu mengalir indah..."

Pujinya yang sejurus buatku tersipu, dan mampu mengusir sakit kepala yang terus berdenyut.

When you say... I missed the things you do..

I can wait forever... if you say you'll be there you too..
to spend my life belong.. with you..
I'll be here,
I just wish I just next on you tonight...

Penggalan lirik lagu Air Supply ini seperti benar-benar mewakili hatiku.  Kutanyakan hal yang berulang dalam hatiku.  Dimanakah dia... jika nanti kupulang dari Aussie yaa...
Huuuffftt.... sudahlah tak perlu katakutkan masa depan.. kutepis gundah yang membuat kabut di hati dan mataku. Aku takut... benar-benar takut kehilangannya.
Manakala, ketakutan itu muncul... maka semakin erat kudekap tubuhnya, dengan berbagi kehangatan tubuh di guyuran hujan.  Berulangkali kulakukan, lalu merebahkan kepala pada bahunya yang nyaman. Mengusapnya perlahan, dan kembali memeluknya erat.

Rasanya tak ada lagi yang mampu berdiri untuk halangi rasa bahagia yang menyeruak dalam sukma.  Bisa bersamamu. Kubisa hadapi perihnya terluka dulu...
Tapi kali ini.. kucoba belajar tetap tersenyum, karena apa yang diberikannya adalah ketulusan.
Air hujan.. yang menderas, juga bisa menjadi saksi betapa perhatiannya tak lepas.
Berulang kali memegang tangan, untuk memastikan aku tak kedinginan. Mengusap air yang ada pada jaket dan celana, serta berulang kali mengajak menepi.
Maka... ketika itulah kubebaskan rasa bahagia ini melambung dan membebaskan diri dari kepedihan dan kesakitan ketika mencintainya.


Menggenggam terlalu erat, akan membuatnya hilang .
Apa yang kuyakini ini selalu mengantarkanku pada titik kehilangan yang tak kembali. Airmata perih menghantar kepedihan. Mencoba meyakini kesakitan menjadi bagian hidup, sisi kelam yang memang tak tersentuh, dan dihindari.
Biarlah... aku menjadi sesuatu yang bisa  kau rindu... Fidy.
Mungkin karena... hati tlah merapuh dan letih. Dan iringi.. langkahnya menepi bersama waktu.

Ajari aku... untuk bisa menjadi yang kau cinta. Agar kubisa memiliki rasa yang luar biasa untukku dan untukmu..... Kau cahaya hidupku, untuk terangi jalanku yang berliku......

Lagu Andrian Artadinata ini mengalir menyusup lembut mengisi kekosongan yang kurasa.... bersama dirinya.

Terlalu manis apa yang terjadi malam ini.
Tuhan... akankah dia melihatku saat kujauh.. akankah ia merasakan kehilanganku..

Ketakutan ini lebih besar ketika merasakan kebahagiaan malam ini mempertegas rasa yang kami miliki.
Dia meninggalkan pesan offline di Messengerku... tadi malam:

ternyata aku melamun ssaat,menatap langit" kamar dan ...
bertanya, salahkah aku tlah berada di posisi yg sekarang ini,(mencoba) menemanimu Vie..
Alloh mmg mempertemukan kita dan (mungkin) mmg aku di pertemukan dgn mu,(apakah) utk menemanimu dikala kau jatuh?? #mungkinkah itu.
hmmmm
Biarkan pula kita ikuti Hari demi Hari Perjalanan Kita ini..Vie 


Pesan yang indah. Pesan yang memang menutup malam dengan sempurna. Hari yang kemudian mengantarkanku pada pemahaman tentang keindahan rasa yang sebenarnya. Kejujuran rasa yang sebenarnya tak mudah. Tapi benar yang dia tuliskan... bahwa biarkan saja kami ikuti hari per hari perjalanan ini.. tak perlu muluk... kan??

"Ayoo... Fidy.."  Ajakku ketika jamku menunjuk angka 8 malam.

Kemudian tiba-tiba dia menepuk punggungku, dan mengatakan Aku yang bayar yaa....
Aku mengangguk, dan kemudian sejurus mengikutinya menuju parkiran, mengambil motornya.
Membelah malam seperti dua malam sebelumnya.
Hanya kali ini... apa yang kufikirkan, begitu berbeda..
Karena aku bisa memeluknya sangat erat, seerat perasaan yang ada..
Sungguh... tak ingin aku kehilangannya.
Tuhan... berikan aku waktu... sebentar saja...


Selanjutnya kuingin itu hanya jadi penggalan cerita kami saja, cerita hati yang selalu mengalir di kehidupan nyata. Kemudian kurangkaikan dalam rangkaian kata yang kini bisa terbaca di sini.
Yang ingin kukatakan padamu Fidy..

Sejujurnya...
Jika perjalanan yang kita untuk saling menemani ini .. kuinginkan jadi sandaran hati yang memang kuinginkan selamanya. Berlebihan memang jika kupinta itu... terlalu muluk..
Tapi jika bisa kujanjikan.. aku ingin berhenti padamu.
Karena kutak tahu... kapan TITIK dalam hidupku itu akan benar-benar terjadi.  Dokter pernah mengatakan hal yang buruk itu... Tapi... Alhamdulillah... sudah terlewati banyak waktu yang ditetapkan manusia itu.

Maka ketika waktu itu (sudah) tak lagi ada untukku..

Andai kau izinkan, walau sekejap memandang
Kubuktikan kepadamu
Aku memiliki rasa
Cinta yang kupendam
Karena kau tlah memilih...
Izinkan  aku menyayangimu kini..

Sayangku..
Dengarlah isi hatiku..

Bila cinta tak menyatukan kita..
Bila kita tak mungkin bersama...

Izinkan aku tetap menyayangimu.... Aku sayang padamu...
Izinkan aku membuktikan...  (by Iwan Fals)

#Boleh yaa...

                                                              (Denting hati ini... menunjuk pada WAKTUMU)









[TOLONG] PANGGIL AKU VIE........ (SAJA),,

Sejak semalam...
Kututup komputer jinjing yang sudah selalu menemaniku, di tengah malam.. bukan karena lelapmu.
Sakit kepala yang teramat memberat terlalu menyiksa.
Seharusnya..
Kubebaskan perasaan yang (terus) menyiksa ini bebas dan lepas. Tak perlu kuselalu menghitung waktu... berapa lama kau akan meninggalkan aku. Menyeka terus airmata yang selalu mengalir bersama hujan.
Karena sudah kuletakkan percaya di bahumu, dan keberanian di genggam tanganmu.

Aku telah percaya padamu... Mae, ujarku lirih, ketika mengetikkan pesan singkat di HP untuk coba menyapa pagimu.
Kutuliskan agendaku hari ini, dengan pesan sisipan bahwa aku ingin melepaskan kepenatan dan menepi di tempat yang damai, menurutku.

Jujur.. Mae,
Aku hanya ingin melihat reaksimu. Sangat ingin merasakan pelukanmu, karena terlalu sering kau tuliskan itu melalui emoticon.  Kesempurnaan rasa yang menutup keraguan yang terus menggelayut di langit hati.
Mengalirlah bersama waktu....

"Sudah di TKP kah?" aku heran membaca sms itu. karena sejak awal aku katakan, bahwa aku sudah di kafe itu.
Ahh... mungkin kau memang meragu saja..
Kuketikkan jawaban singkat saja, karena memang tak ingin memotong kesibukanku.  Berkali-kali kulihat.. "failed" pada opsi laporan.

Hmmm... ada apa gerangan??
Kuputuskan untuk menghubungimu.. dan ... laporan dari provider menyatakan "di luar jangkauan".
Terakhir... deehh, kucoba kirimkan kembali jawaban singkat itu sekali lagi melalui nomer lainmu saja.  Alhamdulillaaah.... lega karena semua sudah terkirim.

Kulanjutkan mencari nama untuk bisa kumasukkan dalam laporan yang sedang kuselesaikan.
Sampai tak sengaja, sudut mataku menangkap bayanganmu dengan senyum yang sudah kuhafal benar.

"Aku sudah duduk di sebelah sana....."
"Masa? Berapa lama.."
"Lima menitan lah..."

Tawa kami pecah meruntuhkan tembok rindu yang mungkin sudah terbangun selama 1 hari.
Yaa... 1 hari yang selalu menjadi hal yang mahal untuk dibayarkan.
Sampai kapan sebenarnya ini akan selalu terjadi..... tanyaku gamang dalam hati.

Jika kumasih diizinkan melambungkan harapan...  maka ingin kupeluk engkau.. Mae, dengan segenap kehangatan yang kupunya, untuk sekedar membagi rasa yang seringkali menjadi batas antara rindu dan ragu.
Tak pernah yaa... aku ungkapkan padamu secara nyata... bahwa aku memang masih meletakkan dan menjejakkan ragu sebagai antara, walau keindahan rasa selalu menjadi juara mengalahkannya.

Kuat seperti banteng..
Cepat seperti serigala...

Potongan terjemahan lagu Lenka itu menguatkanku untuk bisa menghadirkan keteguhan rasa yang akan kukukuhkan dini hari ini.
Tak bisa kupejamkan mata.... untuk sekedar merebahkan lelah.
Kucoba rangkaikan kembali potongan cerita yang tadi terserak.

"Apa yang ingin kau lihat..?"
"Aku ingin membaca tulisanmu di depanmu..."
"Eeeh... pernahkah kau tahu.. Mae, jika aku hanya ingin menuliskan itu.  Membuatmu membacanya, menjadikan itu bagian momen terindah.  Tapi.. bisakah kau tak membacanya lama di depanku?"

Aku benar-benar memohon, ketika Mae, membaca perlahan... baris demi baris apa yang kutuliskan semalam.  Tulisan yang menurutku, memang sangat memiliki "jiwa" karena begitu mengalir merangkai kejadian-kejadian yang mencari cerita terindah yang kupunya.
Maaf yaa... Mae, kuakui itu hanya milikku, karena memang itu "terindah" dalam perjalanan hidupku.
Nanti sajalah... kubagikan itu jadi bagian "terindah" juga buatmu... senyumku tertahan ketika menuliskan ini.

Hatiku benar teriris ketika membaca kembali apa yang "indah" tertuliskan, bersamamu.. Mae.
Sakit dadaku mulai terasa kembali, pusing hebat yang sudah terasa semalam kembali hadir.
Dan... satu hal yang sangat tak ingin kulakukan (lagi) adalah... menangis di depanmu...
Baik ketika di hujan pertama kurasakan kesakitan yang luar biasa.... ataupun kini ketika semua keindahan yang teramat manis itu benar-benar nyata.
Di sanalah kutahu.. bahwa apa yang kurasakan itu benar-benar nyata... Mae.
Ini bukan hanya kilasan masa yang singkat, walau memang rentangan waktu terlalu cepat menuntunku ada di batas waktu ini.

Aku selalu mengatakan pada diriku, bahwa jika pintu hati ini... terketuk kembali dengan melodi indah jiwa, kuingin semuanya terasa sempurna.
Walau.... mungkinkah itu... Mae?? 

"Sholat dulu..."
"Yaa.... jangan lama-lama.."
"Apa?"
"Jangan lama-lama...."

Hhhmmmmm... bertanya-tanya sebenarnya.. kenapa kau katakan itu. Memangnya berapa lama yang dibutuhkan untuk melakukan ibadah?
 Tapi... aaah... sudahlah... kuabaikan tanya yang menyeruak...
Aneehh... karena memang belum ada yang pernah mengatakan itu.
Dan dinihari yang menjadi teman berbincang kemudian memberitahuku, bahwa semua kau lakukan karena tak ingin berpisah lama denganku.
Duuuhh.... Mae, terlalu banyak hal manis yang kau bagi untukku.... hari ini...
Doumo Arigatou gozaimasu....

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Batas waktu menunjukkan kembalinya sebuah harapan yang tertunda, lama tercekat dalam duka hingga membuatku lupa untuk bisa menghargai perlakuan manis darimu... Mae.
Sesalku yang kemudian muncul ketika semua telah menjadi untaian cerita yang kini tertulis untuk kau baca.


"Tahu ga.. bahu kananmu seringkali buatku ingin menangis.."
"Yaa... coba saja bahu kiri.." ringan ucapmu berujar.

Jujur, jika bahu kinimu lebih terasa ringan dari perasaan gundah, karena kubilang... itu memang rasamu.

Lama terfikirkan... sanggup dan beranikah aku mencoba sisi lainnya..
Hujan terus mengguyur dan kau tawarkan untuk berteduh.
Lembut kau usap kakiku,
"Basah.."
"Lanjutkan saja.. "

Ketika itu benar-benar kupeluk kau erat, karena rasanya tak ingin ku kehilangan waktu sedetik pun.. untuk merasakan kehangatan di bawah guyuran hujan. Semua mengajarkan aku bagaimana bisa menerima keindahan dengan ikhlas... tanpa tanya.  Semua aku terima mengalir bersama air hujan kedua yang kita alami.

Aku tak terlalu suka hujan, kataku ketika menunggumu menggunakan jas hujan.  Dan kunyanyikan pula sepenggal lirik lagu Opick.
Kulihat ekspresi yang rasanya aku hafal sejak meninggalkan kafe di hari itu.

"Baru kali ini aku benar-benar merasakan pelukanmu..." 
Kau benar-benar membelah malam dengan pernyataan yang buatku, lebih ingin menangis... Mae.

Jika selalu kau ingatkan....
Bahwa bahagia itu ada dan nyata.

Menjadi wanita itu memang indah...
Merasakan hangat sentuhan dan perlakuanmu sebagai lelaki itu luar biasa..
Mendapatkan semuanya hari ini...
Adalah takdirku..

Hanya... jika boleh kuminta waktu padamu,,
Izinkan aku untuk [menjadi] biasa menerima perlakuan itu... yaa... Mae??

Maka...
Kuminta kau panggil aku Vie... saja.
Karena sudah kukatakan, ini adalah batasan hati yang ingin kulakukan dengan ketegaran jiwa, membangun puing hati yang terserak dalam kolase yang kemudian tersaput warna pelangi.
Yang retak itu bisa jadi indah jika tersentuh dengan ketulusan cinta.
Bisakah kau (coba) lakukan itu untukku... Mae??
#memohon


(Teramat manis untuk bisa dirangkai menjadi cerita... maka biarlah kusimpan di HATI [saja]...)







Thursday, May 9, 2013

CERITAKU

"Mae....." teriakku pagi itu lewat telpon, pada sahabatku.

Hari ini dia menguatkanku dengan tulisannya yang  menyatakan "tak ada airmata yang tak berarti".
Hmmmmm.... betapa kau banyak belum tahu, bahwa kehadiranmu yang memang sepertinya ditakdirkan untuk menemaniku.
Aku sangat percaya padamu, tak butuh waktu lama untuk menyakinimu, yang sebenarnya bukan karakterku.
Karena pada dasarnya, aku kurang percaya dengan sebuah hubungan,  karena pernah sangat terluka karenanya.
Hmmmmm.... hanya waktulah yang akan menyembuhkan luka hati, begitu yang pernah kubaca dalam sebuah artikel.

"Mau kemana sore ini? Ada acarakah? Kita ke pameran buku yuuuk.....," ajakku.
"Di mana.. Vie?"

"Di Landmark Braga. Dan kali ini kau harus maaauuu...yaa?? Kau selalu sibuk dengan acara-acaramu."

Aku memang sangat mengharapkan sahabatku ini bisa menemaniku, karena kutahu ini bukan dunianya. Dia hanya banyak menghabiskan waktu di layar kaca, sebuah pekerjaan yang menurutku menjauhkannya dari dunia nyata.

"Eeeh... penelitian ini kan juga harus selesai secepatnya... Vie."
"Ok... aku mengerti kesibukanmu kok.  Tapi.. please, antar aku ke sana yaa?"
"Iya.. nanti sore ya? bubaran kantor...."
"Ok.. ok... Thanks.. Mae.  Aku pun ada meeting dulu kok. Kita ketemu di sana yaaa.. Sekali lagi... makasiih....."

Kami pun kemudian mengakhiri percakapan yang singkat, tapi tidak dengan hatiku.  Begitu banyak warna yang hadir manakala aku membuka komunikasi terbuka dengannya. Semua rasa yang lama kusimpan sendiri selama ini, keluar mengalir tak terbendung.
Ada energi dalam dirinya yang menuntunku masuk dalam pusaran waktu miliknya.

Yaa Rabb.. aku selalu takut jika rasa ini muncul. Karena aku bukan orang yang mudah terluka jika temanku membuang semua kenangan tanpa sisa, dan kemudian ingin membuka lembar kehidupannya tanpaku.
Paranoid sih.. ketakutan yang amat berlebihan, tapi memang itu yang selalu kurasakan jika merasakan kedekatan yang amat bersahaja.

Huuuhh... kebosanan mulai menyergapku, ketika rapat yang seharusnya dimulai 3 sore mundur hingga 30 menit. Indonesia... baaaangeet deehh, aku menggerutu sendiri.
Penjelasan yang panjang leber tentang mekanisme proses seleksi yang memang sednag menjadi targetku sebelum terbang menjemput mimpiku.
Alhamdulillaaaahhhh........, syukur yang mengalir tak putus ini keluar dari bibir yang biasanya kering karena menahan sepi dan kepedihan.
Akhirnya memang ada ujungnya juga perjalanan karier yang sudah kurintis sejak lama.

Iiihh... lamanya, gumamku.
Berkali-kali kulihat jam tangan yang semakin dekat menuju jam 4 sore.  Tak sabar rasanya membunuh waktu untuk menemuinya.

"Baik... Pak.. Ibu, jika ada dokumen yang harus dilengkapi, maka kami akan menghubungi via email atau bisa ditanyakan langsung pada saya," ujar pemimpin rapat.

Aku bergegas membenahi alat tulis yang berserakan, memasukkannya ke dalam tas dan langsung beranjak keluar.  Menyeberangi jalanan yang sudah mulai dipenuhi mobil yang memang memburu waktu agar bisa sampai di rumah secepat yang mereka bisa.
Jalanan Bandung tak pernah sepi, gumamku.

Hujan gerimis tak kuhiraukan, ketika berjalan menuju Landmark, menyeberangi rel kereta dan mulai memperhatikan kerumunan orang yang berkerumun didepannya.  Mencari wajah yang selalu kurindu tanpa kata, karena sudah kukatakan kesederhanaan cinta yang kupunya.
Aaahh... itu dia, yang sedang asyik mengetik pesan dari handphonenya.

"Hai... sudah lamakah?"
Wajahnya terangkat dan sekilas ia terkejut terbalut "rindu".  Sekilas memang, namun sangat tersampaikan pada hatiku yang memang juga merasakannya.
Mana mungkin yaa....., aku ragu pada pandanganku sendiri.
Aaaahh... sudahlah, nikmati saja hari ini, yang akan menutup malam dengan sempurna, kuatku sendiri.

Aku sudah lama belajar untuk tidak menggenggam erat keinginan yang terkait hati, karena kesakitan yang kurasakan membuatku terpuruk dalam.
Indah wajahnya, selalu terasa terang dan jadi semangat yang luar biasa.  Sangat kusadari, batasan yang terbentang di antara kami, namun... kubiarkan semua mengalir dalam hidup.
Cinta Yang Tak Mungkin yang ada dalam album Perahu Kertas, selalu menemani tidurku selama sebulan ini, cukuplah untuk selalu mengingatkanku. Walau aku telah berjanji takkan pergi meninggalkannya, namun semua itu hanya terjadi jika ia memang inginkan hal yang sama.
Saat ini yang selalu jadi perhatianku adalah mengisi hari dengan indah.
Hanya setiap hari, hari per hari saja. Terlalu lelah otak dan hatiku jika dipenuhi pikiran tentang masa depan.

Do not look back in anger, or forward in fear, but around in awareness. **** -- James Thurber

Pojok-pojok stand yang begitu banyak, mengantar kami pada perjalanan yang asyik, dengan canda yang selalu hadir.  Aku senang dan teramat senang setiap melihat senyumnya.
Hmmmmm.... senyum yang selalu bisa buatku tersipu sendiri, dan larut dengan perasaan yang memang tak kumengerti. Well, tak mau kumengerti... tepatnya.  Terlalu takut untuk membukanya dengan lebar.
Cukup... Vie, hentikan, gumamku mencoba berlari dari keindahan yang tak terjabarkan.

"Mae.... lihaaatt deehh." panggilku padanya, ketika membaca kalimat yang buatku tertawa.
"Ada apa... Vie?."
"Baca ini...."
"Haahahahhaha......," tawanya lepas, membaca being being only sebagai terjemahan ada-ada saja.
"Kereen yaa... Mae. Bisa banget iiihh...."

Kata-kata yang kemudian menjadi jargon kami, ketika berkomunikasi.  Senang melihatnya menikmati duniaku. Dunia yang penuh dengan pengetahuan baru. Yang menjauhkanku dari kepenatan yang entah hingga kapan berujung.

Yaa Rabb... kutitipkan kelelahan hati ini, sebagaimana kumintakan kekuatan padaMu, di setiap sujudku.  Aku hanya ingin Kau izinkan aku mendapatkan sedikit keikhlasan. Sedikit saja... Ya Rabb, tak ingin kumuluk berdo'a dan memohon padaMu.

Aku terhenti di stand Republika dengan yang memajang banyak novel best seller, yang tiba-tiba menarik perhatianku.
Mataku membaca deretan judul novel Tere Liye yang memang banyak menjadi best seller, yang kemudian membaca "Sunset bersama Rossie".  Membaca ringkasan ceritanya, memutuskan membelinya.

"Lihat ini Mae... baca deh. Seperti yang sudah kulakukan."
"Maksudmu?."
"Ituu.. ada ruang dalam hati."
"Ooohh... ruangan apa.. Vie."
"Ruang rindu.. untukmu.  Hahahahaha......." samar perasaanku dalam canda.

Adzan Maghrib kemudian membelah keheningan ruangan yang bertambah dingin, karena hujan mengguyur deras di luar.

"Sana sholat dulu... Mae.  Aku menunggu di sini...," kataku menunjuk rak buku di sebuah stand yang terdapat di lantai atas.  Aku selalu menyempatkan diri untuk mencari judul novel yang kubaca waktu SMP di tanah Papua.  Novel yang mengajariku tentang menggantungkan harapan, walau dalam keterbatasan.
Cinta yang klise, tapi tetap layak dinikmati hari per hari saja.  Begitu sederhana. Tak perlu kata-kata, karena hati yang murni akan dapat membacanya dalam keheningan malam.

Waaahhh... banyak judul yang menarik, gumamku sambil terduduk di lantai. Tak kuperdulikan apakah lantai itu kotor atau bersih.  Aku selalu dilanda "kegilaan" seperti itu jika telah menemukan duniaku.

"Dapat... Vie?" tanyanya tiba-tiba mengagetkanku.
Aku selalu merasa takjub, karena tak mudah membayangkannya sudah mampu memanggil namaku saja. Yaa... namaku.
Karena dengan itu jarak yang memang ada, memendek dengan panggilan yang apa adanya.  Seperti yang biasa dilakukan orang dalam budaya Barat.

"Belum... tapi ini banyak yang bagus... Eeeh, pulang yuuk.."
Aku menggamit tangannya, beranjak meninggalkan tumpukan buku dan novel yang memang bisa menahanku berjam-jam jika kubiarkan keinginanku.

"Pulangnya bagaimana?"
"Hmmmm.... aku bisa jalan ke Braga. Truuss.. naik bis kota."
"Hayoo..."
"Apa.. Mae?" tanyaku bingung.

Akhirnya... saat yang memang selalu terbayangkan itu tiba. Berusaha yakini hatiku, inilah cinta sederhana. Sepanjang hidup, kubuka hatiku... bahwa cinta tak pernah salah memilih. 
Lagu dari Maher Zein-Sepanjang Hidup, ini membuatku pada pemahaman ketulusan menghargai waktu yang dianugerahkanNya. Berusaha selalu bersyukur atas apa yang terjadi pada hidup.

Membelah malam, merasakan perhatianmu. Ku tak perlukan kau tahu itu, kusimpan saja rasa ini... walau ingin kuungkapkan, lewat kata-kata saja.. yang mengalir indah lewat puisi atau cerita pendek yang kubuat.
Karena yang kutahu, kau hanya pendam itu dengan "ketakutan".
Karena kabut jadi pilihanmu, namun tiada henti aku melambungkan angan. Karena jika kaupilih aku, kuserahkan ketulusanku, cinta tulus ini, meski kau tak pernah tahu. Tapi jika itu tak kau lakukan, maka keindahan hatimu, hadirmu, yang selalu kudambakan, akan kusimpan dalam mimpi saja.

Malam itu... mungkin tak pernah kau tahu, sangat berarti karena pada akhirnya kau beranikan untuk mendobrak pintu hatimu, untuk sedikit memberi ruang buatku.  Terimakasih... Mae.

Dan malam itu pula... kuketikkan banyak rangkaian cerita yang sedikit "gila" berusaha menjabarkan perasaanku, atasmu. Melayarkan Perahu Kertas. Tak kuperdulikan lagi, apapun... yang kuingin.. sebelum semuanya menjauh karena jarak yang akan membentang, kuberanikan diri untuk mengajakmu belajar ungkapkan perasaan.

Dan mungkin, yang tak pernah kau tahu... Mae, baru kali itulah kubisa rebahkan hati dan rindu dengan teramat damai.
Terimakasih... Mae, izinkan aku memiliki lagi rasa dan keberanian menatap keindahan Matahari, Bulan, Bintang, Pelangi... lagi.

Terimakasih... Yaa Rabb, titipkan rasa ini padaku, walau awalnya tak pernah terlintas sedikitpun... ketika menjalaninya dengan keraguan. Yang seharusnya tak kupertanyakan.
Karena, Kau memang tahu apa yang ada dalam hati dan fikiran hamba-hambaMu.

..................................................................................................................................................................


"Mae... maaf... aku ganggu gaa?"
"Ga.. aku baru selesai makan. Ada apa... Vie."

Entah kenapa kuhubungkan masalah yang kuhadapi, padamu... Mae. Aku seorang wanita yang terdidik sangat mandiri, dan seringkali malah melupakan bahwa aku tetap membutuhkan orang lain untuk menyandarkan lelah.

Keputusan yang ingin kuambil sebenarnya sederhana, dan sudah kutahu. Tapi, aku sendiri tak mengerti.
Bincang sepanjang semalam, membuka tabir kabutmu perlahan... Mae.  Walau dalam bahasa yang tersamarkan, kutahu benar... yang ingin kau katakan itu "rindu".

Hmmmm, tiba-tiba kau merindukanku... Mae.
Semalam kau tuliskan "No day without you, 24 hours, 7 days a week".
Aku sudah lama merangkai hari yang sengaja kuciptakan denganmu.
Keisengan yang kulakukan, kulakukan dengan harapan bisa mengingatkanmu, keindahan kebersamaan.
Terakhir kutemui dirimu, kulihat tatapan yang memang berbeda.. Mae. Seperti enggan meninggalkan waktu yang terangkai bersamaku.
Namun kutepiskan itu, karena buatku... bersamamu sudah cukup indah. Sehingga kubuang harapan untuk memahaminya lebih dari apa yang bisa kupahami.

Pagi ini, kembali kau ungkapkan itu.
Huuuuuuft.... kesahku resah, mudah-mudahan kau diliputi kesadaran menyatakan itu.
Dan kau pun melengkapinya dengan "count-down" waktu, karena hari ini, kita akan menikmati "petualangan lain" dari duniaku.
Perasaan membuncah bahagia, ketika kau uraikan perlahan tentang rasamu.. Mae.  Dan dengan kuyakini hati, kuberjanji akan melakukan hal yang memang ingin kulakukan untukmu.
Nantilah..... janjiku.

Kekacauan rencana yang memang terjadi hari itu, kegundahan yang kubawa menemuimu terbayarkan sempurna dengan pertemuan di kafe ini.
Aku hadir 1 jam lebih awal, karena sedang tak ingin berkelana.  Aku hanya ingin duduk, dan belajar merenda kesabaran menantimu.

Mae... aku sudah di kafe yaa... aku tunggu di ruang dalam. Demikian isi sms yang kukirimkan padamu.

"Mas.. bisa pesan salad dan Lemon Tea dulu yaa... sambil nunggu."

Aku memesan makanan yang akan menemaniku, menunggumu.  Kulihat berulang kali jam tanganku.
Well... saat menunggu itu memang tak mudah.

Kubuka tas dan mengeluarkan novel yang sudah selesai kubaca. Novel yang kita beli bersama.  Kebersamaan pertama yang kita lakukan.
Mengukir cerita yang cukup indah.

"Hai...." sapamu hangat dan menyalamiku.
Hmmmmmm.... sayang, mungkin kau tak tahu.. bahwa kala itu yang terlintas adalah ingin memelukmu.. Mae.
Sepotong keinginan yang selalu kuutarakan via emoticon untukmu. Aku benar-benar terjebak dalam perasaan dalam yang indah. Yang tak kusadari... esok hari akan terungkap semua tanya yang menggelayut di hati.

"Duduk di sini... Mae."  Kutunjuk posisi di sebelahku, di sofa yang hampir saja membuatku terlelap, karena semalaman berupaya menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda.
Ditemani dirimu..... aku kembali tersenyum simpul mengenangnya.
"Ini...." Kukeluarkan netbookku, karena aku ingin kau ringankan juga bebannya.  Alasanku saja untuk bisa menghabiskan sore ini bersamaku sebenarnya.
"Passwordnya?", tanyamu.
"Bisa kau tebak.. ga?"  aku iseng mempermainkanmu.
Kau ketik dengan berusaha mengingatnya.  Dan, ajaib... kau memang memperhatikan detil-detilnya... Mungkinkah... Mae?
Aaaahh... kebetulan saja.

Kuperhatikan dirimu yang sangat asyik mengurangi beban di netbookku, dari belakang.
Tahukah kau... Mae... betapa kuingin usap punggung itu.
Hmmm.... nantilah.. kutahan nafas, mengurangi kegelisahan yang menyeruak hebat.

Tasku yang menjadi batas...
Yang kemudian kupindahkan untuk mengurangi jarak kita.
Waahh... tahukah.. kau.. Mae, bahwa kala itu.. benar-benar ingin memelukmu..
Sungguh terlanjur kutak sanggup jauh darimu.
Ketika kuberanikan diri mengusap punggungmu, dan sejurus melihat reaksimu.. tetap serius pada apa yang kau kerjakan.  Aku benar-benar tak bisa berkata.  Karena kala itu yang kurasakan kejujuran rasa... Mae.
Aku berusaha tenangkan dirimu, mengurangi kecanggungan yang ada itu, dengan meletakkan tanganku di pahamu. untuk meyakinkanmu, bahwa semua akan baik-baik saja, jika kau berani nyatakan.
Ketika kau berani mengungkapkan tabir kabut yang menghalangi rasamu.

Mae...
Ketika menghabiskan banyak waktu, walau aku pun belum bisa melepaskan kegundahanku, aku sangat nikmati itu... Memperhatikan wajahmu, senyummu, terus bisa mencium aromamu, adalah masa indah yang akan jadi kenangan indah.
Selalu kuperhatikan sikapmu ketika menyimak ceritaku.  Dan kutahu... kau pasti selalu bisa menangkap kabut yang tiba-tiba menutup pandanganku, ketika kegundahan melanda kembali.

Terimakasih.. Mae,
Benar-benar kurasakan bahu dan tanganmu, yang selalu menjagaku kala limbung.
Waaahh.... hidupku, benar-benar berubah sejak kehadiranmu.  Karena selama ini tak ada yang bisa menghentikan kegilaan petualanganku.  Tidak hanya petualangan di alam, tapi juga di kopi, dan hal lain yang selalu buatmu tercengang.  Dan selalu dengan  santun kau tanggapi semua dengan kedewasaan yang cukup matang untuk orang seusiamu.

Tak apa... Mae..
Jika bentangan jarak denganmu adalah batasan memilikimu, bisa tertaklukkan dengan damai.
Karena hari ini.. petualangan indah kembali terukir bersamamu.
Perjalanan waktu yang mengantarku pada titik ini, membuatku benar-benar menyadarkan makna ketulusan.
Cinta memang tak harus termiliki.
Kubebaskan kau melambungkannya tanpa batas, tanpa jeda... karena kunikmati momen indahnya per hari saja.

"Pulang yuuk...." ajakku.
"Masih huujaan..." katamu menahanku, yang kemudian kusadari bahwa itu upayamu untuk menyandera waktu, agar tak cepat berlalu. Enggan.
Kalau kau mau menanyakan itu padaku.... itu juga yang terjadi pada hatiku... Mae.

Tapi coba ku ikhlaskan perjalanan hati hari ini terhenti pada titik waktu.  Karena kutitip harapan pada Ilahi... sebuah kesempatann bertemu dirimu lagi.
"Sudah... Mae." setelah membayar.
"Yuuuk"
"Hujan... Vie."
"Ga apa-apa... hujan begini awet... Mae.  Hujan itu indah... kok."   Aku meyakinkanmu, karena kutahu sebenarnya kekhawatiranmu tentangku.  Kau tak ingin aku basah.
Bahagiaaa..... sangat... Mae, ketika menyadari perhatianmu.

"Boleh benar-benar pinjam bahumu... Mae?"  Aku mencoba memecahkan dingin malam.
"Booolleeh.."
"Waahhh... jadi pengen nangis..." ucapku yang tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa menyeruak membuka luka hati.
"Yaa... nangis juga ga apa-apa kan... Vie.  Hujan ini... jadi ga ada yang tahu."
Aku melihat perubahan tubuhmu, perlahan memang, yang kemudian kusadari bahwa kau sedang menahan gundah.
Mae, apakah kau coba menyatakan perhatianmu dengan menangis..?
Aku coba bertanya pada angin dan hujan.  Karena yang kutahu, kau selalu memendam rasamu dalam-dalam.

Aku mencoba memelukmu... sangat eraat... Mae, dan bisakah kaurasakan... bahwa aku sangat nyaman bersamamu.
Bahumu benar-benar membuatku menangis, hanya tertahan.. karena kutak mau mengganggumu.. Mae. Mengganggu hidupmu, yang memang baik-baik saja.
Mengganggu kehidupanmu... bukanlah tujuan atau mimpiku.
Aku hanya ingin sesaat memilikimu... sendiri tanpa jeda.

Kurasakan getaran yang hebat tubuhmu, pelan dan lembut, selembut perasaanmu... Mae. Kuangkat kepala dari bahumu... merapatkan tubuh, untuk bisa berbagi kehangatan dalam dingin hujan dan malam yang pekat. Kuusap perlahan bahumu, untuk yakinkan.... semua akan baik-baik saja.... Mae, aku pasti baik-baik saja. Karena aku percaya padamu.
Berulang kali kurasakan... itu Mae.
Kau menangis kah? tanyaku.  Yang kemudian kutahu, yang kurasakan itu benar adanya.
Mana mungkin... yaa... Mae, sangah hatiku.
Walau aku percaya padamu, namun rasanya... aku memang bukan siapa-siapamu.

Sejak awal, kita meninggalkan kafe itu... banyak tanda-tanda yang kauhadirkan untukku.  Bahwa kau memang perduli padaku, tulus.  Kekhawatiranmu ketika kuceritakan, aku masih membelah malam pulang dari jadwal malam pekerjaan.  Semua cukup jelas kurasakan.
Namun aku selalu terjebak dengan jutaan tanya, benarkah?

Jujur,
Aku merasa amat tersanjung merasakan semua keindahanmu... Mae.  Dan aku takkan menyesal lagi dalam hidup, karena semua yang ingin kulakukan padamu, mulai menemukan jalannya.
Dengan segenap jiwa... tak bosan kukatakan lagi... dan lagi... Mae,
Aku mencintaimu dengan tulus.
Aku merindumu dalam setiap tarikan dan hembusan nafasku.

Semua mengalir menemukan jalannya kan... Mae?

Malam ini... kututup dengan semangat yang luar biasa, semangat yang kau suntikkan padaku agar tetap bertahan pada kekuatan. Karena kau kini ada membantuku berdiri.

Mae,
Aroma parfummu menemaniku menembus awan mimpi terindah yang pernah kumiliki.
Kututup dinihari yang kau temani dengan doa "Tak pernah cukup kata untuk menghadirkan cinta yang ada dalam hati. Mudah-mudahan selalu ada dan tanpa jeda..."

Mae... Mae... Mae,
Sengaja kusebutkan namamu 3x seperti gurauanku, agar secepat itu pula kau dapat rasakan keindahan ini, memejamkan mata, tertidur tanpa lelap, dan bermimpi kau bisa jadi milikku... walau hanya sesaat terdekap.
Namun tetap terurai bahagia... karena indah senyumanmu, makin indah di hatiku.
Selalu kusadari.... bahwa cinta ini tak mungkin jadi milikku.
Jika kau bahagia, aku semakin bahagia.
Maka, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan untuk ungkapkan rasa.  Dan beranilah... karena semua pasti akan baik-baik saja.  Karena lebih baik terucap dan terungkap, agar kutahu keindahan ini memang telah jadi milik kita.

Mae... takkan kuberpaling lagi...
Selalu menjagamu dan rasamu.... di sini.. dalam rahasia HATI.


(Dalam senyum merekah untuk sebuah kejujuran rasamu....
the piece of your puzzle completed all of the beautiful feelings)






MELODI HATI

Pagi....
Itu yang selalu kurasakan jika bersamamu...
Tak pernah ada gelap,
Selalu cerah,
dan penuh dengan asa.
                                                                  Pernah kau tanyakan..
                                                                  Apakah ini nyata?
                                                                  Dan jawabku...
                                                                  Ya, tentu saja.
                                                                  Karena kau selalu ada bersama hatiku,
                                                                  Embun.
Pagi...
Itu yang kusuka darimu..
Warna cerah mentari,
Kicau burung menghiasi,
serta tak ada takut menjalani hari.
                                                                  Pernah kau tanyakan pula..
                                                                  Apa yang bisa kau lakukan?
                                                                  Lalu jawabku..
                                                                  Pinjamkan saja bahumu,
                                                                  Agar selalu bisa kusandarkan lelahku,
                                                                  Pelangi.
Pagi...
Kaulah keindahan hidupku kini,
Membuatku selalu terjaga membangun mimpi,
Yang memang selama ini kukuburkan kembali,

Pagi..
Kau adalah semangat yang tak terpadamkan,
Dan selalu membuatku terlelap dalam damai,
Hingga kunantikanmu selalu mengganti hari.

(Selamat Paaagiiiiii.... Mentari)

Sunday, May 5, 2013

ANAKKU SAYANG 2

Pagi ini seharusnya kita bisa berkumpul bersama merasakan hangatnya mentari ditemani secangkir susu untuk kalian masing-masing dan kopi untuk Bunda.. yaa Nak?
Betapa mahal pertemuan keluarga lengkap bagi keluarga kita kini..
Dan itupun masih terpenggal dengan amarah yang seharusnya tak terlontarkan untuk kalian yang lebih banyak merenda hari tanpa kami.. orangtua kalian.

Maaafkan... Bundamu ini.. Nak,
Yang belum mampu menepiskan gundah yang datang, dan belum sanggup memeluk kalian dalam kebahagian perasaan.
Benar... tolong maafkan Bunda untuk kelemahan ini yaa... Nak?
Mudah-mudahan esok hari atau lusa, Ibu bisa menemukan keberanian untuk membuka diri dan mengatakan yang sesungguhnya, demi kebaikan kita semua.

Tahukah dirimu... Anak Sulungku,
manakala tadi kau menitikkan airmata sebagai ekspresi gundah dan kekecewaan yang luar biasa sambil terduduk memegang sapu... baru kini Bunda sadari bahwa beban yang kau tanggung sangatlah berat untuk membagi damai pada Bundamu yang sudah seminggu ini meminta punggungmu untuk Ibu sandari karena limbung menahan perasaan lara.

Tahukah kau... Bunda, katamu lirih, Seharusnya Ayah tak hanya berkata kasar pada kami, karena seharusnya ini bisa lebih mudah jika dilakukan bersama.  Ayah jangan hanya bicara, tanpa melakukan apa-apa, karena ia pun sebenarnya tak melakukan perubahan apa-apa.
Sudahlah... Fai, tak perlulah kau debat Ayahmu terus menerus.. karena itu memang tak akan membawa kebaikan, kataku lembut menenangkan amarah yang bercampur airmata.
Bunda sangat mengenal Ayah kalian... dan itulah kenapa Bunda masih bertahan untuk mencoba mendiamkan apa yang terjadi.
Aaaahhh.... ga bisa begitu terus... Bunda, karena kalau Bunda melakukan itu.. keadaan tak akan membaik pula, sanggahnya menolak pilihan sikapku.
Fai... kalau Bunda bersikap keras dan benar-benar mengambil langkah untuk meluruskan ini... siapkah kalian berpisah dengan Bunda? Karena Ayah kalian takkan ridha jika kalian memilih ikut bersama Bunda, jelasku sedih dan tak kuasa menahan airmata, ketika menjabarkan kondisi okari orangtuanya dengan segenap kejujuran.
Bunda tahu... Fai, kemarahan Ayah bukan tertuju pada kalian, dan Bunda minta maaf jika kalian terkena imbas atas semua amarahnya.  Amarah Ayah.. lebih karena Bunda terus mencari mimpi Bunda.. Fai, masih dengan lembut dan airmata yang memang menetes.
Bunda berhak mengejar mimpi Bunda.., Fai berteriak, Ayah tak adil pada Bunda!!.

Ok.. Fai, jika berbicara tentang hidup.. kita tak akan bicara tentang konsep keadilan.  Karena hidup seringkali memang tak adil, jika kita tak memberi keadilan itu. 
Hmmm.... kutahu.. Fai, terlalu rumit masalah yang kini Bunda jabarkan ini, dan dengan usiamu yang masih muda, maka tak terkejarlah konsep yang Bunda sampaikan ini, bisikku lirih dalam hati.
Yang harus kulakukan adalah menjauhkan rasa dendam pada ayah kandungnya sendiri, karena ketika kulihat tatapannya, penuh dengan rasa dendam. Wah... wah... ini sudah tidak sehat secara psikologis, tegasku dalam hati.

Kalau memang itu yang terbaik... siapkah kalian jauh dari Bunda? Dan kau akan menjaga adik-adik untuk Bunda?, tanyaku semakin sedih.
Fai terdiam dan menatap nanar padaku.
Ga mauu... Bunda... kalau memang itu pilihannya... aku akan hidup sendiri saja.  karena Ayah seringkali kurang adil pada kami.
Nah... apakah kau mengerti sekarang Fai, jika Bunda berani mengatakan yang sebenarnya untuk mencoba meluruskan kericuhan pagi ini... bisa jadi keluarga kita bisa seperti keluarga Tante Wati,  Inginkah kau itu... Fai? 
Bunda sangat tidak ingin terpisah dari kalian, maka kepedihan yang Bunda rasakan ini cukuplah Bunda simpan dan tetap berusaha jadi orang yang waras untuk bersikap, dan ingat... Fai, jaga mulut dan pembicaraanmu pada Ayah yaa... nak?  Kekerasan bukan harus dilawan dengan kekerasan.  Berdoa sajalah Fai.. semua akan baik-baik saja.
Jika nanti Bunda sudah mendapatkan mimpi Bunda... ikutlah di sana bersama Bunda.  Meretas mimpimu.. karena yang Bunda perjuangkan kini... semuanya benar-benar untuk kalian... Nak, jelasku gamang dan mengusap rambutnya.
Ah.. tak terasa waktu begitu cepat berlalu... Fai, kau sudah sebesar ini, desahku dalam hati.  Terimakasih... nak, telah memberi Bunda kekuatan lewat senyummu, ceritamu dan celotehmu jika Bunda pulang kerja.
Segelas kopi yang selalu seruput tanpa izin, dan kemudian kumarahi dirimu... Kau tak sopan itu... Fai.
Ahhh.... sedikit saja Bunda..., candamu.

Fai, Dani dan Riri yang Bunda sayangi...
Jika kalian menemukan surat ini dalam laci, setelah Bunda menuntut ilmu di tempat yang jauh... ingatlah selalu... bahwa kalian adalah jiwa Bunda.  kalian adalah energi kebahagiaan Bunda, yang selalu menguatkan Bunda untuk bertahan dalam semua deraan masalah yang memang tak mudah untuk Bunda jalani sendiri.
Apa yang terjadi pagi ini... Fai, Bunda harap bisa menjadi pelajaran berharga untukmu agar bisa menjaga adik-adik dengan sekuat tenaga yang kau punya... ya?

Bunda tak selalu yakin bisa terus bertahan di kondisi ini... Nak, tapi Bunda berjanji untuk tetap menjaga kalian, semampu yang Bunda.
Jika jarak nanti telah membentang... ingatlah selalu.. bahwa semua ini Bunda lakukan untuk masa depan yang lebih baik untuk kalian.

Terimakasih yaa.... sayang, untuk semua senyum, kopi dan teh panas yang kalian buat penuh rasa cinta, tetap menunggu Bunda untuk berebutan berbagi cerita, berdesakan di kamar Bunda.
Maafkan Bunda, karena mungkin Bunda belumlah menjadi Bunda yang kalian idamkan.  Sekuat tenaga... Bunda berikan cinta, sayang dan perhatian di setiap, walau itu Bunda berikan di sisa waktu Bunda.
Maaf yaa.... sayang,
Di waktu yang tersisa itu bukanlah bermaksud untuk menganggap kalian tidak penting.  
Tapi memang Bunda hanya manusia biasa.. dan waktu Bunda tetap sama dengan kalian atau Ayah yang [hanya] 24jam.

Hmmm... do'akan dan ingatlah saja.... sayang,
Badai pasti berlalu.....
Yakinlah!

Peluk dan Cium
Bunda

Saturday, May 4, 2013

[MASIH] SURAT UNTUK SAHABAT HATI

Dear Dy,

Taburan bintang, selalu jadi perwakilan dirimu dalam hidupku.  Sejauh mata memandang kulihat kedamaian dan ketenangan.  Seperti ketika aku berjalan dan duduk di sampingmu, atau ketika mengantamu pulang dan menatap punggungmu hingga menghilang dari pendanganmu.
Selalu ada pertanyaan yang tersisa dalam hatiku, mengelayut hingga esok pagi.
Pertanyaan dan pernyataan yang memang seharusnya kukatakan padamu, untuk menghilangkan penderitaan hatiku.

Hari ini kubaca di sebuah blog yang menulis:  
Peribahasa Cina "Be slow to promise but quick to perform." 
Apakah layak masih kuajukan pertanyaan dan mengungkap pernyataan padamu.. Dy.
Aku bukan orang yang mudah berjanji, tapi akan menepatinya jika sudah kulakukan itu.
Sakit sebenarnya menahan semua sendiri.. Dy.

Dy,
Kukatakan semua pada Matahari, Bulan, Bintang, Awan, Angin dan alam semesta, tentangmu tentang yang terkait denganmu, tentang keindahan rasa bersamamu.
Karena mungkin kau harusnya kau tahu.. yaa Dy?

Mungkin seharusnya, kutuliskan saja yaa.. Dy.
Menuliskan itu lebih mudah buatku dari pada menjejakkan kata dalam pernyataan langsung dan menatap wajahmu.  Wajah yang begitu tenang dan damai, walau ketika kutatap dalam matamu kulihat kelelahan yang tak bisa kau ungkap. Aaah... biarkanlah... Dy, aku takkan memaksa kau ungkapkan jika tak ingin diungkap.

Dy,
Pernahkah kukatakan, Jujur.. kau ajari aku banyak hal.  Terimakasih yaa??
Ajari apa?, tanyamu penasaran
Cinta.. Dy, sangat terasa di hati kecilku. Karena semua indah saat kau denganku. Kau beri aku bahagia dalam hidup, dan luluhkan hati yang beku, sembuhkan hati yang terluka.  Dan ikhlas kau lakukan untukku.

You are strong woman, katamu, ketika kusampaikan kegalauanku.
Ahh... aku tidak sekuat itulah.. Dy, jawabku pelan dan terunduk.
Yaa.. kau wanita kuat karena ada aku di belakangmu, kuatmu membangunkan aku yang limbung.
Jika kau benar-benar ada di sampingku kala itu, pasti aku sudah terkulai dan bersandar di bahu yang selalu kau pinjamkan. Jangan pernah... jangan berpisah yaa... Dy, sampai menutup mata.
Kuusap airmata dulu.. Dy.

Baru kali ini aku benar-benar merasakan ketulusan hubungan yang diberikan orang padaku, Dy.
Itu yang selalu buatku menangis.  Indah senyumanmu takkan bisa pudar, karena makin indah di hati. 
Walau kusadari itu.. cinta yang tak mungkin jadi, karena kutak bisa memiliki dirimu. Tapi ku takkan berpaling darimu.  Makin kucintaimu, makin kulepas itu... karena memang harus kubiarkan kau terbang tinggi.

Kupejamkan mata... Dy,
Dan kembali melihatmu, jelas sejelas nyata ketika kita bertemu.  Sadar ku kian tak ada, lagumu milikku saja.. Dy.  Selalu jadi milikku, dalam hati. Akan kulakukan untukmu.. Dy.  Karena jika kau bahagia, aku akan semakin bahagia.

Lucu yaa... Dy,
Walau aku juga menitikkan airmata, ketika tuliskan ini, aku juga tersenyum lucu... jika ingat awal pertemuan denganmu.  Dan kini kutahu... memang ada alasan kenapa kita dipertemukan.  Alloh itu Maha Adil dan Maha Tahu.
Manakala Matahari tetap bersinar, Bintang itu terus berpijar menemaniku.. di sana pun kau temaniku.
Kau ajari aku untuk terus menari, melanjutkan hidupku dan terus menemaniku dengan hati.
Karena kau selalu bisa memberikan bahumu sebagai tempat ternyaman sebagai tempatku bersandar dan menceritakan keluh kesahku.  Kemudian kau biarkan aku terlelap dan bermimpi melepas segala lara.

Dan yang aku tak pernah tahu... Dy,
Ternyata kau juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan.  Tanpa kusadari, semua kenyataan yang kurasakan ini mungkin telah kau rasakan juga.

Dear Dy,
Jika Bintang itu butuh gelap agar tetap terlihat bersinar, Matahari butuh sinarnya untuk menceriakan pagi, Embun itu butuh dingin untuk menghadirkan ketulusannya.  Awan butuh angin untuk menurunkan hujan.
Maka, aku akan selalu membutuhkanmu... Dy, karena kutumbuhkan dirimu di keabadian.  
Walau jarak yang jauh terbentang, kau selalu ada dalam hatiku.
Sukmaku berteriak perlahan bahwa kucintamu dengan keikhlasan tanpa ingin memilikimu, kesejatian saja.

Vian, makan dulu..., Ibu berteriak memenggal surat yang kutuliskan padamu.
Iya.. Bu, sebentar lagi, kataku karena kutak ingin menutus ide yang susah payah kugali untuk mendapatkan keberanian menuliskan ini untukmu.
Sudahlah Vie... makan saja dulu... nulis apa siih, serius banget...., kaget ketika melihat Ibu sudah ada di belakangku mengusap lembut rambutku.
Iihhh.... Ibu baca yaa...., aku tersipu dan berusaha menutupi apa yang kutulis untukmu.. Dy.  
Aku tak ingin pula Ibu melihat airmata yang tadi sempat menitik.  Aku tak ingin wanita yang telah lama sendiri ketika ditinggal Ayah begitu saja sedih.
Ayo... Bu, gamitku mengajaknya keluar kamarku.  Aku harus bisa menghiburnya semampu, mengatakan bahwa hidup ini ajaib.  Aku satu-satunya putri yang bisa membangkitkan dirinya dari keterpurukan.nya  Mungkin karena aku banyak melihat luka itulah... Dy.  Enggan kukatakan cinta pada laki-laki... termasuk...
Aku tersenyum.. karena kuingat kau... Dy.
Benarlah... kubahagia sebenarnya karena kau telah terlahir dan ada dalam kehidupanku.
Ah... biarlah waktu yang akan menuntunku pada cintamu... Dy, bisikku lirih dan menghela nafas pendek sesaat, sambil melihat Ibu yang duduk di seberangku.
Wanita itu masih cantik sebenarnya, pujiku pada Ibu. Masih dibalut pertanyaan kenapa Ayah tega meninggalkannya terluka demi orang yang baru hadir.  Seperti punah kesetiaan yang diabdikannya untuk kami. 
Ibu... aku boleh nanya ga.., aku memecah keheningan di ruang makan itu.
Ada apa.. Vie, sahut Ibu sambil terus menyuapkan nasi.
Sebenarnya... bolehkah kita mencintai orang yang seharusnya tidak kita cintai?
Ibu terlihat terkejut, dan meletakkan sendok, maksudmu?  Ingat Vie.. kau tak boleh mengganggu hubungan orang.. nak. Kau kan sudah melihat apa yang terjadi pada Ibu kan?
Iihh... aku bilang kan, boleh tidak.. Bu, bukan mengganggu hubungan orang. Aku belum mengatakan apa-apa.  Semua masih kusimpan dalam hati saja, jelasku menenangkannya.
Hmm... sebenarnya mencintai itu boleh saja.. Vie, asalkan kau tak meneruskannya dengan mengganggu.  Cukup dalam hati sajalah, Ibu menatapku dengan tatapan yang menyejukkan, seperti memahami kegalauan hatiku.

Setelah menyelesaikan makan, aku kembali ke kamar untuk meneruskan menuliskan apa yang aku ingin tuliskan padamu, Dy.

Dear Dy,

Sungguh rasa yang kau berikan dalam hidupku itu seperti pelangi.  Karena kini tak perlu kumiliki mimpi yang indah, selama ada dirimu.  Maka itulah alasan.. kenapa aku minta kau berjanji untuk tidak meninggalkanku.. Dy.  Memiliki dirimu memang mimpi yang mungkin tak bisa kukejar, tapi bersamamu selalu itu tetap jadi bagian terindah dalam hidupku.  Bisa menemanimu kala terlelap, dan tetap bersamamu ketika kau terjaga.  Selalu membuatku berarti dalam hidupku.
Memang baru bersamamu, sakit sekali mencintaimu.. karena harus melihatmu, mendekapmu dan menyayangimu dari jauh saja. Membebaskan rasa untuk memilikimu... Dy.

Maka Dy,
Walau aku hingga kini belum mengerti kenapa Alloh SWT menitipkan rasa cinta ini padaku.
Aku hanya ingin jadi mimpi indahmu, sesuatu yang bisa kau rindu.. karena langkahku akan merapuh tanpamu.
Hanya mungkin kau harus kau tahu... tanpamu sepinya waktu merantai waktuku... Dy.
Dirimu bagai nyanyian yang memanggil rinduku, bagaikan udara yang kuhirup segar di pagi hari.  
Itulah kenapa kusenang memanggilmu Embun... Dy.
Ketenangan itu kudapat darimu, dan jika tanpamu kumerasa hilang, juga amat seepii... Dy.

Perjalananku mengendalikan waktu, mengembara dalam kesendirian, terpecahkan sejak kau hadir dan terus mendekat dalam hidupku... Dy.
Hingga inginku, sebelum aku memanjangkan jarak di benua yang berbeda, kau bisa ikut di semua petualanganku.  Masuk lebih dalam duniaku.  Walau mungkin kurasa, tak adil menjebakmu di dalam duniamu, karena kau punya hak untuk duniamu.  
Hmmm.... ingatkan aku nanti yaa... Dy, agar selalu menanyakan kesediaanmu menemaniku dalam pengembaraanku melintasi waktu.

Dy,
Sambil mendengarkan Perahu Kertas, Ajari Aku Cinta, Cinta Tak Mungkin, Cinta Sejati, Dealova, yang selalu kuputar jika jatuh karena merindukanmu sangat, aku terus menulis dan ingin terus menulis semua kata-kata yang ingin kutulis untukmu... Dy. Boleh yaaa??
Di batas layar kaca.. aku merasa hidupku lengkap, walau jika kembali ke dunia nyata kesedihan itu hadir bagai melodi "creepy".
Yang harus kau tahu... Dy,
Kini aku bisa tegak menjalani hidupku yang biasa saja, dengan kesederhanaan cinta. 

Seperti yang selalu kukatakan jika kita bertemu..Dy... aku suka puisi Cinta Sederhana itu..
masih ingatkah kau??  Ketika kau tanyakan artinya..
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan 
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada."


Ketika kujelaskan itu, kulihat kau menatapku dengan tatapan yang tak bisa kupahami... Dy.
Tak terlalu kurisaukan itu. Baru dua hari berikutnya, aku baru menyadarinya.. Dy.
Maafkan jika aku salah, tapi tatapan itu hadir di hatiku dengan terjemahan terindah yang pernah kulakukan sepanjang karierku sebagai penerjemah.
Mungkin aku tak punya pengalaman menerjemahkan hati dan perasaan, tapi jujur keindahan rasa yang kini kurasakan, terjemahan dari semua tatapan yang kau berikan padaku, cukup mengobati luka hati yang mengangga di hati... Dy.

Maka... Dy, berjanjilah untuk tetap di sini... di hatiku, dan takkan pergi menjauh walau kau sudah memiliki kehidupanmu sendiri. Aku hanya ingin bisa bersandar jika lelah, menggenggam tanganmu jika sukma penuh lara.. Karena di sanalah kekuatanku berasal.

Terimakasih... Dy,
Jika kau mau mengatakan dan menepati janjimu itu.
Dan Dy..
hadirkan selalu aku dalam mimpimu yaaa... ketika kau terlelap duluan dan meninggalkan kusendiri..
Walau kutahu.. sebenarnya.. kau temaniku dalam mimpimu.. kan Dy??
(pipi merah, senyum yang tersipu..) itu ekspresi khas yang selalu kurindukan.
Titip rindu dan cintaku untuk kau jaga selalu yaa... Dy??
Bentangan jarak yang memanjang ini.. mudah-mudahan akan selalu jadi penguat hati dan sukma.

Kunanti dirimu di dermaga Rindu 1.. yaa Dy??

Kututup komputer jinjing dengan stiker "Kembalinya Petualang Sejati" ini, nantilah kukirimkan itu jika memang waktunya tepat, gumamku.
Aku mengambil novel yang kubeli bersamamu.. Dy.
Ingatan itu melintas cepat... dengan keriaan yang kita jalani.... rumitkah rasa ini??
Kalau mendengarkan lagu Noah... kusadurkan bahwa ketika suara hati memanggil namamu... itu karena separuh aku adalah dirimu. Lukaku bisa kau rasakan.  Begitu terasa dekat walau jarang terbentang, dan seringkali tak harus berbicara banyak, namun semua mengalir dan terasa begitu pas.. Dy.

Dalam novel itu ada bagian yang sangat kusuka... Dy.
Cerita Tegar pada empat gadis cilik menjelaskan tentang konsep kehilangan dan keikhlasan,  hampir mirip dengan puisi "Cinta Sederhana", yang disedehanakan bahasanya.
Melihat kunang-kunang yang tengah terbang, lalu ia berkata, kalian lihat itu? Terbang dengan cahaya di ekornya. Kecil tapi indah. Begitulah kehidupan. Kecil tapi indah. Seekor kunang-kunang hanya bia menyalakan ekornya semalaman, karena esok-pagi, saat matahari terbit, lampu kunang-kunang itu akan padam. mati. Pergi. Tapi mereka tak pernah menangis dan mengeluh atas nasib yang sependek itu. Maka malam ini, meski besok akan pergi, mereka tetap riang terbang menghiasi hutan.  Menyalakan lampu. Memberi terang sekitarnya.

Keren yaa... Dy,
Sambil berbaring dan membayangkan ekspresimu ketika kuceritakan itu padamu langsung.  
Aku tersenyum.. 
Yaa Rabb... betapa kumerindukanmu... Dy.  Bagitu indah perasaan itu menyusup di hatiku.
Walau terlambat kukatakan dan kukirimkan apa yang kutuliskan tadi, apa yang ditulis Tere Liye itu memang mengajariku banyak hal.... seperti dirimu.  
Keikhlasan memberi banyak kebaikan tanpa menuntut apapun.
Ku akan menikmati setiap detik kebersamaan denganmu... Dy, mengajakmu memahami duniaku dan untuk jadikan itu pengetahuan barumu.
Karena memang dalam hatiku... kini baru kusadari... terlambat pula kuungkapkan, karena berjuta kali pertimbangan miss-perception yang mungkin terjadi. 
Dan kini, kuputuskan untuk coba yakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja.. 
Jika kau tahu... kusangat mencintai dirimu, atas nama ketulusan dan kucoba untuk melupakanmu tak menghiasi hati dan kembalikan semua keadaan sebelum rasa ini merasuk dalam...Dy.  
Tapi tak mampu kutepis kekuatan yang terus melawan dan mempertahankan cahayanya. 
Tak mampu redupkan itu. Dan ketika kucoba tinggalkanmu... tapi sesuatu dalam dirimu terus memanggilku... menuntun dan menarikku dalam pusaran waktumu.  Dan tak pernah henti kurindukan senyummu.. tawamu.. yang buat jiwaku terbebas dari kegundahan.
Harus kuakui... kau tebarkan cinta di hatiku.. karena semua menjadi indah dan bahagia dalam hidupku jika bersamamu... Dy.
Maka tetap biarkan itu ada dalam hidupku, biarkanlah aku terus meminjam bahumu, izinkan aku menggenggam tanganmu untuk jadi peganganku kala terlimbung karena gundah.

Dan... lakukan itu dengan ikhlas yaa... Dy, karena aku memang tak ingin kau merasa terbelenggu denganku.
Bebaskan jiwa, pikiran dan hatimu, jika kau sudah terlelah dalam perjalanan menemaniku nanti.
Katakan itu dengan jelas padaku... dan aku akan sangat mengerti... Dy.
Hmmmm.... desah panjangku menghela nafas, kantuk mulai membenamkan aku di peraduan.
Ingin kurangkai mimpi tentangmu yang belum terjaga.
Biarlah.. , kataku dalam hati.  Karena akan kutulis pesan offline untukmu dan mengirimkan sms untuk mengingatkanmu.. bahwa aku pun akan selalu ada selama kau ingin dan butuhkan.. Dy.
Salamku buat cinta sejatimu... yaa... Dy, maaaaf sangat... jika keberadaanku mengganggu perjalanan kalian.



(Tertulis dengan berjuta rasa, terbalut keberanian yang terlambat....sebelum jarak terbentang)