Nuansa
Berjalan berdampingan di atas segala perbedaan, terasa tak mudah (memang)... Tetap mampu berdiri sendiri, (namun) terasa rapuh jika berjalan tanpamu... Always a reason behind something... #SahabatSejati

Sunday, March 1, 2015

Kidung

Saat ini..benarlah jadi titik terendah dalam hidupku. Berulangkali menanyakan arti kehadiranku. Bagi sahabat-sahabatku, juga bagi Dy dan Aira. Rasanya..tak cukup percaya dan yakin, bahwa keberadaanku memang sangat penting bagi mereka semua.
Maafkan aku..
Bukan tak percaya..
Ampuni aku..
Tak bermaksud meremehkan kalian.
Namun,  berjuta deraan kehidupan kali ini, nyatanya memang meruntuhkan langit kehidupan dan kepercayaan diriku. Yang terburuk adalah menghancurkan keimananku. Karena berulangkali.. bila terpuruk dalam tangis dan sakit yang luar biasa, seringkali terpikirkan untuk mengakhiri hidup. Memotong nadi, meminum penenang atau racun serangga, dan pikiran negatif lain tentang caranya.
Yaa..Rabb, apakah aku sudah menjadi pendosa?
Apakah aku memang tak cukup baik untuk merasakan kedamaian hidup?
Ataukah, terlalu banyak pintaku..hingga Kau kembalikan aku pada titik ujian ini?
Tuhan..
Kirimkan aku pelindung yang mampu menjagaku.
Menjauhkanku dari hal yang tak bisa kukendalikan sendiri.
Cukupkanku dengan rasa syukur. Walau terkurung dalam sepetak kamar di rumah singgah ini. Hanya bisa menatapi Aira di kesunyian, karena memang harus membagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Untuk hidup dan kehidupan.
Dan malam ini, hampir seperti semalam.
Aku memang sangat ingin mengakhiri hidup.
Biarkan saja.. tanpa kata.
Ingin terdiam selamanya.
Karena memang merasa tak cukup berarti, berharga dan bermakna.
Bagi Dy dan Aira.
...tik...tik...
Tetesan bening hujan tak cukup menghapus luka.
Masih belum mampu berdamai dengan jeda dan kekurangan.
.....biarkan aku pergi.
Relakan semua dalam sepi.
.............................
***
Tok..tok...
Pintu kamar diketuk dengan keras.
Aku masih tenggelam menangis. Masih mengenakan mukena dan menggenggam Al-Qur'an pemberian Dy.
Aku yang masih memikirkan cara mengakhiri hidup.
Tapi memang ingin semuanya kembali fitrah.
Walau mungkin caraku memang salah!
Ini adalah jalan terhina untuk kembali padaNya.
Duuhhh...ampuni aku, Tuhan.
.. tok.. tok..
Pintu kamarku kembali diketuk dengan keras.
Perlahan,.aku beringsut mendekati pintu. Dan membukakan kunci.
Ini sudah larut malam. Dan Dy datang. Sekilas aku melihat tatapan sedihnya.
Maafkan aku...
Dan posisiku memang membelakanginya. Aku terus membaca takbir, tasbih dan tahmid.
Keinginan bunuh diri itu belum menghilang. Selalu hadir, ketika terpuruk dalam jebakan pikiran bahwa aku memang tak berarti bagi siapa pun.
Benar-benar kehilangan makna kehidupan.
Lentera hidup itu telah padam.
Aku hanya terus merasa tersisihkan.
Aku selalu terjebak dalam pembatasan pikiran.
Aaahh...ari aku apa atuh? Hanya butiran debu.
Cuma persinggahan sementara dalam hidup sahabatku.
Terus menuntut pernyataan bahwa aku takkan disakiti.
Bisakah kau katakan padaku.. bagaimana caranya untuk (kembali) percaya.
Keraguan yang menyergapku ini luar biasa.
Bahuku masih berguncang, karena masih terisak.
Aku ingin dia memelukku.
Menarikku dalam kedamaian.
Seperti dulu. Meminjamkan bahunya untuk tangisan yang terjatuh bersama buliran hujan.
Aku ingin dipeluknya! ..teriak hatiku kencang.
Tanganku semakin erat menggenggam Al-Qur'an.
Walau menginginkan kematian..aku tetap berharap kesucian pemikiran di akhir hidupku.
"Vie.., panggilnya lembut, kenapa? Apa alasanmu?"
...dan aku tak mampu menjawab dalam kata. Hanya isak tangis dan doa terus kupanjatkan.
Dekapannya menenangkanku.
Walau kutahu, itu hanya sesaat. Sementara...
***

Dan..benarlah.
Kejadian itu berulang kembali. Dan secara ekstrem, aku ingin mengakhiri hidup di depannya.
Perdebatan yang panjang ini cukup melelahkan hati dan pikiranku.
Dy menunjukkan nyata ketidaksukaannya. Memukuli tembok dan terus menyatakan kebenaran.
Aku, terus menyanggah dengan penjelasan yang jujur. Dari sisiku. Pandanganku. Kesakitanku. Alasanku.
Tangisku itu semakin deras. Mungkin Dy takkan bisa memahami apa yang kurasakan kini.
Ketakutan ketika mendengar dentuman pada tembok yang dilakukannya, menggetarkan hati. Mengingatkan dan menguatkan semua trauma yang pernah kualami.
Akhirnya, aku mengalahkan egoku. Mendekatinya. Menarik tangannya. Karena posisinya telungkup.
Iba menatapnya. Mungkin ia menangis. Karena semua pernyataanku yang teramat melukainya.
"Diam.."
"Dy.."
"Diam.."
"Ayolah..Dy.. Maafin gue.."
"Diaamm.."
Badanku bergetar.
Ketakutanku memuncak di batas yang tak sanggup kuterima.
Dan, akhirnya aku pun memang akhirnya memutuskan untuk diam.
Diam, adalah ketakutanku. Karena aku terusir dalam kehidupan sebelumnya ketika telah memutuskan "diam".
Ia kemudian beranjak ke kamar mandi.
Menyembunyikan apa yang dirasakannya.
Kami memang bagai bumi dan langit.
Aku yang tak henti berceloteh. Dan dia diam mendengarkan.
But, live is never flat..-
--
Ketika keluar dari kamar mandi, Dy terduduk di depan pintu.
Aku terus memaksanya bicara.
Karena aku benci "diam".
Terus memaksanya.
Dan ia terus diam.
"Kalau lo diem terus..lo bisa bikin gue bunuh diri..", lanjutku dalam isak.
Aku amat membenci dirimu.
Ketidakmampuanku saat ini.
-- dan akhirnya aku memang beranjak ke arah kamar mandi. Membungkuk untuk mencari pisau. Atau menenggelamkan kepala di air.
Itu yang terlintas....
Dy menyusulku.
Aku kemudian mendorongnya ke belakang. Menahannya.
Aku benar-benar ingin melakukannya. Tak perduli di depannya.
Memang bodoh dan naif.
Aku memang bodoh!
Lama terdiam di posisi kami masing-masing.
Dan akhirnya ia menarikku. Mengembalikanku di posisi semula. Di tempat tidurku.
Jiwaku memang sakit.
Kembali terus terisak.
Dekapannya begitu mendamaikan.
Tepukan tangannya terus menenangkanku.
.."jangan nangis terus..."
Kata-kata itu terus digumamkannya.
Dy,
Tak mampu kujanjikan itu.
Aku (masih) takut!
Jiwa dan ragaku sakit!
Aku benar-benar terluka...
Maafkan aku ketika melukai perasaanmu...
Terus menerus membuatmu menangis.
Di antara semua perbedaan yang kita miliki, tetaplah jadi sahabat hati.
Karena aku memang rapuh, jika harus jalan sendiri.
Dekaplah (terus) aku dalam damai..
Pintaku.
Tuhan,
Ampuni aku untuk kesalahan ketika keinginan mengakhiri hidup ini salah..
Aku (hanya) manusia biasa. Perempuan yang tersakiti oleh perjalanan waktu..
***

Monday, February 16, 2015

Nyanyian Sepi

Hh..desah napasku panjang, agar beban yang terasa kian berat ini semakin menghujam.
Maafkan..aku, Tuhan. Tak bermaksud untuk tidak bersyukur untuk semua kenikmatan yang telah Kau berikan.
Hari ini, aku telah menemukan kepingan puzzle masa lalu. Kembali.
Yaa..teman-teman kuliahku.
Hanya sedikit terganggu untuk celotehan yang menjadi stereotipe, "ari aku apa atuuh..daa.."
Duuh, aapaann..siih, batinku.
Mereka selalu mengatakan hal yang sama, ketika aku tanyakan kesibukan masing-masing.
Memang sebagian besar mereka memilih sebagai bunda.
Dan mungkin mereka tidak akan pernah merasakan bahwa itu sangat bermakna. Karena mereka belum pernah merasakan kehilangan keluarga.
Kebanyakan orang baru bisa menghargai ketika sudah dihampiri rasa itu. Baru benar-benar menyesal.
Dan, mungkin terpuruk karena baru tahu semua memang bermakna.
Duuh..Tuhan, sembuhkah luka hatiku. Hentikan tangisku yang menyesakkan dada ini.
Aku hanya ingin berarti. Yang memang menginginkanku.
Tangis ini tak kunjung berhenti. Seperti derai hujan di luar kamar.
Terus melarungkan luka. Yang memang tak kunjung sembuh.
Aku tak ingin dikenang sebagai orang jahat.
Aku hanya orang yang (mungkin) menanti kematian di kesendirian.
Hapuskan tangis ini..Tuhan.
Hadirkan kekuatan jiwa.
Luka ini begitu dalam. Bagai jurang yang tak terlihat dasarnya.
Bilur-bilur luka ini begitu menguak lebar. Bertambah lebar, karena memang aku belum mampu bangkit dan tegak.
Jendela yang buram, seburam mataku yang tersaput kabut airmata yang tetap menitik, sambil menguntai barisan kata-kata.
Aira..Aira..igauku, dalam mimpi.
Pun juga tak henti memanggil namanya.
Aku bagai titik kecil yang tak berarti. Dalam kehidupanku dan orang lain.
Cukupkan saja hari ini..Tuhan.
Apakah ini akhirku?
Terhujam oleh rasa sakit yang merobek angan dan mimpi tentang kehidupan yang lebih baik dari hari ini.
.......


Saturday, February 14, 2015

Secarik Surat Untuk Tuhan

Tuhan,
Yang kutahu,
Aku akan terus belajar memahami caraMu mengajariku tentang hidup.
Sementara..
Kesendirian di keramaian yang (mungkin) harus kumaknai dengan benar.
Hanya..
Maafkan aku, Tuhan. Ketika keimananku terasa tipis, karena sempat terlintas pilihan tidur di keabadian (saja).
Kehilangan yang kurasakan, memang bertubi-tubi.
Dalam kegelapan dan tanpa Matahari.
Aku menjelma menjadi pribadi yang sangat lemah dan rapuh.
Kembali menjadikan perjalanan ke gunung, darat, dan lautan sebagai jalan pelampiasan untuk menemukan kedamaian.
Tuhan,
Peluk diriku di kehadiran kebahagiaan.
Sebentar saja..
Karena aku malu jika ingin selamanya merangkulnya.
Sebab aku hambaMu yang (masih) berkubang dalam dosa, yang aku sadari maupun yang tidak.
Tuhan,
Nyanyikanlah untukku kedamaian dan ketenangan jiwa.
Walau yang kutahu, mungkin belum layak untuk meminta itu.
Tuhan,
Di sampingku Aira terlelap dengan wajah yang mendamaikan hati.
Terimakasih telah menghadirkannya dalam penggalan waktu yang tersisa.
Memaksa tidur di keabadian adalah kesalahan pikiran yang picik, sempit dan naif.
Tapi..Tuhan,
Kali ini..
Aku benar-benar merasa sendiri, terhukum olehMu.
Maafkan aku..Tuhan,
Untuk kelancangan ini.
Aku (hanya) ingin menjadi Vie..
Annisa Alviani, wanita kuat dan tegar yang selalu bisa bangkit dari keterpurukan hidup.
Menjalaninya dengan  keikhlasan, tawadhu, qana'ah, dan istiqomah.
Masih pantaskah aku memohon padaMu..Tuhan?
Masih layakkah aku meminta kehadiran sahabat hati dan teman jiwa?
Untuk melengkapi kepingan-kepingan kehidupan yang belum lengkap.
Yang menemani, mengingatkan dan saling menjaga.
Hingga akhir cerita itu tiba.
Hhh...
Maafkan (sekali) lagi..Tuhan,
Ketika aku terlalu memaksa..
Aamiiinnn,
*tangis, peluk, cium* 😢

Friday, February 13, 2015

Faith

Seing is believing,
Paaagiii..
Sapaan sederhana melalui sms itulah yang kini amat kurindukan.
Mmmm, sebelum komunikasi menggunakan BBM, WA, LINE, dkk, menguasai dunia komunikasi maya.
Di perbatasan waktu, sepulang kerja aku begitu bersyukur untuk satu hari (lagi) yang terjalani dengan 'alhamdulillaah..'.
Kerumitan berpikirku, begitu menjebak kesendirian tanpa tepi.
Hhh, yaa..Rob, damaikan hati dan pikiran ini.
Aku hanya ingin bahagia yang sederhana. Yang memang sering kurasakan, sebenarnya.
Dirasakan saja. Karena memang tak selamanya harus dengan rangkaian kata-kata.
Yaa..itulah dia.
'Chokyy..diiaam.'
'Itu hamster betinaku, yang memang gemar berputar di wheel yang ada di kandang. Sedikit gaduh. Sementara Temmy masih meringkuk pulas.
'Masa..dinamai begituu..' protesku.
Sejak Minggu, aku memang memilih sepasang hamster untuk menemani hari-hariku.
Aira, begitu bahagia ketika melihat mereka. Mata sipitnya berbinar indah.
'Mommy..look, they're so cute..' ia terus memberikan potongan wortel pada mereka, yang memang tak berhenti makan. Hahahaa.. so gembul, batinku.
'Yaa..sayang.'
Aku terus memperhatikannya dari sudut ruangan. Kelalaianku, yang sering menunda pekerjaan, membuatku benar-benar tersiksa. Dateline..sudah semakin dekat.
Maafkan Bunda..sayang, sesalku yang memang sudah terlambat.
Begitu bahagia karena Dy berkenan menemani Aira bermain bersama hamster-hamster itu.
Kebahagiaan yang terpancar begitu sederhana. Kebersamaan.
Terimakasih..Tuhan, untuk semuanya.
Hari ini sebenarnya pekerjaanku tak begitu padat. Hanya beberapa naskah yang harus kuedit. Tapi semua membutuhkan konsentrasi. Dy sudah memahami kebiasaanku yang terlalu fokus, ketika dikejar dateline. Maka seperti biasa, dia akan berusaha meluangkan waktu  menemani Aira. Gadis kecilku, begitu akrab dengannya sejak pertemuan pertama. Hhh..andai saja...
Sekelebat mimpi mengusik memori dalam pikiranku.
Let it be..
Always reason behind something.
Perjalanan di kesendirian, memang mengajariku banyak hal. Tuhan sedang bicara denganku, yang tak hentinya menanyakan, 'apa aku..baik?', 'apa aku tak layak bahagia?', dan semua itu hanya menyiksa batinku yang memang telah terkoyak. Tercabik-cabik dalam realitas yang mungkin tak pernah singgah di kehidupan orang lain.
Perenungan yang terlalu dalam inilah yang kemudian membuatku menunda banyak pekerjaan.
Waalllaaa...
Stop!
Cukupkanlah aku dengan rasa syukur untuk semua nikmat dalam kehidupan..Tuhan.
Aku masih punya Dy, yang sering mengantarkan banyak kebahagiaan tulus yang sederhana. Tanpa banyak kata-kata. 'Rasakan saja..Vie.' Ujarnya di satu penggalan waktu.
Di sampingku, kumiliki Aira. Permata hati yang masih kugenggam dan tersemat indah di hati.
Perjalanan memang harus dinikmati. Tak selalu indah. Begitulah...
Tuhan, beri kedamaian dan pinjamkan kesabaranMu. Hapuskan amarah, sedih, gundah... melalui buliran bening yang mengalir di pundak Dy pagi ini.
Sirnakan semua kepedihan. Larungkan bersama titik-titik hujan.
Hadirkan kembali keseimbangan. Yinyang. Amiinn...

Dan..
Mataku terus menatap punggungnya, melalui  jendelaku hingga menghilang di ujung jalan.
Makaasiiihhh...Dy. *hugs,

Tuesday, February 3, 2015

(Hanya) Butiran Debu

Aku bukan pujangga...
Ini diriku, apa adanya....

Samar deretan lagu mengalun dari playlist. Terus menulis untuk memberi oksigen untuk paru-paruku. Menyesak tanpa batas.
Aku sedang membenci diriku sendiri.
Menyembunyikan tangis dari Aira. Tak ingin melukai hatinya.
Tuhan,
Aku sedang kehabisan kata-kata untuknya.
Hanya bisa menitipkan rindu dari jauh.
Begitu jaauuuhh...rasanya, jarak yang terbentang ini.

"Sayaang, mau roti bakar ga?", tanyaku pada Aira yang sedang menghabiskan susunya, sambil tertawa riang menatap kartun kesukaannya..
"Yaa..Bunda, jawabnya singkat, ...pakai coklat yaa.." lanjutnya kemudian.
"...mmm, lupa yaa..," ujarku sambil mengusap rambut ikalnya.
Mata sipitnya tertegun, menatapku penasaran.
"Apa..Bunda?"
"....tooloong."
"Oo..iyaa, maafkan Aira..Bunda.  Toloong, pake coklat.."
Ia memelukku erat.
Duuhh, Tuhan..
Terimakasih telah mengirimkannya padaku sebagai pelipur lara.
Di antara keterbatasan waktu, kepedihan dan semua kejadian yang (mungkin) mendewasakanku, Aira adalah hadiah terindah dari Tuhan. Walau aku merasa (hanyalah) butiran debu.
***

Haaii...haaiii, apa kabar semua? Cuaca memang sedang mendung yaa, tapi izinkan Vie menemani kalian yaa.. 
Untuk sekedar berbagi rasa, di antara deretan tembang.
.....,

Sejurus kemudian, di tengah lagu yang kuputar, Eggi mengetuk kaca.
"Apa..?" tanyaku
"Nanti beres siaran temui aku yaa.."
"Ok."
Dia berlalu tanpa memberikan penjelasan untuk kerut keheranan yang tergambar di keningku.
***

"Ada apa..Gi? Tumben cariin gue."
"Aahh..bahasa lo. Kesannya gue cuma nyariin kalau terjebak dalam masalah..," jawabnya sambil meninju pelan bahuku.
Sahabatku ini memang tak banyak bicara. Dia selalu mengingatkanku.
..batasi bicara lo, ga semua orang suka sama ocehan lo.
..lo tau ga, banyak yang suka bicarain lo..Vie, di belakang lo.
..teman tak selamanya jadi teman...
...dst.
Yaa, kuakui..
Memang aku terlalu banyak bicara. Seringkali spontan bicara, dan menyampaikan kritik.
Hhhmm, diam itu memang emas (nampaknya).
"Lo lagi ada masalah? Muka lo kusut banget."
Mmm...duuhh, beri aku kekuatan.
"Gi..apa tujuan hidup gue?"
"..eehh, buuseet.. istighfar Vie. Otak lo kram yaa..?"
"Ngga..cuma gue putus asa..Gi. Di keluarga, temen dan tempat kerja, gue berasa ga ada.."
"Duuh...Vie, parah lo yaa.. mungkin lo butuh di ruqyah. Jelek gitu pikiran lo. Semua perjalanan ambil hikmahnya. Kita kan ga harus selalu mempertanyakan semua kejadian."
...ruqyah...
Kata itu seperti memanggil Dy. Dia pernah mengatakan itu.
Menurutnya, aku terlalu "aneh" dan negatif.
Hhhh, aku hanya (terlalu) trauma.
"...Viiiiee...."
Aku terkesiap, tersadar dari lamuunan yang kucipta.
"..iyyaa...Gi."
"Giihh.. lo langsung pulang yaa.. bahaya kalau bengong terus gini. Teu konek wae.., suruhnya, hati-hati di jalan. Kalau lo udah siap cerita, hubungin gue..yaa?"
Aku pun terdiam, dan mengangguk.
***

Secangkir kopi hitam kental telah menemani pagiku.
Terbangun dengan pening.
Aira sedang menginap di rumah ibu untuk mengisi liburannya. Aku tak bisa menemaninya sepanjang waktu.
Pekerjaanku terlalu menumpuk.
Dy,
Di mana..dirimu kini?
Kenapa semua harus tanpa kata.
Katakan sesuatu..
Aku, putus asa!
Bantu, sederhanakanlah..pikiranku.
Lakukan sesuatu.
Sebelum aku bunuh diri.
***

Sunday, February 1, 2015

(Hanya) Catatan Kecil

Malam beranjak, jelang dini hari. Mataku tak kunjung terpejam. Tangis yang panjang tanpa jeda belum juga bisa kuhentikan. Semua hanya dalam dia dan kesendirian.
Aira tetap terlelap dengan mimpinya. Ia satu-satunya alasan aku bertahan hidup. Tetap memeluk bonekanya. Hhh, maafkan bunda sayang..belum mampu hadirkan hidup yang lengkap dengan bunga keindahan.
Dy,
Selanjutnya (hanya)
untukmu perjalanan melintasi waktu ini. Mungkin semua akan terjawab dalam diam.
Berulangkali..aku membuatmu marah untuk semua pertanyaan dan jawaban, atau topik obrolan yang menyebalkan. Bukan tanpa alasan, dalihku dalam diam. Aku tak pernah merasakan, ketakutan yang teramat sangat. Semua karenamu.
Aku kembali merasakan hidup dan lengkap. Bersamamu. Aira pun telah jadi bagianmu.
Maafkan..Dy. Ampuni..
Jika tak kunjung kurasakan damai dari semua itu.
Aku tak ingin kehilanganmu.
Perdebatan yang sering kita lakukan, mungkin tahapan lain yang harus kita jalani dan hadapi. Tak mudah memang. Tapi berjanjilah bahwa kau akan tetap bersama. Menemaniku dan Aira. Hanya dirimu yang kumiliki saat ini..
Airmata ini kembali mengalir mengabut.
Rasa sakit belumlah hilang.
Entah apa obatnya..
Mungkin diriku sendiri yang masih belum ikhlas melepas kecewa dan sedih.
Walau benar kuakui, tanganmu hangat menggenggam.
Dekapanmu menenangkan jiwa. Bisakah..aku jad bagian hidupmu? Selamanya.
***
Catatan yang kutulis di diary malam ini, sedikit membuatku lega.
Masih menantikan pagi dengan warna pelangi.
Semua harus kulakukan, membuka lembaran baru.
Tuhan,
Aku memang tak pernah tahi gambaran masa depanku kini.
Namun..izinkanlah kedamaian perasaan tetap ada menemaniku sampai di masa depan itu.
Ajarilah aku untuk berdamai dengan kehilangan, kesedihan dan ketakutan.
Perkenankanlah..Dy selalu menemaniku dan Aira.
Maafkan aku..Tuhan, jika meminta (terlalu) banyak.
Aamiiin....
***

Tuesday, January 27, 2015

Let me.. Let it be..

Tak ada hal yang sederhana, ketika kita memutuskan untuk berhubungan dengan komunitas atau seseorang.
Jika harus terjatuh karena gesekan komunikasi..let it be..
Karena dari sanalah kita belajar.
Yaa, belajar memahami dan mengerti. Mencari jalan tengah yang akan menyatukan kebaikan.
Perbedaan seharusnya tak dilihat sebagai ancaman.
Itulah caraNya mendewasakan kita.
..mmmm, buliran-buliran bening mengiringi tulisanku kali ini.
Berulangkali memanggil namanya dalam diam dan hening sepetak rumah singgahku ini.
Seharusnya aku tak takut..tak perlu lagi mencari masalah.
Tapi..sudahlah, memang semua sudah (semestinya) terjadi. Let it go..
Aku terbangun..
Selalu terbangun pukul 2 dini hari, jam berapa pun aku terlelap.
Perutku kembali nyeri. Menusuk. Aku tak ingin mengganggunya. Semua harus kuhadapi. Dalam diam aku memegang perut dan menekuk kaki hingga menekan perut. Hanya itu cara yang bisa meredakannya. Sementara saja..
Duuhh..Gusti nu Agung, paparin kakiatan, desahku..
Allohu Jabbar..Allohu Jadiir..
Berulangkali kubaca semua penggalan ayat yang kuingat.
Tuhan..kuatkan aku.
***
Di sebelah pojok ruangan ini, burung-burung bangau kertas masih belum terangkai.
Senbazuru..
Tradisi yang dimiliki oleh orang Jepang, untuk mewujudkan impian-impiannya. Membuat 1000 burung bangau kertas.
Tadi Aira bersorak gembira.., "waah asyiik, Mommy bikin burung-burung lagi". Dan melompat memelukku erat serta menciumiku. "..iyya..iyaa sayang, lepaskan pelukanmu dulu. Mommy ngga bisa napas niihh," ujarku. Bahagia tak terperi ketika melihatnya tersenyum begini.
Mm..semoga ia tetap seperti ini, desahku kini.
Mataku sembab. Menangis lagi. Setelah memutuskan untuk sholat witir, alhamdulillah.. semua berangsur membaik dan menenangkan.
Tuhan.. izinkan aku memilikinya sejenak. Di sisa waktu yang kumiliki..
Kusesap capuchinoku perlahan. Menikmatinya diiringi azan Subuh. Duuh..mataku belum terpejam. Hanya terpenggal di hitungan menit.
Belum mampu menenangkan pikiran yang terus berdialog dengan hatiku.
Hhhh... kulihat Aira masih memeluk mimpinya. Boneka racoon kesayangannya masih dipeluk erat. Ia merindu.
Dy,
Di manapun kau kini, kuminta lihatlah langit. Kutitipkan banyak kata-kata yang tak pernah kunyatakan.
Kita memang melintasi banyak perbedaan kini. Pergesekan yang luar biasa. Tapi.. tetaplah di sini. Jadi Bintangku dan Aira.
Tetaplah jadi Dy yang kukenal dulu. Sebelum gadget membentangkan jarak yang tak semestinya.
Ini..hanyalah masalah waktu dan adaptasi. Antara aku, kau dan Aira.
Jangan pernah letih, walau sering tertatih.
Pegang tanganku, genggamlah erat.
Cukup katakan.. "semua akan baik-baik saja.. Vie."
Pelukanmu. Kecupan hangat itu tetap di sini. Tersimpan di ruang rindu. Di hati kami. Aku dan Aira.
Let me be the one...