Prolog
Perjalanan yang kujalani, berirama. Maka aku sangat memahami pepatah "
life is never flat". Jatuh bangun meraih mimpi dan cita-cita, serta menikmati hidup menjadi santapanku ketika
teenager.
Aku menjadi wanita yang sangat mandiri kini, karena aku sudah menjalani
hidup jauh dari orangtua, selepas SMP. Hhhmmmmpfft.. itu sisi
positifnya. Sedangkan di sisi lain, aku sudah sangat jauh dari rasa kasih sayang orangtua. Kebetulan, aku tumbuh di keluarga yang tak hangat. Kami jarang berkumpul untuk menanyakan apa saja yang telah terjadi dalam hidup anak-anaknya. Mereka hanya akan memberiku materi, jika aku berlari meminta 'sedikit' perhatian. Uang memang segalanya buat Ayah. Mungkin, hanya Ibu yang sangat bisa memahamiku. Namun, jarak antar pulau yang memisahkan, membuat komunikasi kami amat terbatas. Yaa... begitulah. Karena dalam hidup, kau tak akan mendapatkan semua yang kau
inginkan kan? Yin-yang... filosofi itu yang memang benar adanya. Ada
dualisme dalam hidup. Suka-duka, tawa-tangis, sedih-bahagia, dan
seterusnya. Jadi.... kematangan berfikirku merupakan tempaan
permasalahan.
Perjalanan hidup itulah yang kemudian
membuatku memilih Bandung sebagai pelabuhan terakhirku. Aku memang
petualang sejati. Ibnu Battuta.. memang sangat menginspirasiku. Penjelajah muslim ini lebih 'keren' dari Colombus yang banyak dikenal jutaan anak muslim di negeri ini.
Aaarrgghh.. mengapa??
Hampir seluruh penjuru Indonesia telah kujelajahi.
Ayah yang berprofesi peneliti, membuatku memiliki pengalaman tinggal di
daerah yang berbeda setiap 3 tahun. Yaa.... kami menyebutnya sebagai
"siklus 3 tahun". Hmmm... hal ini sempat membuatku bosan, karena selalu
berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya. Hampir selalu
beradaptasi dengan banyak teman. Tapi lama kelamaan itu menjadi hal
yang membahagiakan saja.
Kekagumanku pada Bandung, memang
dilandasi oleh sifat dan sikap penduduknya. Aku memiliki banyak teman
yang berasal dari kota ini. Ehmm... cukup moderat jika memandang
kedudukan wanita dalam kehidupan masyarakatnya. Aku suka itu. Aku
memang bukan feminis. Tapi juga kurang suka jika wanita dibatasi
langkahnya. Baik di dunia perkerjaan, pendidikan atau hal yang
lainnya. Yang berbeda hanyalah wujudnya. Fisiknya saja. Setuju kan?? Selanjutnya, persentase penggunaan perasaan. Jujur, wanita terlalu banyak berdiri atas realitas perasaannya, sedangkan laki-laki pada rasionya. Maka, seharusnya keduanya bisa bersinergi dengan baik, saling melengkapi. Seperti rel kereta api saja. Tak pernah bertemu, namun mengantarkan jutaan manusia pada tujuannya. Kebaikan.
Dan itu dibuktikan oleh waktu.
I'll find my missing rib.. and you'll be mine!
Dan
di sinilah aku. Semenjak kuliah di salah satu universitas negeri,
sambil menikmati proses interaksi dengan penduduknya. Belajar bahasa
dan budayanya. Yaa... hidup adalah perjuangan.
Dan kini tak
terasa, aku sudah menyelesaikan studi lanjutan di tempat yang sama
dengan tempat perjumpaanku dengan Ika, Neu, dan Isti yang menjadi
sahabat kepompongku. Atau dengan Aa yang meninggalkanku demi kekasih
baru. Hahahahaa... masa muda dan kuliah itu memang menyenangkan dan
membahagiakan.. yaa?? Maka... nikmati saja semua proses pendewasaan itu.
Karena waktu adalah kesempatan yang tak pernah kembali.[]
------------------------------------
Perjalanan Waktu
Pagi
ini terasa berbeda. Kesendirianku di kost, karena teman-temanku tengah
mudik menghabiskan liburan membuatku terjebak di kesepian. Walau pun
aku tak terlalu akrab dengan mereka, tetap saja tak ingin sendiri.
Tapi.. sudahlah. Dengan kesibukan yang membunuhku kini, aku tak bisa
mengelak dengan tanggungjawab pekerjaan yang menumpuk. Di hari biasa
pun aku memang selalu pergi pagi pulang malam. Besar di jalan..... kata
Mbak Anis, melihat pola hidupku... hahaha...
"Vie.. coba deeh, jadwalmu diatur yang benar. Jaga pola hidup dan makanmu...
kay?"
"Iiyyaa... Mbak, makasiihhh... tak bosan ingatkanku. Masalahnya.. aku memang '
moody'. Jadi itulah masalah terbesarku." Memeluknya dengan hangat.
"
Just take care.."
Mbak Anis tersenyum mengusap kepalaku dengan rasa sayang.
Bahagia bisa
memilikinya, di antara banyak orang yang kukenal. Ketulusannya...
selalu mengingatkanku pada Ibu, yang memang tak tinggal di sini. Aku adalah s
ingle fighter,
dan kini.. aku tengah berjuang menyelesaikan pendidikan Master melalui
program beasiswa. Cita-cita yang ingin kuretas semenjak 4 tahun lalu,
tinggal selangkah lagi.
Pesan-pesan Mbak Anis ini
mengingatkanku pada seseorang. Yang pernah mengisi ruang hatiku. Yang
kemudian meninggalkanku, karena guru spiritualnya mengatakan aku tak
cocok buatnya. Terlalu jauh untuk direngkuh dan terlalu tinggi untuk
diraih. Dan kemudian menghilang ditelan bumi.
Hhhmmmmmhhh.... aaiihh, pedih nian jika mengingatnya. Perjalanan yang menyakitkan, dan kini harus kualami lagi.
Ingatanku
kembali terfokus pada lalu lintas yang ada di hadapanku. Jalanan yang
penuh sesak, oleh pendatang yang menghabiskan liburannya. Memang cukup
menghambat aktifitasku, karena harus menghitung jarak dan waktu tempuh
yang kuperlukan, dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya.
Ehhhmm...
well, time management.
Kilasan ingatan yang sesaat melintas, membuatku menarik nafas panjang.
Membiarkannya tertiup angin saja. Berlalu bersama perjalanan waktu.
Perjuangan ini harus selesai.
Yang lalu.. biarkanlah berlalu.
Aku tak ingin tahapan akhir ini tak penah selesai, hanya karena masalah
hati. Aku akan dikenai penalti jika studi ini tak 'tepat waktu'.
Ganbatte.... ganbatte... ganbatteru... Vie!
Hari
ini aku memiliki janji dengan Usi, yang ingin membagi buku yang
dimilikinya. Ingin mengosongkan rumah ibu, katanya. Waah... anugrah
yang indah buatku, karena buku adalah hidupku, denyut nadiku.
Sepulangnya
dari Paris, ia memang berencana banyak hal. Sama sepertiku, yang
oportunis, kami memiliki segudang rencana masa depan yang memenuhi
kepala. Golongan darahnya A, sehingga salah satu hobinya adalah
membersihkan rumah, teratur, disiplin dan cerewet. Hiihihihi...
Kami
berdua sampai harus dilarang dosen untuk berkomentar, dan harus
memberikan kesempatan pada teman lain. Yaa... aku dan Usi, bagai
kepompong. Maka di awal kepergiannya bersama keluarga ke Paris, cukup
memukulku telak. Aku kehilangan 'bahu' untuk menangis. Dia memang
sangat mengerti aku. Tak banyak teman yang bisa mendekati dan menjabat hatiku. Yaa.. memang aku tak mudah 'percaya', terlalu menjaga hatiku yang memang sudah (penuh) luka.
"Heeyy... menepilah dulu."
"Kemana.. Ceu?"
"Nguupii.. nguupii."
"Tapiii....."
"Aaaah...
sudahlah....... Hayuu...." Usi menggamit tanganku dan aku pun bagai
kerbau yang dicocok hidungnya. Mangikutinya dari belakang. Mengambil
posisi di sudut ruangan dengan sofa yang nyaman. Ehhmmm... memang
tempat yang nyaman. Aku hampir tak pernah bisa menikmati waktu. Karena
semua habis tersedot oleh kesibukanku dengannya. El memang sangat
posesif.
"Ada apa?" Usi membuka percakapan dengan hati-hati.
"Maksudmu..."
"Sudahlah....
Vie. Aku melihat kau terduduk di pojok kelas tadi. Airmata itu
kulihat. Kau bisa menipu teman-teman lain, dengan keceriaan yang kau
tampilkan ketika presentasi. Tapi aku ga..."
"hhmmmhhhfftt...
Ceu." Aku gamang memulai cerita tentang apa yang aku alami hari ini.
Pukulan telak yang dilakukan tanpa dasar, menjelang tugas presentasi
yang harus kujalani bersama Usi, Arfi dan Epul. "Dia ga percaya.. kalau
aku dan Epul hanya teman biasa. Tuduhannya menyakitkan. Kesibukan
kita mempersiapkan makalah, dianggapnya alibiku biar bisa main.....Dan itu baru sebagian kecil kesakitan hatiku.. Ceu. Aku ga bisa ungkapkan semua.. maaf yaa.... Terlalu sakit...."
Drrrrtttt...drrtttt.... dering 'silent' HP memotong percakapanku. Kulihat namanya.
"Ceu...." Aku memandang Usi dengan wajah bingung dan panik.
"Sudah... angkat saja. Bilang kita belum selesai.."
"Tapiii..."
"Vie...
sudahlah.. ga apa-apa. Kamu juga berhak atas dirimu dan waktumu.
Santai dulu deehh.. tenangkan dulu dirimu." Ia menguatkanku.
"Hallo.."
"Kamu di mana?" tanya El dengan nada marah.
"Masih kerja kelompok.. di kost-an Arfi."
"Pulang jam berapa?"
"Secepatnya.. setelah selesai..."
Percakapan
itu langsung diputusnya tanpa basa-basi. Aaaahh... ia memang begitu,
jika keinginannya tak dipenuhi. Dan kini.. kucoba untuk berdiri.
Berani menentukan sikap. El cukup kaget.. karena selama ini aku hanya
menjadi mainannya yang manis. Yang selalu menerima perlakuannya, walau
sering mengorbankan perasaanku.
Perjalanan waktu
bergulir sangat cepat. Hatiku yang resah, mulai tenang. Dan kekuatan
diri itu kembali kumiliki. Aku harus bisa menentukan sikap. Bukan jadi wanita yang lemah. Bukan pula jadi wanita diktaktor. Semua sesuai porsinya saja. Tak ada yang sempurna. Jika ia inginkan itu dariku, maka aku bukan wanita yang dicarinya. Aku hanya ingin mengembangkan wawasanku, ilmuku. Resiko pekerjaan saja. Bukan demi gengsi, status atau ingin menaklukkan laki-laki. Eemm... tak penah terlintas itu. Siapa pun yang akan mendampingiku, akan kuhargai dan hormatinya, karena kutahu memang itu yang harus kulakukan. Laki-laki adalah imam.
Setahun
berlalu, ketika perjuangan tesis bersama Usi bergulir. Kepergiannya
menyisakan luka buatku. Aku memang teramat 'takut' sendiri. Tapi perjalanan
waktu akhirnya membiasakanku. Hanya dengan tenggelam di banyak
aktifitas. Membunuh waktu. Hingga pulang ke kost-an di malam hari
dalam kondisi lelah, dan langsung terlelap.
Dalam hatiku.. bilur-bilur luka itu memerah dan semakin berdarah. Perlakuan-perlakuan
irrasional dari El, kutelan bersama tangis. Seringkali, aku berusaha keras menyamarkan sembab di mata melalui make up, ataupun kini seringkali kugunakan kacamataku. Walau, jujur aku tak pernah menyukai benda yang satu itu. Seharusnya sudah kugunakan itu semenjak SMP. Tapi.. aku senang aktifitas alam, sangat mencintainya. Hingga kacamata akan sangat mengganggu gerakanku memanjat tebing, mendaki gunung, dan banyak lagi. Hhmmmmhh... kini, kacamata amat membantuku menyamarkan perasaanku. Seperti kulit kedua. Topengku. Aarrgghh... mulai tak jujurkah aku pada dunia? Tanya yang selalu kutepis. Aku hanya tak ingin mengumbar apa yang terjadi. Bukan untuk konsumsi orang yang tak peduli.
Gee..I just need a shoulder to cry on..! Cengengnya aku kini.... dan ringkih.
Dan tak bisa sering kulakukan itu pada Mbak Anis dan keluarga kecilnya. Kesakitan ini harus kubawa pergi sandiri. Terlalu takut terjebak dan mengambil keputusan ekstrem. Takut menyakiti, walau aku sudah amat tersakiti olehnya.
Dan kini di sudut restoran
fast food sebuah
Mal yang menjadi salah satu ikon di Bandung inilah tepian kami. Dan
cerita itu pun mengalirlah. Tak terbatasi oleh waktu yang bergulir
tajam. Sesekali, perlahan dan dengan gerakan yang sangat halus,
mengusap airmata yang menitik tak tertahan. Mungkin Usi melihatnya.
Hanya berpura-pura tak terlalu membahasnya. Dulu.... ketika aku sedang
mengalami hal yang berat, ditepikannya aku di kafe. Dan tumpahlah semua
perasaan itu. Kembali pulang dengan hati lapang.
"Jeng.. kalau sudah tahu itu kebiasaan buruk, harusnya bagaimana?."
"Yaa... diubah.. Ceu.."
"Ga harus saling menyiksa kan?"
"Hmmmm... mungkin aku yang sedang tak ingin mengerti. Atau mungkin aku ingin sendiri."
Percakapan
itu terjadi ketika awal perjumpaan kami. Aku membuka cerita dengan
pedih yang kurasakan. Hanya untuk melegakan perasaanku saja. Karena
perjalanan itu telah 'usai'. Menurutku. Dalam semua yang kutuliskan di
lembar kertas maya. Aku ingin sendiri....
Tepian
waktu yang mengalir, membuatku tak bisa berkonsentrasi di persiapan
mimpiku ini. Aku ingin berada di sini. Di hatiku sendiri.
Menghabiskan waktu untuk berkomunikasi. Mungkin aneh untuk sebagian
orang yang tak mengerti, namun itulah duniaku. Sisi terang untuk banyak
orang yang kukenal, dan sisi gelap kesedihan itu milikku sendiri. Aku
tak ingin terlihat rapuh. Aku tak ingin ini menjadi konsumsi
orang-orang yang bahkan tak peduli. Sesederhana itulah aku.
Melihat
hasil yang masih belum bisa mencapai target. Aku panik luar biasa.
Membaca cerita perjalanan waktu ketika menyusun langkah, hampir
menyurutkan niatku mewujudkan mimpi ini. PhD
Scholarship yang ingin
kuraih. Pasrah tertunduk dalam do'a khusyuk yang panjang, menggulirkan
airmata tak terbendung.
Yaa... Rabb,
biarkanlah waktu menjawab langkah yang harus kutempuh. Berikanlah saja
aku kekuatan. Dekatkanlah jika ini memang menjadi kebaikan, dan
berikanlah (lagi) kekuatan hati untuk menerima apa yang menjadi
keputusanMu..
Tak sengaja bertemu Nana di sini,
karena aku sudah membatalkan janji itu dengannya. Aku tak ingin
kegundahan ini, buatnya tak mampu berkata, walau jujur... aku ingin
bicara. Dan mungkin... itulah jalanku.. Jawaban dariNya, agar aku tak
terjebak pada kepedihan yang terlalu panjang.
"
Is that worthed when I loss everything to chase my dream?" mataku berkaca ketika Nana menanyakan kelanjutan apa yang kurasakan. "
Should I stop?"
"
No.. dear, I thought that your dream?"
"
Yeeaa... sure."
Ia memeluk menguatkanku. Tak mampu berkata-kata. Nana memang pendiam. Mungkin sebenarnya ia pun memiliki banyak permasalahan, yang tak mampu diungkapkannya pada kami. Kulihat sekilas airmatanya. Maka dengan susah payah, aku kendalikan perasaan hati yang teraduk-aduk.
"Aaah... sudahlah.. Say, aku akan baik-baik saja. Gini niiihh..., makanya aku ga ingin kita jalan-jalan. Karena aku pasti ingin menangis di bahumu. Yuuuk.. aku pulang duluan yaa..."
Aku pamit meninggalkannya tetap di kampus. Pergi menghampiri Dy, sahabatku yang telah menunggu di lobi. Aku memang ingin tepikan waktu ini bersamanya dulu. Menenangkan hati yang terkeping. Dan.. hhmmhhh..inipun, harus dengan pengendalian diri yang 'super'. Karena aku selalu ingin memeluknya. Menangis di bahunya kini. Meringkuk dalam pelukannya, dan bisa mendengarkan detak jantungnya, adalah kenyamanan yang tak bisa terungkap dengan kata-kata. Damai dan menenangkan. Bersamanya, aku selalu merasa amat disayangi dan dicintai. Perasaan yang tak pernah kumiliki sebelumnya.
Membayangkan
kesendirian itu teramat menakutkanku. Aku pernah tenggelam sendiri.
Melepaskan mimpi. Merangkainya kembali menjadi potongan-potongan gambar
kolase baru yang lebih berwarna.
Maka... panggil aku dengan Vie.. janjiku manakala semua pulih.
Airmata
yang kembali mengalir dan mengulang cerita yang pernah terjadi dulu.
Telah kulepas cinta itu... dan benar-benar 'lumpuh' otakku karenanya.
Tak ingin mengingatnya. Membuka lembar baru saja. Meninggalkan El
dengan kekacauan fikirannya sendiri. Terus melangkah, meretas mimpi. []
--------------------------------
deJa Vu
Sebenarnya
aku bukan orang yang mudah bergaul, walau terlihat cepat berteman
dengan banyak orang. Itu karena aku pernah sangat tersakiti karena
persahabatan. Dan kemudian selalu mengatakan "
I don't believe any friendship or relationship".
Aku tahu mendendam bukan hal yang patut dilakukan, tapi kesakitan itu
mengalahkan norma yang lazim di masyarakat. Aku memaafkannya. Tapi
tidak pernah bisa melupakan apa yang dilakukannya padaku. Berulangkali
ia meminta maaf untuk kesalahan yang dilakukannya, namun kemudian aku
meninggalkan Solo dan Surabaya tanpa jejak. Memutuskan semua kontak.
Dan melupakan bahwa aku adalah bagian keluarga besar alumni SMA itu.
Huuumffft... keras kepala dan pendendam.
"Vie.. maafkan aku.."
"Mar..
yang kau lakukan itu di luar batas... Lo ga seharusnya lakukan itu.
Memfitnah gue.. " Aku beranjak pergi meninggalkan Mary yang masih
terisak tangis penyesalan. Hatiku beku. Tak pedulikannya
"Viiee... maafkan aku dulu."
"Aku
masih bisa memaafkan jika yang melakukan ini Yani atau Nia.. Mar.
Tapi.. kalau dirimu?
Gosh... gue sudah anggap lo keluarga gue. Lo nusuk
gue dari belakang."
Aku meninggalkan potongan kejadian
masa lalu itu dalam album yang tak ingin kukenang. Belasan tahun
berlalu. Lima tahun yang lalu, suaminya pernah menghubungiku terlebih
dahulu. Mary selalu ketakutan menyapaku. Pernah ia mencoba dan kuterima telfonnya.. dan mengobrol
kaku. Setelah itu.. tak pernah lagi kuangkat telfonnya. Ketika ke
Yogya, pasti disempatkannya mampir sowan pada Ibu. Tapi... semua tak
mengubah perasaanku walau sedikit. Aku sangat amat terluka, karena fitnahannya teramat keji. Menurutku.
That's my bad!
Ini
pun terulang kembali. Kesakitan itu. Ketika dilakukan El untuk yang
kedua kalinya. Kedua kali. karena sebelum ini, aku pernah diusirnya. Dihinanya. Memperlakukan aku serendah-rendahnya. Bukan masalah harga diri saja yang terluka. Sebagai orang yang mengaku mencintaiku dengan segenap jiwa, harusnya ia mampu merengkuhku dalam komunikasi yang indah. Mengayomi aku.
Well.... lupakan... tidak! Tak kuizinkan hatiku untuk melupakan kesalahannya kali ini. Aku bukan barang, yang tak berjiwa. Hingga ia bebas pergi dan kembali semaunya. Tanpa kata 'maaf'?
Aku seringkali insomnia, setelah apa yang kualami. Maka jelang terlelap aku harus menggunakan
headset, memutarkan lagu. Vie dan Musik itu memang pasangan sejati. Hahaha.. itu julukan dari Mbak Anis dan Mas Pranoto, ketika melihat kebiasaanku. Dan aku selalu terhenti lama mendengarkan lagu "Lumpuhkan Aku-Geisha" menjelang tidur. Benar merasuk dalam alam bawah
sadarku. Kini yang kurasakan... aku kehilangan rasa itu. Setiap kulihat wajahnya, kini
tinggallah wajah teman biasa. Tanpa asa dan rasa manis yang pernah
kusematkan dulu.
Kegalauan yang diakibatkan El dalam
hidupku, yang tengah meretas mimpi menghadirkan rasa sakit yang luar
biasa. Memudarkan kembali kepercayaanku pada sosok pria dalam hidup.
Dulu.. aku pernah amat mencintainya. Jujur kuakui itu. Hanya.. pada
akhirnya, komunikasi kami selalu ada di kebuntuan. Kufikir, aku telah
mencintai pria yang tepat dengan kelembutan hati. Karena sejujurnya, hanya itu yang
kuinginkan dari seorang pria yang kucintai. Yaa.. kelembutan hati.
Pengalamanku tumbuh di keluarga yang hanya mengutamakan materi dan bukan
sentuhan kasih sayang, membuatku teramat merindukan itu. Karena yang
kuyakini, seharusnya segala sesuatu, bisa dikomunikasikan dengan baik
dengan kasih sayang.
That's the essence of communication.
Tapi... aku memang tak pernah mendapatkan itu dari El. Aku sering tak mengerti, kenapa ia tak mampu berkomunikasi dengan manis dan lembut padaku. Apa salahku sebenarnya? Tanya yang selalu terjawab dengan kebisuan. Aku tak ingin marah pada masa lalu yang mempertemukan aku dengannya. Jalani sajalah... Berdamai dengan masa lalu itu teramat indah. Maka seringkali kuredam gejolak hati yang ingin pergi. Berusaha memaafkan saja...
Tak
bisa kubayangkan.. kepedihan hati melepaskan cinta yang telah
kutautkan bertahun-tahun. Cinta yang berawal dari pandangan pertama.
Cinta pada sosok impian ideal remajaku dulu tentang sosok pria. Namun
kesakitan menuntunku pada sebuah pemahaman
"lebih baik dicintai, dari pada mencintai".
Mungkin itulah yang terbaik... fikirku. Dan itulah yang terjadi.
Semua tak pernah lagi sama. Tak mampu kuuraikan kesakitan-kesakitan
itu, karena jika bisa kau buka hatiku, bilur-bilur luka itu masih
berdarah. Bahkan sebagian mulai bernanah, tak pernah kering. Dan
ternyata... itu baru awalnya saja.
Tahun-tahun selanjutnya..
adalah penderitaan perasaan yang hanya mampu kupendam sendiri. Dan kini
mulai beranjak ke titik kulminasi. Titik jenuh. Aku ingin berlari....
Tapi... juga menuntunku pada jalan yang tak kumengerti. Aku banyak membuang waktu di dunia maya. Memiliki banyak teman.
Fake friends. Jujur... itu yang kurasakan. Ga ada ketulusan di hubungan yang mereka tautkan.
In
the end they always talk about sex. Just it.. and I don't really like
it much. Make me feel like a slut. Oh my God... what kind of insane
that I've done.. It's really not me.
Pertengahan
Maret ini, dan terjadi perubahan besar yang mungkin baru kusadari kini.
Perlahan dan pasti, aku terbawa dalam sebuah komunikasi yang cukup
intens dengannya. Membuang banyak sisi negatif yang kutaburkan sebagai
duri dalam hidupku sendiri. Perjalanan waktu yang cukup panjang untuk
menyadari kesalahanku. Kehadirannya memang terasa bagaikan kesempatan
kedua. Pernah kulihat wajah itu. Tatapan, senyum dan ketulusan itu.
Teramaaat lekat. Hanya kulupa... kapan dan di mana.
Aku hanya ingat..
senyuman, tatapan, dekapan serta ciumannya yang begitu mesra dan hangat.
Kufikir..
inilah Tangan Tuhan yang terulurkan bagiku, melalui dirinya. Seperti
apa yang pernah kubaca.. dalam novel yang kutemukan tiba-tiba. Dan
kutemukan lagi duniaku. Membaca dan menulis. Menepikan waktu dengan
cara yang lebih positif.
See.... always a reason behind something!
Pertemuan
yang instens ini, dimulai dengan hubungan kerja saja. Ada tawaran
untuknya. Pertemuan yang biasa awalnya. Formal. Tapi jujur... jika ia
tahu, itu kali kedua aku duduk dengan jarak yang teramat dekat.
Lompatan energi positif bercampur euphoria yang tiba-tiba kurasakan.
Awalnya terasa canggung dan kaku, karena kami hanya biasa berbincang
akrab di dunia maya. Dan kini, harus berbicara '
live'.
Gee.. tak bisakah ini.. natural? Desahku dalam hati.
Then.. like the answered prayer,
mengalirlah percakapan itu lepas tanpa jarak. Pertama kali, kusentuh
tangannya, untuk meyakinkannya. Semua akan baik-baik saja.
Hhhhmmfft... sentuhanku hanya sekilas. Segera kutarik tanganku. Karena
rasanya ada aliran energi lain yang ikut mengalir dalam nadiku.
Lompatan
waktu itu memang belum kuingat. Yang kutahu.. setelah kecelakaaan
motor banyak memori yang menghilang dari ingatanku. Banyak hal yang tak
tiba-tiba menghilang dalam ingatanku. Yaa.. selama aku masih ingat
jalan pulang ke rumah.. tak apalah.. hehehehe...
Hanya.. mengenai
Dy, selalu menjadi tanya tanpa henti. Karena bisa kuasakan kedekatan
itu, melebihi yang seharusnya, jauh sebelum kualami kini. Hhhmmhhhh...
biarlah waktu menjawabnya dalam hening.
"Bisa ga... sedikit ga ribet? Ga usah berdebat panjang kan?"
"Aiiihh...
Dy, kalau ga ribet bukan diriku kalii... " Aku tersenyum lebar,
mendengar keluhannya. Aku memang seringkali menanyakan hal yang
sebenarnya sudah kuketahui dan dengar jelas. Ehhmm.. memastikan saja.
Merepotkan memang. Tapi buatku memastikan ketulusan itu menjadi
'penting' dan harus!
Maafkan untuk itu.....Dy, bisikku dalam hati, menjawab keraguanku sendiri.
Perjalanan
waktu yang membawa kami di Mal yang bersebelahan dengan kampus ini,
bermula dari keinginanku membaca buku. Rasa sakit yang teramat menekan
perutku, mulai sangat menggangguku. Mencengkeram lambungku. Hingga
akhinya aku sesekali meringis, menahan sakit. Hal itu memang tak luput
dari perhatiannya. Aaahh... andai saja.... ssshhh, tak kulanjutkan
fikiranku ini.
"Kenapa... Vie?"
"Perutku kram.."
"Kita
duduk aja.. atuuh." Terlihat jelas kekhawatiran dirinya. Wajah itu
memang mengguratkan rasa sayang yang nampak tak berbatas. Rasa
syukur... tak pernah terhenti mengalir karena percakapan dan pemahaman
kami sudah ada di zona yang ternyaman. Buat kami berdua. Sahabat hati.
Sahabat sejati.
Pandangan nanar selalu kulemparkan jauh ke pemandangan di depanku. Hanya bisa memalingkan wajahku sejenak darinya. Aku tak ingin begitu 'terbaca' dalam kegundahan. Tapi.. rasanya, ia selalu tahu itu. Karena setiap selesai melakukan itu, aku melihatnya sedang menatapku dalam. Kulihat kekhawatiran bergayut di sana. Nyata terlihat.
"Ada apa?" Pertanyaan yang sering diungkapnya.
Sambil mengusap pahanya, dan punggungnya, kuyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Walau seringkali kuyakin Dy tak mudah percaya dengan apa yang kukatakan.
Hhhhmmmmhh... maafkan aku.. Sayang. (bolehkah kupanggil kau dengan itu..??) Tak ingin terlalu merepotkanmu. Ditemanimu melepaskan kegelisahan.. adalah anugrah yang selalu kusyukuri tanpa henti.
Di setiap usapan yang kulakukan... aku harus menahan banyak perasaan yang membaur seperti warna pelangi di lazuardi. Bagai semburat merah di sunset Pantai Senggigi yang ingin disaksikannya bersamaku.
Kita pasti bisa pergi ke sana yaa... Dy?
Maafkan Dy..
Karena selalu ingin kupanggilmu 'Sayang'.. untuk melukiskan kedekatan perasaanku padamu. Yang tak perlu kau khawatirkan adalah ini hanya ekspresiku saja. Ingin memanggilmu demikian. Karena kutahu, sudah kau miliki mimpi dan kehidupanmu sendiri. Dan jika kukatakan "I love you.." pun.. maknanya takkan sesempit apa yang menjadi kelaziman pemahaman yang ada di masyarakat.
Harus kujelaskan ini... karena harus. tak pernah mampu kuhindari perasaan 'dekat' padamu. Percaya. Aku sudah mengenalmu jauh sebelum masamu. Mungkin. Samsara itu ada.
Maka.. sahabat hatiku,, tetaplah.. berjalanlah pada hidupmu..
Hmmmhhm... desah nafas panjang yang selalu kulakukan, ketika menghabiskan waktu dengannya. Tetap juga membuatnya tetap selalu bertanya hingga kini, "Kenapa..".."Ada apa... Vie."
Dan
banyak tanya lagi yang intinya selalu mengkhawatirkan diriku. Mungkin,
tak pernah ia tahu, bahwa bersamanya pengalaman baru itu mengalirlah.
Aku tak pernah merasa disayangi, diperhatikan dan dicintai sebesar ini.
Thanks.. God, untuk pertemuan kembali dengannya. Kesempatan kedua yang Kau berikan ini.
Lompatan
waktu itu langsung kembali di dua tahun yang lalu. Hari ini..., aku
memang tengah disibukkan memberikan quiz bagi mahasiswa yang sedang
menyelesaikan tugas akhinya. Pemantapan karakter dan pengembangan yang
kuajarkan, harus dinilai. Kelas ini. Hhhmmmhh.... Di tempat inilah, aku
dan Dy bertemu di kesempatan kedua. Baru kini kufahami, itu merujuk
pada sebuah kesempatan kembali.
deJa Vu....
"Aaaah..
ketemu lagi.." sapa hampir seluruh kelas padaku. Komunikasi yang
pernah terjalin di sini memang sangat akrab. Aku mudah berteman dengan
siapa saja.
Sambil melemparkan pandangan ke seluruh kelas,
mengingat pertemuan pertama dengan kelas ini. Hmmmmh.. wajah itu.
Terhenti di seraut wajah yang mengingatkanku pada masa laluku. Sorot
mata yang teramat kukenal. Tapi... entah di mana. Berdesir darahku.
Kutarik nafas pelahan dan berusaha menentramkan jantung yang tak
menentu. Aiiih...
Kulihat ia duduk di bangku kedua, yang
berjarak hanya sekitar 50m saja dariku. Hhhmmhh... wajahnya masih
tergurat kelelahan. Dan baju kantornya, sebenarnya cukup rapih
siihh..... Tapi.. rasanya, ia bisa tampil lebih '
chick' versi usianya. Ssshhhh... sudahlah Vie.. nanti sajalah jika kau sudah akrab benar dengannya.
Come on..Vie! Konsentrasi...
Awal pertemuan kami terjadi satu semester sebelum ini.
"
What's up... guys..?"
"......"
"......"
"
Well, I mean... how are you... guys?. Ingat yaa...
I said 'guys' not 'gays'."
Menyapa dengan candaan yang menginginkan cairnya siatuasi kelas menjadi
lebih natural. Ini pertemuan pertama yang selalu membutuhkan waktu
mengenali satu sama lain.
"
I'm fine...." jawaban itu serentak menyeruak membelah keheningan yang kumulai dengan senyuman hangat.
"Hmmmhhmm... harusnya kalian sudah memulai dengan cara yang 'berbeda' jika menggunakan bahasa Inggris yaa...?
not only... how are you? then answered by 'I'm fine thank you.. and you..?" motivasiku mengawali materi.
Aku
melemparkan pandangan ke seluruh kelas. Dan terhenti pada seraut
wajah. Tampan dan
innocence. Jaraknya masih 100 m dariku. Mengamatinya
dari depan kelas. Kepalaku tiba-tiba pening. Wajah itu.... wajah yang
terasa tak asing bagiku. Degup jantungku tak menentu. Mencoba
mengingat di mana pernah bertemu dengannya.
Hhhhmmmfft.... gee..paaraah, ingatanku '
blank'
di saat yang tak tepat. Aku berkeluh kesah dalam hati, sambil berusaha
tetap profesional di sini. Menyelesaikan tugas sesempuna mungkin. 90
menit ini terasa lama... karena mau tak mau aku harus bisa melibatkan
semua dalam tahapan-tahapan yang telah kusiapkan.
Pertemuan-pertemuan berikutnya..
Komunikasi
yang terjalin cukup akrab pun terbangun dengan keterbukaan yang
kuciptakan. Aku memang tak pernah 'jaim' di mana pun. Aku adalah aku.
Bagaikan buku yang terbuka, yang bisa tebaca dengan jelas. Namun,
tetap kumiliki satu ruang gelap dalam hatiku. Ruang rahasia tempat
kuberlari dari kepenatan jiwa. Menyandarkan lelah yang mendera.
Sepanjang
semester ini, banyak kuhabiskan waktu mengamatinya. Namanya Fidy. Tapi
lebih nyaman buatku untuk memanggilnya dengan Dy. Dan kini dia sedang
ada di depan kelas, gilirannya mencoba presentasi. Ehhmm... kuamati
gayanya. Pemalu dengan senyumnya yang khas. Teramat manis.
Ssshh...
yang harus kau evaluasi itu, adalah materinya.. Vie, bukan subjeknya..
otakku berontak mengoreksi fikiranku sendiri. Hhahaha.. keajaiban! Dan
kujadikan itu titik.
Tapi.. semua kembali buyar
kembali. Begitu aku harus berhadapan dengannya lagi. Hhhmmhh... hela
nafas yang panjang, seolah mampu melepas semua kepenatan yang akan
kujalani (lagi). Baiklah... aku akan profesional dan tak ingin
mencampur-adukkan perasaan yang berlompatan dari hatiku. Aku akan berusaha berjalan dan bersikap normal. Menenangkan hati yang ingin mengatakan banyak hal manis padanya. Bayangan kenangan lama, yang kabur melintasi perasaan yang merasa mencintainya sepenuh hati.
Sssssttt.... Vie,
you must stop it.. right now! kay? []
----------------------
TALK AND LIFE
Ternyata itu hanya masalah selera roti kami yang berbeda.. hehehe..
Dy memilih roti "bicara" dan aku memilih roti "hidup". Yaa... jika digabungkan memang perpaduan yang menarik bukan?
Kita akan tetap hidup jika mau terus berbicara (baca: komunikasi)...
Jadi benarlah..
always a reason behind something happened. Tak ada kebetulan itu.
Paagiii...
Jika
kau ingin menjalani hari dengan semangat, maka tak berhentilah membaca
dan menulis. Hatimu akan mengalir bersama waktu. Hidupmu akan terpandu
oleh benderang pelitanya.
Pagi itu asa dan harapan. Maka jika tetap bisa kau rasakan semangat pagi, sepanjang hari tetap akan indah. Mataku terbuka dengan malas, menyambut sinar matahari yang menerobos korden di kamarku. Arrggh... haruskah aku pergi? Tanyaku gamang. Tiba-tiba langsung meloncat dari tempat tidur, karena aku ingat janji dengannya. Eehhmm... aku ga boleh berbaring sepanjang hari, membuang satu kesempatan bertemu dengannya.
Hari ini kujalani dengan bahagia saja. Karena di setiap mataku terbuka di hari baru, terlantunkan syukur
"Terimakasih yaa Rabb, atas sebuah kesempatan (lagi) menjalani nafasku bersamanya..."
Fikiran
yang menerawang jauh, melintasi batas ruang dan waktu, mengantarku
padanya. Sahabat yang telah menjabat hatiku dengan sangan erat. Tanpa
jeda. Hampir tak bisa kupisahkan waktu tanpa kehadirannya. Baik di
dunia maya, nyata atau mimpi. Perjalanan waktu telah menepi bersamanya.
deJa
vu...
Itu yang kurasakan ketika menatap matanya 3 tahun yang lalu.
Merasa pernah mengenalnya. Sangat dekat dengannya. Apakah di masa itu
memang aku menjalin persahabatan yang menembus ruang hati? Entahlah....
namun komunikasi kian terjalin baik selama hampir 5 bulan ini, bagaikan
hujan sehari yang menghapus kemarau 1 tahun. Mengalir dengan begitu
indah. Bertahap, tanpa memaksakan diri menjalani fase-fasenya.
Kunikmati benar iramanya. Indah...
"Eeeh... lo belum pernah gue cium yaa..," celetukku ketika benar-benar merasa gemas dengan tingkahnya.
"Viee....!" .
Wajahnya
memerah bagaikan apel Ana kesukaanku, karena Dy memang pemalu.
Sifatnya sangat berbeda denganku. Bagaikan langit dan bumi. Tapi
perpaduan persahabatan yang terasa indah, bagaikan kue lapis hijau dan
abu-abu, seperti warna jaket favoritnya. Manis.
Aku pribadi yang
extrovert, ceplas-ceplos,
talk active,
ga jaim dan apa adanya. Seringkali siapa pun yang sedang bersamaku,
terjebak oleh malu. Hahahahaha.... akhirnya mereka pura-pura ga kenal
aku.
Yaa... itulah aku. Yang selalu terjebak rasa merindukannya.
Dy adalah pribadi yang
introvert,
pemalu, pendiam, penyayang dan penyabar.. Dan sebenarnya, jujur... aku
tak begitu mengertinya, walau belajar memahaminya, karena di banyak
perlintasan waktu yang kulalui Dy jarang bercerita. Yaa... sudahlah..
pendengar yang baik. Tapi.. bisakah kau mulai membuka dirimu.. Dy, satu
saat nanti. Harapan ini kutiupkan di semilir angin pagi, di antara
embun yang ada di permukaan daun.
Aku tahu, Dy
punya kehidupan sendiri. Demikian pula denganku. Walaupun situasi kami
sangat berbeda. Aku seperti akan beranjak pada fase kehidupan lain,
sendiri lagi.... Perjalanan yang sangat ingin kuakhiri saja. Karena selalu
terluka.
Sedangkan kehidupan Dy, adalah fase yang mungkin amat
membahagiakan dirinya. Meretas mimpi-mimpi yang terbukukan rapi,
menunggu realitasnya. Kami memang berada di banyak perbedaan. Dan
kalimat yang dituliskannya untukku, memang membuatku terhenyak.
Jujur.... aku amat bersyukur bertemu dengannya, ketika terpuruk dengan
teman-teman 'palsu'.
Aku sangat belajar darinya.
Kesabaran, ketulusan dan aaahh... rasanya tak mungkin kusebutkan satu
persatu, karena teramat banyak. Dan kini.. perjalanan waktuku
seringkali menepi bersamanya. Dengan cinta. Karena buatku, mendampingi
seorang sahabat, haruslah dengan cinta. Cinta dengan kesediaan melihat
Dy bahagia dengan hidupnya. Yaa.. itulah aku dan cintaku. Sederhana
saja. Hanya ketulusan yang selalu aku harapkan dari setiap orang yang mengenalku.
Real communication.. not the fake one..!
Perjalanan itu mengalirlah....
"Aku pulang yaaa.... Vie..," pamitnya malam itu.
"Yaa...
take care." lepasku sambil mendekapnya. Timbul rasa isengku untuk menggodanya.
"Eeeh..... Dy, kudengar degup jantungmu berbicara padaku."
"Apa..?"
"Begini... detak yang kudengar.. berbunyi "
love you... love you.... love you..." gitu...."
Aku
langsung terduduk dan kemudian tertelungkup menahan tawa yang teramat
lepas, sambil memegang perutku. Terpingkal geli. Itu karena kulihat
ekspresi wajahnya yang luuuccuuuu....
Aaaiiihhh... Dy, betapa ingin aku menciummu nyata juga,
fikiranku pun menjadi bergulir semakin 'tak' beraturan. Sentuhan yang
terjadi antara kami, membuatku mati rasa. Degup jantungnya jelas
terdengar indah ketika bersandar di dadanya. Sulit memang buatku
mengakhiri malam itu. Membiarkannya pulang. Jika diizinkan, ingin
kuhabiskan malam ini dengannya.
Dan, ia pun ikut terduduk
dalam diam. Pun juga menahan tawanya. Mungkin, selama ini tak pernah
dikenalnya wanita "selugas" diriku. Hhhmmmmmmhh.... aku memang terlalu
banyak berinteraksi dengan budaya barat yang membiasakan diri untuk
"terbuka".
Open minded... that's me..
"...."
"...."
"Aaaahh... maaaf atuuh, Dy." Aku pun akhirnya mampu menghentikan tawaku.
"......"
"......"
Hening cukup lama menghentikan komunikasi kami.
"Dirimu ada-ada saja.. aaahh... Vie. Malu aku jadinya..." Wajahnya masih tersipu.
"......."
"Itu mah bisa-bisanya aku kali... Dy. Tapi serius daa... aku memang seperti mendengar itu." Aku masih menggodanya.
Dan itu kulakukan, untuk bisa sebentar menahannya di sini. Menemaniku.
Maaffkan... aku yaa.. Dy, jika aku masih ingin menghabiskan malam bersamamu.
Dan waktu itu memang berjalan seperti yang kami inginkan. Percakapan
yang semakin hangat terus menemani hingga ujung pagi menjelang.
"Aku pulang yaa..."
"Okay..." Melepasnya kini dengan perasaan bahagia. "makasiihhh... untuk berkenan menemani malam ini."
"Yaa..."
Saling belajar mengerti. Mendekap erat karena enggan waktu beranjak. Mengecupnya ringan di pipi. Dan kembali mendekapnya.
Hati-hati di jalan... sahabatku. Kukatakan 2x karena ada hatiku di sana.
Kalimat
ini pernah kuucapkan padanya. Dulu.. dan ia tertawa. Mungkin
tersipu. 'ntahlah... tak kulihat wajahnya karena hanya melalui pesan
singkat.
@my_room
Begitu
pesan itu kuterima, barulah aku bisa tertidur. Kalimat yang memastikan
Dy baik-baik saja. Telah tiba di rumahnya dengan selamat. Tak pernah
kukatakan padanya, betapa aku selalu mengkhawatirkannya. Hanya terbiasa
berharap, ia mau mengerti. Yaa... agar bisa melegakan hatiku.
Bagaimana pun... telah kujabat hatinya erat. Teramat erat. Hingga
seringkali, kami terhubung dengan kontak batin saja.
Novel
yang kubaca kini, memang kujadikan judul hatiku. Tatapanku menanar.
Melemparkannya ke luar jendela bis kota yang mengantarkanku ke tempat
kerjaku. Aku sedang malas siaran. Maka, tadi pagi kukatakan pada Mbak
Anis, minta izin. Baiklah... Vie,
take your time.
Two Lovely Hearts....
Perjalanan
cinta dua anak manusia, yang menembus batas perbedaan. Dengan setting
Aussie. Mahasiswa penerima Scholarship. Cerita yang teramat manis...
walau endingnya tak (harus) manis.
Well....memang
kebahagiaan itu tak identik dengan perjalanan indah. Bisa berjalan
berdampingan dan saling menemani pun sudah menjadi tautan yang indah
kan? Ketulusan itulah kesejatian dari kebahagiaan.
Proposalku belum mengerucut. Aarrrgghh... ingin menyelesaikannya. Selalu ada yang menghalangiku. Perjuangan yang tak mudah, tapi pasti ada ujungnya. Seperti pendakian gunung yang sering kulakukan. Semakin menantang jika banyak rintangannya kan? Maka, Bismilah...
Yaa Rabb, beri aku kekuatan untuk menyelesaikan semua perjuangan ini.... tinggal selangkah lagi.
Maka tulisan yang ada di novel menuntunku pada airmata:
"Angin, terbangkan aku ke langit, sembunyikan aku dalam pelukan awan. Hilangkan aku dalam ketiadaan. Aku lelah....."
Jujur..
Aku
hanya punya Dy. Walau tak pernah kukatakan itu padanya. Rasanya
aneh. Karena aku bisa merasa sangat dekat padanya dalam waktu yang
sesingkat ini. Ia pun sering mengungkapkan itu padaku. Memang waktu
bukan patokan kedekatan kan?
Tapi selama perjalananku meretas
mimpi yang sangat tinggi ini. Sejak kumulai prosesnya.. Dy ada.
Memberikan kekuatan, pertimbangan keputusan.. dan.. kenyamanan perasaan
yang seringkali terombang-ambing oleh badai permasalahan.
Kenapa... Dy??? Aaahh... biarkanlah... jawabku,
biarkan waktu menjawabnya.
Kini... Proposal yang akan menuntunku pada sebuah impian telah selesai, bersamanya. Ditemaninya. Tak terhitung airmata yang mengiringi perjalanan panjang ini. Aku bukan wanita yang mudah menangis di depan siapa pun. Itu janji yang sudah kulepaskan. Aku belajar jujur saja menjalani hidup. Maka kini... aku bagai buku yang amat terbaca oleh Dy. Hanya bisa mengucap "makasiiihh..." walau itu takkan pernah cukup untuk semua pengorbanannya.
Meretas
mimpi ini memang terasa sangat ringan, karenanya. Selalu ada untukku.
Hanya menemaniku, mengetik atau menjadi pendengar yang teramat baik
untuk semua keluh kesahku. Hingga jika kini... ia telah terlelap di
pangkuanku. Kunikmati perjalanan waktu ini. Menepikannya pada batasan
cintaku.
Mengusap kepala dan rambutnya lembut. Mengusap dan mengecup pipinya perlahan.
Ehhhhmmm... bolehkah kukecup bibirmu... Dy? Sebentar saja... untuk melepas kerinduanku ini.
Fikiranku menerawang jauh, melintasi waktu. Kutatap wajahnya. Damai pun juga menyelinap di hatiku.
Aku pernah memilikinya.... menjalani kehidupan cinta dengan kasih yang tak terbatas dengannya.... entah di masa yang mana....
Betapa perjalanan 4 hari 4 malam di acara "
night camp"
ini membuktikannya. Nyata, kedekatan itupun membukakan ruang-ruang
rindu dalam hati kami. Bunga-bunga yang terus bermekaran di taman hati
menebarkan aroma yang sangat harum. Jika malam menjelang, pendar cahaya
kunang-kunang menuntun kami di kegelapan perasaan, menjadikannya terang
benderang.
You have me.... You've already had me... kubisikkan
itu, ketika ia terlelap. Hhmmmhh... masih jam 9, aku tak pernah tidur
secepat ini. Aku memang sering baru terlelap di tengah malam. Berbeda
dengannya. Hidupnya lebih teratur dan sehat. Sejurus kemudian aku
mengecupnya lembut. Menyelimutinya, meninggalkannya sesaat untuk mandi.
Badanku
yang lengket, perlahan bergeliat ringan ketika air dingin mengguyur.
Hhhhmmm... tak ada yang bisa menenangkanku melebihi air dingin.
Memudarkan semua kelelahan fisik dan hati bersama aliran air yang akan mengaktifkan ujung-ujung syaraf. Kembali tenang, perasaan yang sama jika kuteguk secangkir kopi. Membalurkan minyak kayu putih membuat hangat badanku, mencampurkannya dengan aroma parfumku yang akan menenangkanku dengan perasaan 'cantik'. Jiiiaaahh... hahahaha... Ritual yang cukup panjang dan melelahkan...Buat orang lain mungkin.
Menjelang tidur..
Tapi tidak denganku.
Biasanya..
setelah ritual mandi dan pernak-perniknya, selanjutnya aku akan mengecek email yang masuk. Pekerjaanku memang banyak
bergantung pada komunikasi di sini. Berselancar di dunia maya, memang selalu menjadi bagian di keseharianku, semenjak aku 'terpaksa' tersandera dalam kebisuan di kebuntuan komunikasi dengan dunia sekitarku. Menulis diary di lembaran maya, akan membuatku tetap 'waras'. karena bisa mengalirkan kegundahan yang selalu menyesakkan dada.
Tapi malam ini tak ingin kulakukan
bagian ritual itu. Karena di sampingku.. ada Dy. Kejutan yang luar biasa kusyukuri. Memandangi wajahnya sedekat ini, jujur membuatku tak mampu berkonsentrasi. Degup jantung yang mulai tak beraturan, eehhhhmmmmhm... Hela nafas yang panjang kulepaskan, untuk menenangkanku.
Kulihatnya masih terlelap. Lebih baik aku membaca saja. Rambutku pun masih
basah.. Secangkir kopi panas menemaniku, membaca buku. Membaringkan
diri di sampingnya. Hhhmmm... menatap dulu sejenak wajahnya yang
damai. Lalu membenahi letak selimutnya. Karena tadi kulihat ia
mengubah posisi tidurnya. Sangat perlahan saja, semua gerakan yang
kulakukan. Aku tak ingin mengganggunya lelapnya. Dan takkan kuizinkan
seekor nyamuk pun melakukannya.
Ada tiga novel yang sedang kubaca.
Pillow Talk, Two Lovely Hearts dan Infamous.
Jika kau percaya... maka memang benar tak ada kebetulan itu. Semua
cerita yang tersaji di sini bagaikan perjalanan hidupku. Yang sudah
kujalani ataupun yang akan kujalani. Perlahan... tapi pasti...
pintu-pintu itu pun terbuka. Akhirnya, ketika aku memperhatikan wajahnya lagi, tak mampu kubendung keinginanku melakukan hal yang amat kusuka. Mewakili perasaanku.
Kubisikkan "
I love you..." di telinganya, pelan dan lembut, dalam nada do. Lalu, mengecup pipinya.
Matanya terbuka... "Hmmmm.. ada apa??"
"Gaa..
I love you... tidur sajalah lagi.." Aku mengusap pipinya.. Perlahan... matanya menutup kembali, sambil memelukku.....
Tepian
waktu itu... teramat membekas dalam ingatanku. Selalu bisa kulihat
wajah dan senyumnya, dimanapun aku melemparkan pandangan. Bahkan jika
aku melepas tangis dalam gelap, kulihat ia mengulurkan tangan,
menghiburku. Sungguh teramat manis.. semua yang terjadi ini. Jujur..
belum pernah aku mengalami kejadian yang teramat indah dan manis
sebelumnya. Belum pernah aku merasa teramat disayang dan dijaga seperti
yang Dy lakukan.
Kenapa..?? tanya yang terjawab di hening waktu.
Dan waktu... menepilah...
Pintu
lain telah terbuka buat aku dan Dy. Tak pernah disadarinya. Maknanya
dalam hidupku lebih dari apa yang kujalani dengan Usi dan Nana.
Pastinya, karena sahabat-sahabatku itu tak bisa menjabat erat hatiku,
seperti yang dilakukan Dy. Mungkin karena mereka pun telah sangat
terikat dengan kehidupan yang mereka jalani sendiri.
Dan,
sebenarnya Dy pun sudah memiliki kehidupan sendiri juga. Entah
kenapa..... Ia selalu ada buatku. Tetap ada di sini, menemani
langkahku meretaskan mimpiku. Menjagaku ketika mimpi-mimpi buruk itu
hadir. Atau bahkan meminjamkan bahu dan terus menggenggam tanganku agar
tak limbung. Arti hadirnya.... Melebihi semua kumpulan mutiara,
permata dan mutu manikam yang ada di muka bumi ini.
Hingga kini takkan pernah cukup semua untaian kata yang terangkaikan dalam kalimat untuk mengungkap rasa terimakasih, untuk semua waktu yang berkenan terbagi untukku.
Walau ingin tahu... hampir tak pernah kutahu jawaban dari "Mengapa...?? Kenapa"
Selalu terjawab hening.. dalam hari di siang atau malamku.
Namun.. biarkanlah saja.
That's the Talk 'n Life...
Dalam hitungan malam yang singkat itu... banyak cerita yang tertulis dengan sangat indah dan teramat manis..
Mungkin
banyak tanya yang kuhadirkan. Kufikir... apakah (hanya) aku yang
merindukan semua yang telah terjadi? Kulemparkan tanya itu sepanjang
perjalanan pulang membelah malam sendiri. Dan dijawab dingin oleh angin
malam. Jika kudapatkan jawaban itu, maka ingin kudekap dirinya teramat
erat, seerat perasaan yang pernah kumiliki dulu padanya. Di
kehidupanku yang lain. Dan tak akan kulepaskan lagi.[]
--------------------------
EPILOG
Dalam
hidupku, aku hanya ingin kesederhanaan. Itu yang selalu ingin
kubagikan pada orang-orang yang mengenalku. Mencoba mensyukuri dengan
ketulusan. Merasa '
cukup' tanpa ingin '
lebih'.
Tetap menggantungkan impian pada Bintang di langit, namun tetap menjejakkannya ke bumi.
Selalu instropeksi dan tidak menghakimi.
Mimpiku tinggal menunggu di ujung tepian waktu....
Perjuangan
7 bulan, akhirnya selesai dengan sempurna.. Dan selalu ditemani Dy.
Perjalanan panjang ke Jakarta pun memang menjadi perjalanan yang
berbeda. Kurasakan benar kekhawatirannya. Karena kutahu.. Dy memang
amat menjagaku. Mungkin lebih dari ia menjaga dirinya sendiri..
Geer.. hahaha.. ✿♥‿♥✿
Proses
meretaskannya yang teramat kunikmati. Tepian-tepian waktu itulah
kesejatian dari semua perjalanan ini. Jatuh bangun menjalani hidup
memang hakiki... Perjalananku di ujung kesendirian, memang terwarnai
oleh tangis yang banyak tertahan. Aku tak ingin terlihat terlalu rapuh dan
merepotkan. Maka jika pun ada, kujadikan itu do'a di tepian gelap dini
hari.. kala bersimpuh padaNya. Hidupku, matiku... semua memang ada di
tanganNya.
Dan... Dy,
Kau membuat
semuanya terasa mudah. Kau tak mendesakku untuk langsung percaya--kau
menunggu. kau tak berjanji akan membuat luka di hatiku benar-bena
sembuh, tapi kau bersedia menangis dan merasakan sakitnya bersamaku.
Tak perduli sebanyak apa aku menyangkal arti dirimu, kau tetap di sini
bersamaku.
Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu.
Aku tak bisa membayangkan hari-hari tanpa senyummu.
Bagaimanakah rasanya hidup tanpa suara tawamu?
Aku tak tahu. Aku tak ingin tahu.
Jadi, beri aku sedikit waktu.
Aku akan berusaha semampuku sampai bisa mencintaimu sebesar kau mencintaiku.
Sedikit waktu lagi sampai aku layak mencintaimu..... (@The Pilot's Woman)
Novel-novel
yang kupinjam dari Bapusipda, tempatku menenangkan diri seringkali
menghadirkan kejutan-kejutan hidup yang amat tak terduga. Jika kau belum
percaya bahwa selalu ada alasan atas sebuah kejadian. Belajar percayalah... karena aku
telah banyak mengalaminya.
Ketika kubutuhkan jawaban... kutemukan "
The Answered Prayer" yang menguatkan hatiku.
Saat kurasakan cinta.. kubaca "
Pillow Talk" dan menuntun kejadian-kejadian indah tak terlupakan..
Di perjuangan kuretaskan mimpi... kudapati "
Two Lovely Hearts" sebagai penerang.
Pada ketidakpercayaan diri... kudalami "
Infamous" untuk mengingatkan makna persahabatan..
Dan kini...
Dalam "
The Pilot's Woman" kupelajari perjuangan kekuatan ketulusan cinta yang menembus batasan.
Yang kemudian menuntunku dalam "
Samsara".
Saat takdir menghampiri, mampukah manusia menghindari Samsara?
Samsara
adalah lingkaran kehidupan yang berkesinambungan dan tidak
terputuskan. Tiada awal. Tiada Akhir. Takdir, hidup, mati, dan jodoh
adalah... SAMSARA.
Tumpukan buku dan novel
yang selama ini teronggok, seolah tak berjiwa.. semua mulai mengajakku
berbincang. Menjelaskan bahwa aku tak pernah sendiri menjalani hidup.
Persis seperti apa yang dituliskan Dy padaku:
Jangan pernah berfikir bahwa kau sendiri...
Karena aku (slalu) ada untukmu.
Datanglah padaku di saat kau merasa kesepian..
Aku ada... ada untuk menemanimu,
Karena bahagiaku (bukan) saat memilikimu...
Tapi saat aku bisa melihat Senyum dan Tawa bahagiamu... #tulus
Menitikkan
tangis ketika melepas malam (baca: kegelisahan) memang hampir selalu
kulakukan. Aku memang takut sendiri... karena itu yang seringkali
kurasakan.
Dan '
rasa' yang telah hilang dalam hidupku, mengantarkanku pada '
titik' tanpa '
koma'.
Namun... '
Samsara' kehidupan memang tak akan terputuskan.
Lembar baru yang menantiku untuk menuliskan cerita dan menggoreskan lukisan di kanvas kehidupan itu memang telah ada.
Tebaran
tawa yang kulepas di perjalanan pulang bersama Dy.. memang terdapat
berkas kerinduan yang tak terbukukan.. selalu menjebakku dalam ruang
kerinduan tanpa batas ruang dan waktu.
Catatan hati ini...
Kurangkaikan
dari serpihan cabikan kolase-kolase perjalanan yang tak selamanya
indah. Karena aku memang bukan wanita sempurna. Dengan keterbatasanku,
kuinginkan kedamaian hati dalam kesederhanaan hidup. Agar lukisan baru
itu terlihat indah, kuhiasinya Bintang dan Kunang-kunang, dengan pipi
merahnya
(。♥‿♥。).
Tak perlu terbebani olehku...
Dy. Jangan (pernah) merasa begitu. Karena aku hanya minta kau temani.
Jalani hidupmu senormal dan seindah mungkin. Sama seperti sebelum
kehadiranku didalamnya. Seperti pesan yang kututupkan siang ini:
"Baik-baik yaa.. Ayy,
always take care..!"
Terhatur maaf tanpa jeda.. #
Promises
Di ujung malam ini..
Aku bersimpuh untuk kebahagiaan yang terengkuh buatmu,
Di ujung gelap ini..
Aku memohon ampunanNya atas semua kesalahan yang pernah kulakukan padamu,
Di akhir tulisan ini..
Aku menuliskan cerita hati tanpa henti untuk mengurai benang merah denganmu,
Karena yakinlah pula.. aku pun ada untuk temani gelisahmu yang berselimut ketegaran.
Tetap jadilah.. dirimu sendiri.[]
Jika boleh kumohon:
Tetaplah temani aku...
Tinggallah di hatiku selamanya....
@Dy