Di antara jalan setapak yang pernah terlalui, mungkin tak sekalipun aku meragu akan kehadiranmu.
Embun pagi yang selalu ada di setiap hari yang berganti, dengan asa baru.
Buliran bening yang memburamkan kaca jendela, tetap membuatmu dalam jiwa.
Dalam diam, kunantikan rembulan dalam genggaman.
Ikatan persahabatan yang tengah terjalin, menguatkan cinta yang 'lebih' dalam sayang.
Tanpa jeda.
Tetaplah tertancap di tegar karang.. mawar.
Hadirmu melarutkan gula dalam secangkir kopi pahit yang tengah terseruput menemani dentingan waktu di ujing sepi.
Pertama bagiku, terjerat di nyata.
Riak-riak belaian persahabatan kita, selalu temani langkahku.
Tetaplah di sini, relung hati yang tak henti bersenandung...
Desiran angin menepis kesunyian.
Di masa lalu, kini dan nanti.
Friday, June 26, 2015
Biru
Thursday, June 25, 2015
Tunggu..,
Pelangi,
Semburat di langit setelah hujan.. menjadi sebuah titik nadir kerinduan setelah bulir-bulir tangis di jendela kacaku.
Tuhan,
Pinjamkan keberanian untuk menatap masa depan. Mencoba menatanya (kembali) dalam kesendirian.
Tak ada yang sempurna..
Tubian dan deraan ujian yang Kau berikan, mulai sedikit menggerus kepercayaan akan adanya ujung bahagia dalam hidupku.
Maafkan aku.. Tuhan, untuk ini,
Ampuni aku.. Tuhan,
bagi keangkuhan ini,
Aku sedikit merapuh..
Selalu meragu..
Tak berani lagi menatap pagi dengan senyum tulus..
Tak ikhlas,
Kemana aku harus melangkah?
Pada siapa aku bisa percaya?
Beban pikiran ini trlalu rumit, untuk dilalui sendiri.
Pelangi,
Masihkah.. kau menungguku di keindahan warnamu?
Dy,
Adakah.. kau mau menggenggam tanganku?
Slalu menuntunku dan melangkah bersama?
Aira,
Apakah.. senyummu mampu mengusap luka hati yang trcabik karena cacian dan hinaan?
Vie,
Mampukah.. kau brtahan menapaki jalan kehidupan yg tengah menikung tajam, brgelombang dan kerikil tajam?
Reborn!
Usikan waktu menggeliat cepat.
Semua hadir dalam diam.
Tanyaku tak kunjung terjawab.
Hentakan kpedihan trus menyayat.
Edelweiss,
Tumbuh di tebing curam dan terjal.
Kesederhanaan yang akan tersentuh bagi kedamaian yang berjuang.
Ketulusan dan keindahan bagi yang menggenggam di kesetiaan.
Ketulusan yang abadi melintasi jeda, batas ruang dan waktu.
Di mana aku?
Pelangi,
..tunggu..
Thursday, May 28, 2015
Sunyi
Di antara kesunyian nyanyian jiwa yang meredam nestapa, buliran bening mengalir tak terbendung.
Mengabut di jendela hati yang tersaput hujan.
Mencoba percaya.. bahwa di antara kekosongan hati yang tengah terpuruk, pastikan bahwa tak ada kesulitan yang mendera tanpa tujuan.
Mencoba menghentikan keluhan, bangkit bersama serpihan semangat yang terserak.
Tetapkan aku di jalanMu.. Tuhan.
Lapangkan dadaku.. menjalani kesendirian.
Kembali mengingat awal langkah menapaki jalan setapak ini.
Harus bisa ambil hikmahnya..
Nyanyian sendumu terdengar perih.
Mungkin karena kau pun mulai lelah menyakinkanku..
Tuhan,
Sederhanakan pikiranku..
Mampukan aku belajar dari kesabaran orang-orang bijak yang terus selalu menasbihkanMu.
Perahu itu ada..
Menantiku menjadi nahkoda mengembangkan layar, mengantarkanku pada pelabuhan cita-cita yang terpendam.
Kertas itu tetap putih..
Selama tak kugaris dan goreskan cerita.
Menemukanmu..
Akan selalu jadi makna yang belum sepenuhnya terbaca.
Selalu bersyukurlah..
Karena kesejatian hidup hadir ketika kau mampu bersyukur dengan segenap jiwa raga.
Tak ada yang sempurna..
Lepaskan ketakutan menghirup rindu, akan selalu menjadi tabir.
Sibakkan keraguan dan ingatlah bahwa pelangi itu selalu ada, ketika kau siap hadapi hujan.
Di sini.. di ruang rindu, jabatkan hatimu.
Yakinkan dan genggam tanganku.. sahabat,
Lengkapkan kepingan hidupku.
Saturday, March 7, 2015
K.I.T.A
Diam..
Itu yang kini ingin kulakukan. Kelelahan jiwa yang terus mendera, memang kian menenggelamkanku dalam kesendirian dan kesunyian.
Rabb..
Tak sedikit pun aku bermaksud menafikan semua nikmat yang telah Kau berikan. Hanya ingin merasakan arti kehadiranku. Maknanya.
Aku, ingin hadirnya kata-kata itu. Tak hanya kurasakan saja.
Apakah itu terlalu sulit dan rumit?
Ataukah aku hanya mempersulit?
Semakin larut malam ini, hingga dini hari, pun kini sudah jelang Shubuh..mataku tak terpejam. Sesekali mengerang sendiri. Lambungku. Kepalaku.
Aira sudah lama kutitipkan pada sanak kerabat, karena aku tak ingin melihatnya bersedih. Karena selama ini, ketika ia melihatku menitikkan airmata, keceriaan dan candanya menghilang. Seperti matahari yang merindukan bulan dan bintang.
Berita-berita TV silih berganti, menemaniku yang terus menangis. Buliran bening itu seperti tak terbendung.
Aku paham, ketika masalah ini bukanlah satu-satunya masalah yang berat. Di luar sana, masih ada jutaan orang yang mengalami permasalahan yang lebih berat. Yaa..sangat pahami hal iti. Ini bukan apa-apa..Vie. Hatiku berbisik perlahan, menghibur.
Hhhh.. Rabb, mengapa aku terus merasakan ini?
Mendapatkan bahwa hanya aku yang inginkan kehangatan hakiki. Bukan hanya koma dalam kalimat.
Tak merupakan persinggahan sesaat saja. Apakah ini memang terlalu tinggi untuk jadi kenyataan?
Apakah memang aku tak cukup baik untuk mendapatkannya?
Tuhan, mungkin.. Kau mulai bosan mendengarkan semua keluhan-keluhanku.
Namun..jika masih Kau izinkan, aku hanya ingin "pulang".
Tempat dimana aku bisa memeluk Aira dengan bahagia. Masa ketika Dy menjadikanku teman cerita, untuk semua hal yang melintasi kehidupannya.
Saat ketika keluarga adalah kesatuan solid penuh kehangatan. Saling menjaga. Selalu menjabat hati.
Rabb, sebenar-benarnya..aku inginkan hidup. Namun kerapuhan ini terus membuyarkan mimpi dan semangat hidupku.
Kesemuan yang hadir, menghantarkanku di keputus asaan yang membelenggu. Menggerogoti kesehatanku. Aku lama kelamaan menjadi sampah. Tak mampu melihat keindahan yang telah Kau hadirkan untuk menemaniku. Tidak jua sanggup mendengar kidung indah yang dinyanyikan. Untukku. Tuhan.
Aira.
Dy.
Dengarkan sejenak dengan hati. Karena aku ada. Nyata. Ulurkan tangan. Jabatlah hatiku. Tanpa jeda menungguku (saja).
Sunday, March 1, 2015
Kidung
Saat ini..benarlah jadi titik terendah dalam hidupku. Berulangkali menanyakan arti kehadiranku. Bagi sahabat-sahabatku, juga bagi Dy dan Aira. Rasanya..tak cukup percaya dan yakin, bahwa keberadaanku memang sangat penting bagi mereka semua.
Maafkan aku..
Bukan tak percaya..
Ampuni aku..
Tak bermaksud meremehkan kalian.
Namun, berjuta deraan kehidupan kali ini, nyatanya memang meruntuhkan langit kehidupan dan kepercayaan diriku. Yang terburuk adalah menghancurkan keimananku. Karena berulangkali.. bila terpuruk dalam tangis dan sakit yang luar biasa, seringkali terpikirkan untuk mengakhiri hidup. Memotong nadi, meminum penenang atau racun serangga, dan pikiran negatif lain tentang caranya.
Yaa..Rabb, apakah aku sudah menjadi pendosa?
Apakah aku memang tak cukup baik untuk merasakan kedamaian hidup?
Ataukah, terlalu banyak pintaku..hingga Kau kembalikan aku pada titik ujian ini?
Tuhan..
Kirimkan aku pelindung yang mampu menjagaku.
Menjauhkanku dari hal yang tak bisa kukendalikan sendiri.
Cukupkanku dengan rasa syukur. Walau terkurung dalam sepetak kamar di rumah singgah ini. Hanya bisa menatapi Aira di kesunyian, karena memang harus membagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Untuk hidup dan kehidupan.
Dan malam ini, hampir seperti semalam.
Aku memang sangat ingin mengakhiri hidup.
Biarkan saja.. tanpa kata.
Ingin terdiam selamanya.
Karena memang merasa tak cukup berarti, berharga dan bermakna.
Bagi Dy dan Aira.
...tik...tik...
Tetesan bening hujan tak cukup menghapus luka.
Masih belum mampu berdamai dengan jeda dan kekurangan.
.....biarkan aku pergi.
Relakan semua dalam sepi.
.............................
***
Tok..tok...
Pintu kamar diketuk dengan keras.
Aku masih tenggelam menangis. Masih mengenakan mukena dan menggenggam Al-Qur'an pemberian Dy.
Aku yang masih memikirkan cara mengakhiri hidup.
Tapi memang ingin semuanya kembali fitrah.
Walau mungkin caraku memang salah!
Ini adalah jalan terhina untuk kembali padaNya.
Duuhhh...ampuni aku, Tuhan.
.. tok.. tok..
Pintu kamarku kembali diketuk dengan keras.
Perlahan,.aku beringsut mendekati pintu. Dan membukakan kunci.
Ini sudah larut malam. Dan Dy datang. Sekilas aku melihat tatapan sedihnya.
Maafkan aku...
Dan posisiku memang membelakanginya. Aku terus membaca takbir, tasbih dan tahmid.
Keinginan bunuh diri itu belum menghilang. Selalu hadir, ketika terpuruk dalam jebakan pikiran bahwa aku memang tak berarti bagi siapa pun.
Benar-benar kehilangan makna kehidupan.
Lentera hidup itu telah padam.
Aku hanya terus merasa tersisihkan.
Aku selalu terjebak dalam pembatasan pikiran.
Aaahh...ari aku apa atuh? Hanya butiran debu.
Cuma persinggahan sementara dalam hidup sahabatku.
Terus menuntut pernyataan bahwa aku takkan disakiti.
Bisakah kau katakan padaku.. bagaimana caranya untuk (kembali) percaya.
Keraguan yang menyergapku ini luar biasa.
Bahuku masih berguncang, karena masih terisak.
Aku ingin dia memelukku.
Menarikku dalam kedamaian.
Seperti dulu. Meminjamkan bahunya untuk tangisan yang terjatuh bersama buliran hujan.
Aku ingin dipeluknya! ..teriak hatiku kencang.
Tanganku semakin erat menggenggam Al-Qur'an.
Walau menginginkan kematian..aku tetap berharap kesucian pemikiran di akhir hidupku.
"Vie.., panggilnya lembut, kenapa? Apa alasanmu?"
...dan aku tak mampu menjawab dalam kata. Hanya isak tangis dan doa terus kupanjatkan.
Dekapannya menenangkanku.
Walau kutahu, itu hanya sesaat. Sementara...
***
Dan..benarlah.
Kejadian itu berulang kembali. Dan secara ekstrem, aku ingin mengakhiri hidup di depannya.
Perdebatan yang panjang ini cukup melelahkan hati dan pikiranku.
Dy menunjukkan nyata ketidaksukaannya. Memukuli tembok dan terus menyatakan kebenaran.
Aku, terus menyanggah dengan penjelasan yang jujur. Dari sisiku. Pandanganku. Kesakitanku. Alasanku.
Tangisku itu semakin deras. Mungkin Dy takkan bisa memahami apa yang kurasakan kini.
Ketakutan ketika mendengar dentuman pada tembok yang dilakukannya, menggetarkan hati. Mengingatkan dan menguatkan semua trauma yang pernah kualami.
Akhirnya, aku mengalahkan egoku. Mendekatinya. Menarik tangannya. Karena posisinya telungkup.
Iba menatapnya. Mungkin ia menangis. Karena semua pernyataanku yang teramat melukainya.
"Diam.."
"Dy.."
"Diam.."
"Ayolah..Dy.. Maafin gue.."
"Diaamm.."
Badanku bergetar.
Ketakutanku memuncak di batas yang tak sanggup kuterima.
Dan, akhirnya aku pun memang akhirnya memutuskan untuk diam.
Diam, adalah ketakutanku. Karena aku terusir dalam kehidupan sebelumnya ketika telah memutuskan "diam".
Ia kemudian beranjak ke kamar mandi.
Menyembunyikan apa yang dirasakannya.
Kami memang bagai bumi dan langit.
Aku yang tak henti berceloteh. Dan dia diam mendengarkan.
But, live is never flat..-
--
Ketika keluar dari kamar mandi, Dy terduduk di depan pintu.
Aku terus memaksanya bicara.
Karena aku benci "diam".
Terus memaksanya.
Dan ia terus diam.
"Kalau lo diem terus..lo bisa bikin gue bunuh diri..", lanjutku dalam isak.
Aku amat membenci dirimu.
Ketidakmampuanku saat ini.
-- dan akhirnya aku memang beranjak ke arah kamar mandi. Membungkuk untuk mencari pisau. Atau menenggelamkan kepala di air.
Itu yang terlintas....
Dy menyusulku.
Aku kemudian mendorongnya ke belakang. Menahannya.
Aku benar-benar ingin melakukannya. Tak perduli di depannya.
Memang bodoh dan naif.
Aku memang bodoh!
Lama terdiam di posisi kami masing-masing.
Dan akhirnya ia menarikku. Mengembalikanku di posisi semula. Di tempat tidurku.
Jiwaku memang sakit.
Kembali terus terisak.
Dekapannya begitu mendamaikan.
Tepukan tangannya terus menenangkanku.
.."jangan nangis terus..."
Kata-kata itu terus digumamkannya.
Dy,
Tak mampu kujanjikan itu.
Aku (masih) takut!
Jiwa dan ragaku sakit!
Aku benar-benar terluka...
Maafkan aku ketika melukai perasaanmu...
Terus menerus membuatmu menangis.
Di antara semua perbedaan yang kita miliki, tetaplah jadi sahabat hati.
Karena aku memang rapuh, jika harus jalan sendiri.
Dekaplah (terus) aku dalam damai..
Pintaku.
Tuhan,
Ampuni aku untuk kesalahan ketika keinginan mengakhiri hidup ini salah..
Aku (hanya) manusia biasa. Perempuan yang tersakiti oleh perjalanan waktu..
***
Monday, February 16, 2015
Nyanyian Sepi
Hh..desah napasku panjang, agar beban yang terasa kian berat ini semakin menghujam.
Maafkan..aku, Tuhan. Tak bermaksud untuk tidak bersyukur untuk semua kenikmatan yang telah Kau berikan.
Hari ini, aku telah menemukan kepingan puzzle masa lalu. Kembali.
Yaa..teman-teman kuliahku.
Hanya sedikit terganggu untuk celotehan yang menjadi stereotipe, "ari aku apa atuuh..daa.."
Duuh, aapaann..siih, batinku.
Mereka selalu mengatakan hal yang sama, ketika aku tanyakan kesibukan masing-masing.
Memang sebagian besar mereka memilih sebagai bunda.
Dan mungkin mereka tidak akan pernah merasakan bahwa itu sangat bermakna. Karena mereka belum pernah merasakan kehilangan keluarga.
Kebanyakan orang baru bisa menghargai ketika sudah dihampiri rasa itu. Baru benar-benar menyesal.
Dan, mungkin terpuruk karena baru tahu semua memang bermakna.
Duuh..Tuhan, sembuhkah luka hatiku. Hentikan tangisku yang menyesakkan dada ini.
Aku hanya ingin berarti. Yang memang menginginkanku.
Tangis ini tak kunjung berhenti. Seperti derai hujan di luar kamar.
Terus melarungkan luka. Yang memang tak kunjung sembuh.
Aku tak ingin dikenang sebagai orang jahat.
Aku hanya orang yang (mungkin) menanti kematian di kesendirian.
Hapuskan tangis ini..Tuhan.
Hadirkan kekuatan jiwa.
Luka ini begitu dalam. Bagai jurang yang tak terlihat dasarnya.
Bilur-bilur luka ini begitu menguak lebar. Bertambah lebar, karena memang aku belum mampu bangkit dan tegak.
Jendela yang buram, seburam mataku yang tersaput kabut airmata yang tetap menitik, sambil menguntai barisan kata-kata.
Aira..Aira..igauku, dalam mimpi.
Pun juga tak henti memanggil namanya.
Aku bagai titik kecil yang tak berarti. Dalam kehidupanku dan orang lain.
Cukupkan saja hari ini..Tuhan.
Apakah ini akhirku?
Terhujam oleh rasa sakit yang merobek angan dan mimpi tentang kehidupan yang lebih baik dari hari ini.
.......
Saturday, February 14, 2015
Secarik Surat Untuk Tuhan
Tuhan,
Yang kutahu,
Aku akan terus belajar memahami caraMu mengajariku tentang hidup.
Sementara..
Kesendirian di keramaian yang (mungkin) harus kumaknai dengan benar.
Hanya..
Maafkan aku, Tuhan. Ketika keimananku terasa tipis, karena sempat terlintas pilihan tidur di keabadian (saja).
Kehilangan yang kurasakan, memang bertubi-tubi.
Dalam kegelapan dan tanpa Matahari.
Aku menjelma menjadi pribadi yang sangat lemah dan rapuh.
Kembali menjadikan perjalanan ke gunung, darat, dan lautan sebagai jalan pelampiasan untuk menemukan kedamaian.
Tuhan,
Peluk diriku di kehadiran kebahagiaan.
Sebentar saja..
Karena aku malu jika ingin selamanya merangkulnya.
Sebab aku hambaMu yang (masih) berkubang dalam dosa, yang aku sadari maupun yang tidak.
Tuhan,
Nyanyikanlah untukku kedamaian dan ketenangan jiwa.
Walau yang kutahu, mungkin belum layak untuk meminta itu.
Tuhan,
Di sampingku Aira terlelap dengan wajah yang mendamaikan hati.
Terimakasih telah menghadirkannya dalam penggalan waktu yang tersisa.
Memaksa tidur di keabadian adalah kesalahan pikiran yang picik, sempit dan naif.
Tapi..Tuhan,
Kali ini..
Aku benar-benar merasa sendiri, terhukum olehMu.
Maafkan aku..Tuhan,
Untuk kelancangan ini.
Aku (hanya) ingin menjadi Vie..
Annisa Alviani, wanita kuat dan tegar yang selalu bisa bangkit dari keterpurukan hidup.
Menjalaninya dengan keikhlasan, tawadhu, qana'ah, dan istiqomah.
Masih pantaskah aku memohon padaMu..Tuhan?
Masih layakkah aku meminta kehadiran sahabat hati dan teman jiwa?
Untuk melengkapi kepingan-kepingan kehidupan yang belum lengkap.
Yang menemani, mengingatkan dan saling menjaga.
Hingga akhir cerita itu tiba.
Hhh...
Maafkan (sekali) lagi..Tuhan,
Ketika aku terlalu memaksa..
Aamiiinnn,
*tangis, peluk, cium* 😢