Prolog
Aku ingin
datang dengan luka yang menganga, ke pangkuanmu... Ibu. Terkapar dengan biluran luka bernanah. Tak kasad. Di hati.
Yang
kuingin, dengan tangan terbuka lalu mengatakan hangat, “kemari nak.. menangislah
sesukamu. Lepaskan semua gundahmu. Hidup memang tak selalu dengan warna yang kau
suka. Semua tak terlepas dari takdirNya.”
Ya, itu
kilatan kenangan yang tak terlupakan. Menangis di pangkuan bunda. Memohon ampun untuk kepongahan diri menatap
keegoisan diri. Pembelajaran dan
pendewasaan. Dan itulah aku.. VIE. Rindukan bilangan waktu
***
Kenangan
Masa Lalu
Cintaku
sederhana. Sesederhana aku dan
pemikiranku. Tapi itu dulu. Banyak yang telah berubah (ternyata). Perjalananku
dengan Elang memang tidaklah sebentar.
Kupikir semua akan baik-baik saja.
Namun harapan tak seindah kenyataan.
Semua kebersamaan itu usai sudah.
Love @the first sight.. itu kupikir tulus adanya. Ternyata gosip dan rumor itu benar
adanya. Aku hanya dimanfaatkannya. Cintanya hanya keterpaksaan semata.
Pergilah aku melangkah sendiri. Menapaki hari-hari di kesunyian. Namun... cerita baru mengalir bersama waktu.
Di antara
luka, cintaku tetaplah sederhana. Hanya
ingin kebersamaan yang dijalin di ketulusan tanpa jeda. Maka hanya pria sederhana saja yang mampu
menerjemahkannya dalan tautan kasih.
Dan itu
belum kutemukan. Tak sesingkat itu untuk
menemukan kesejatian “sederhana”. Tak
cukup belasan tahun untuk memahami konsep itu.
Semua akan teruji oleh waktu.
Perjalanan ini awalnya amat kuyakini menuju ke gerbang keabadian. Tapi kini, semua tersanggahkan atas sebuah
realita. Bahwa mungkin memang benar jika
“tak ada yang abadi”, kecuali kita membuka pikiran untuk sebuah keinginan itu.
Hhhmmhh....kuhirup
teh manis panas buatannya. Sahabatku ini
memang selalu berusaha mengertiku. Walau
terkadang kekesalannya juga seringkali tampak nyata. Namun kami memang selalu berusaha untuk
terbuka menyampaikan apapun dengan cara yang sebisa mungkin tak melukai. Aku pun tak pernah sanggup tersinggung dengan
kata-katanya yang terkadang sangat pedas.
Manatap mata teduh yang menyiratkan kekesalan, tetap saja membuatku
merasa beruntung memilikinya.
“Manis..
Dy,” kataku menyesap perlahan teh yang masih mengepul panas. Sekilas melayangkan ingatan teh nasgitel
(panas legi dan kentel) khas kota Solo dan Yogya. Hhhh... sudah lama tak sowan
ke sana.
“Tadi gue
bilang apa?,” tanyanya sedikit terasa ketus.
“Iya..iya,
gue bilang gulanya terserah lo..., Cuma komen masa ga boleh,” sanggahku
menghampirinya, mengusap tangannya, “makasih... gue hampir lupa ada teh manis,
karena selalu berkutat dengan kehambaran teh kegemaran versi gue. Padahal kalau gue mau.. masih bisa juga
merasakan kemanisan dalam hidup juga kan?
Seperti aku menghendaki teh manis ini.
Hanya ingin merasakan sejenak teh buatanmu. Memahami banyak dirimu.”
“Eh.. lo
kalau semakin galau jadi kreatif juga..ya?,” sambil menyantap kentang goreng
dan fillet ikan dori.
“Pliiss..
don’t mention that over and over again.
I wanna cry now....”
Senyap
sesaat membatasi waktu. Ia pun beranjak
dan berlalu sambil mengusap kepalaku, “Yuk.. sholat dulu..”
***
Sayounara...
Jelang
Ramadhan. Tinggal beberapa minggu lagi.
Namun lamunan negatifku telah menggerogoti kesehatanku. Seraya menatap foto itu. Just You and Me. Kenapa semua tak
menjadi sederhana?
Tahun ini
aku harus melambaikan tangan pada semua kenangan masa lalu yang harus kusimpan
di tempatnya. Sayounara.... tak
ada pengharapan untuk kembali. Cukup sudah. Aku memang mungkin tak layak
dipertahankan. Tapi bukan pula saatnya
aku memposisikan diri sebagai orang yang merasa rugi. Elang yang meninggalkanku. Dan jika ia ingin aku mengemis untuk
cintanya. Najis! Penggalan kata kasar itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
Perdebatan
itu terus menghadirkan luka. Aku yang
berupaya untuk tetap ada di sisinya. Bertahun-tahun. Belajar menjadi sempurna seperti yang
diinginkannya. Menggadaikan semua
idealisme yang pernah kupegang. Atas
nama cinta. Hhh... kata itu semakin
menorehkan luka dan airmata. Ingin
menghapuskannya. Untuk menyembuhkan
luka-luka ini. Mungkinkah?
Mengutip
dan mencatat banyak kata yang dilontarkan Dy.
Dalam buku harianku. Lembaran
jiwa. Selalu mengingatnya, ketika merasa
waktu terasa panjang dan membosankan untuk dilalui. Mengisi kehampaan di ruang tanpa jeda dan
batas. Ingin mampu menembusnya. Untuk sekedar tahu perasaannya. Melihatnya jauh di kedamaian jiwa.
El, tak
ingin lagi tumpahkan airmata untukmu.
Perjalanan yang kuanggap awal ketenangan jiwa itu telah terporak. Ramadhan ini semua akan dimulai tanpamu. Masih
terasa sakit. Apalagi menatap mentari
kecil di sudut ruangan. Meringkuk tanpa
daya. Aku pergi untuk tak lagi
menghadirkan kebencian padamu. Dan bukan itu yang kumau. Bagaimana pun adanya, semua tetap pernah bermakna
bagiku.
Maka lagu
ini, yang tengah mengalun di sepetak kamar milikku kini. Peraduanku tempat menangis tanpa seorangpun
tahu. Jutaan pedih itu biarkanlah
milikiku. Mendekapku. Merindukannya sepanjang waktu. Di antara semua perbedaan yang menjadi indah
kini. Itu pula yang mengantarkanku untuk
mengatakannya, over and over again.. Dan kusadari itu bukan kamu.
Terusir
dari lingkaran waktu dan kehidupanmu. El, sayounara.... temukan perempuan
sempurna untukmu. Dan itu bukan aku.
Tangisan
itu tak terhenti jua. Aira terbangun
dari tidurnya. “Mommy....,”
panggilnya. “Iya.. sayang, udah bangun?,”
melangkah mendekatinya. Menyusut airmata dengan cepat. Ia tak boleh menyaksikan kegundahanku. Memeluknya erat. Mengusap lembut rambut ikalnya. Tak berapa lama Aira pun terlelap
kembali.
Beringsut
perlahan, meneruskan ketikanku. Sayup
lagu ini masih kuputar di hening malam. Untuknya teman sejatiku... Sahabatku.
ALL OF ME
by John Legend
What
would I do without your smart mouth
Drawing me in, you kicking me out
Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down
What's going on in that beautiful mind
I'm on your magical mystery ride
And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright
Drawing me in, you kicking me out
Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down
What's going on in that beautiful mind
I'm on your magical mystery ride
And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright
My
head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
'Cause
all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
How
many times do I have to tell you
Even when you're crying you're beautiful too
The world is beating you down, I'm around through every mood
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing in my head for you
Even when you're crying you're beautiful too
The world is beating you down, I'm around through every mood
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing in my head for you
My
head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind
'Cause
all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
Give me all of you, oh oh
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh
Give me all of you, oh oh
Cards
on the table, we're both showing hearts
Risking it all though it's hard
Risking it all though it's hard
Cause
all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you
I
give you all of me
And you give me all, of you, oh oh
And you give me all, of you, oh oh
***
Catatan
Perjalanan
Journey.. itu
sebutanku untuk sebuah perjalanan baru yang kumulai di tahun ini. Belum banyak cerita. Hanya kepedihan yang terbungkus dalam
diam. Tak inginkan ini. Namun kutahu memang ini yang terbaik. Saat ini.
Lama
untuk mampu kembali bangkit dan berdiri.
Tak ada yang kendalikan itu.
Semua bagaimana caraku menatapnya.
Keindahan itu muncul dari hati yang tulus. Kemurnian pikiran menerima
dengan ikhlas semua tahapan kehidupan.
Bintang di atas langit di antara kegelapan, mampulah jadi pelita. Tak perlu selalu menangis untuk sesuatu yang
tak layak ditangisi. Namun carilah
sandaran untuk mampu mengurangi isak.
Dalam hening malam. Di pelukan
damai sang waktu.
Menatap
matanya. Sipit dan teduh. Menenteramkan.
Jauh di ujung waktu itu, tetap ingin melakukan banyak hal
bersamanya. Mendampingi di antara mimpi
dan harapan. Yang kumiliki bersama
Aira.
Hatiku
bukan pualam. Merekatkannya kembali bukanlah
pekerjaan yang mudah. Bertahun lalu ini
pun telah pernah retak. Tapi aku tetap
percaya, waktu adalah obat terbaik untuk semua kehidupan ini. Memejamkan mata sejenak. Menatap di kegelapan. Setitik cahaya itu muncullah. “Thanks God... for everything happened, in
happiness and sadness. Jadikanlah
aku hambaMu yang selalu mampu berdiri dan bersyukur...”.
***
Lembar
Baru
April bukan
bulan yang mudah terlalui. Tak perlu juga
menyerak pada keadaan yang memang tak berpihak.
Aku tetaplah Vie. Penyiar kenes
yang selalu berupaya menyembunyikan airmata, sambil cuap-cuap memotivasi
pendengar. Seringkali aku merasa gagal
untuk memotivasi diriku.
Bulan ini
menjadi titik balik untuk beringsut dari keterpurukan. Simpan saja tangis itu. Sedu sedan itu. Berikan untuk hal yang berarti dalam hidupmu. Yang menghargai kehadiranmu. Memerlukan ketulusanmu.
Tapi..
itulah aku. Perempuan biasa saja. Di depan semua orang, Aira dan bahkan Dy, aku
selalu menyembunyikan tangisku.
Seringkali tak mampu berkata-kata.
Hanya bisa berupaya “baik-baik saja..”
Kali ini
aku memang berjanji, bagi diriku, untuk mampu lebih berarti. Berdamai dengan diri dan keadaanku. Tak ada yang sempurna. Maka biarkanlah mengalir. Seperti airmataku dan tetesan air di
jendela. Memburamkan mata dan kaca. Lalu menghadirkan rona pelangi yang indah.
“Moommyy....
ada Masha,” Aira berteriak dan melompat kegirangan, “come on... Mommy, duduk di
sini,” ditunjuknya sofa kecil disampingnya.
Aku beringsut mendekatinya.
Meninggalkan semua kesibukan yang membelenggu. Yang membuatku semakin “sakit”.
Menarik nafas dalam-dalam dengan normal. Melepaskannya perlahan. Sakit di dada memang masih menyesak. Namun tak boleh buatku semakin kehilangan
arah. Aku punya Aira yang harus kujaga. Deminya aku mulai mempercayai kembali ketulusan
hubungan. Untuk Aira dan Dy.
Jauh di
ujung langit, kutitipkan banyak doa untuk pejuang-pejuangku. Kuatkanlah hati untuk tetap jadi setitik
cahaya bagi semua yang inginkanku.
Kembali menitikkan airmata. Tapi
ini bukanlah kesia-siaan. Mereka selalu
tahu aku ada. Selalu ada. Ini hanya masalah jarak. Ini hanya masalah waktu.
Dan berlalulah
duka...
Mentari
tetap merindukan Bulan dan Bintang. Di
kaki langit mereka bersalaman dengan semburat merah jingga di lazuardi. Keindahan yang selalu menjadi pemandangan
terindah pecinta alam. Dengan secangkir
kopi pahit yng tersesap perlahan. Semua
selalu diciptakan berpasangan. Suka-duka. Pahit-manis. Indah-buruk.
Sedih-bahagia. Dalam harmoni kehidupan
semua mengalun sempurna.
Berdamailah
dengan waktu dan lukamu, Vie. Tak
mudah.. Tapi bukan tak mungkin. Demi dirimu, Aira, Dy dan pejuang-pejuang
kecilmu. Percayalah... kau tak
sendiri. Tutuplah semua dengan
manis.
Puisi
Wiji Thukul ini mengusik semua kebisuan.
Mampu bangkitkanku dalam sunyi.
Inilah saatnya..
SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Iringan
lagu ini akan terus terngiang, di relung jiwa. Badai pasti berlalu....
***