Lama
bertapa di keheningan, membuat kreatifitasku semakin tak terbendung. Banyak ide penelitian yang mangalir. Walau akhirnya aku mengerti bahwa ide itu
memanglah jiwaku. Ruhku. Maka hanya
akulah yang terpilih untuk menuliskan dan mempresentasikannya secara sempurna.
Berselancar
di dunia maya dan sosial media kuabaikan untuk menetralisir perasaan negatifku
pada kehidupan. Kekecewaan ini terlalu
dalam. Hampir menolak keras takdir Tuhan
untukku. Yang terbaik, walaupun pahit.
Namun kemudian perlahan kusadari, bahwa rasa pahit itulah yang membuat
rasa kopi semakin sempurna. Aah, kenapa
bisa kulupakan itu? Harusnya aku lebih
membuka pikiranku, bahwa memang tak ada yang sempurna.
Nazla
Khumaira, tengah mewarnai di buku yang kubelikan untuknya. Begitu menikmati hari-harinya dengan
keceriaan khas balita. Sesekali
kupandangi dan menanyainya tentang kegiatannya hari ini. Celoteh cerianya selalu mampu membuatku
kembali berdiri ketika penat menghampiriku di ujung hari.
Mmm...
ialah Mentariku. Bersama Bintang ketika
langit gelap menaungi. Mereka berdua
yang tak lelah mendampingiku untuk dapat menyusun kembali semua mimpi. Mewujudkannya. Masa lalu itu tetaplah di belakang. Tak perlu diratapi. Tak juga harus membuat diri menjadi bersalah
dan tak berarti. Karena memang bukan aku
yang membuang semua kehidupan yang pernah terlalui. Hanya kebajikan yang ingin kuingat, sebagai
pembelajaran pendewasaan pikiranku.
Cinta itu memang hanya bertepuk sebelah tangan, maka tak perlulah
memaksakan keinginan.
Tetaplah
berjalan. Melangkah untuk sebuah
pengharapan. Demi Nazla Khumaira. Demi satu nama yang selalu lekat dalam hati. Dy.
Bismillah....[]
The
contact: Cerita di keheningan
Di sebuah
perjalanan baru yang tertapaki, aku menjaga hati untuknya. Menempatkannya di ruang hati yang terhias
apik dengan rerona bunga setaman. Harum
semerbak selalu memenuhi relung-relungnya hingga sudut jiwa. Semua memang lengkap dan sempurna.
March 12,
2014
/Cintanya, sejuk
laksana embun pagi. Kasihnya, tulus seperti Mentari. Tatapannya, teduh bagaikan
awan. Senyumnya, semanis Rembulan. Temani aku, mencari makna.. Nazla Khumaira,,/
March 13,
2014
/...menatap
Aira,panggilannya,ketika melepas penat setelah seharian menjalani rutinas,bagai
sejuk embun pagi. Menyegarkan. Jemari lentik mungilnya menyambut, memegang
pipiku,seraya berkata,"I missed you.. Mom,seperti ini.....",ia
pun berusaha memelukku erat. Kurengkuh badannya, dan mengecup lembut pipi
tembemnya, "mmm...Mommy juga kaangeen, sayaang..". Aah, tak pernah
sekali pun, atau tak sekedip pun, takkan berani membayangkan hidup tanpanya.
Cintanya adalah Mentari. Kelucuannya jadi Energi. Ia alasan hidup terbaik. Aira adalah Maknaku./
March 18,
2014
/...tiba-tiba,
buliran bening yang telah lama tertahan di pelupuk mata itupun mengalirlah.
Kepedihan yang selama ini tersimpan rapi di sudut hati, menyeruak di rimbun
keteduhan jiwa. Aku menyerah... Kerinduan itu telah mengental dalam darah.
Mendekap Aira yang terlelap damai, mengingatkanku pada sosok yang selama ini
selalu menemani. Memberi kasih tulus tanpa jeda. Terasa nian jarak yang
membentang kini. Hhhh... I really missed you, Mom./
March 19,
2014
/..tercenung
di kepadatan lalu lintas yang menjebak. Baru benar kusadari kebodohanku.
Keinginan memilikimu, telah membuncah di batas waktu. Tak ingin bagai
menggenggam pasir. Waktu yang berdetik, pertanda inginku dekat di pembuluh
nadimu. Aku, sedang mempertanyakan ketulusan- tapi, belajar keikhlasan. Kau
memang mengajarkan arti Kehangatan PERSAUDARAAN Tanpa Ikatan Darah. I
really..missed you... bisikku bergetar menahan tangis, dan terus mendekap
Aira.. MIMPIku,/
March 20,
2014
/..aku
tidaklah sempurna. Maka berlari menjauhlah.. Elang, jika inginkan itu dariku.
Cintaku sederhana saja, bagai kunang-kunang di pekat belantara. Cukuplah jadi
sekerlip Bintang. Ketulusan hati yang sematkan indah puspa jiwa.
Aira..Aira,,banyak yang pertanyakannya. Namun buatku, ialah kesejatian nyanyian
damai dawai hati./
March 22,
2014
/...yang
kupeluk kini, hanyalah Aira. Mimpiku. Tangis tertahan, agar tak membangunkannya.
Aku merindukan kebersamaan yang hangat. Selepas beragam aktifitas yang
membelenggu. Akhir pekan yang membahagiakan, dengan cara sederhana. Tuhan,
pinjamkan kekuatan dan kesabaran lebih, untuk mempercayai Mentari Pagi yang
akan selalu menyapa ramah. Esok... Tetap memeluk Aira, menyanyikan kidung
malam. Tidur nyenyak yaa.. Cinta, aku selalu ada untukmu./
March 26,
2014
/..tiba-tiba
terjaga dini hari. Tanganku masih mendekapnya. My angel..Aira. Yang selalu
menghiaskan lengkungan senyum dan tawa lepas di wajahku. Pagi ini aku
terperangkap di kegelisahan. Tiba-tiba mata sipitnya terbuka perlahan, "I
love you...Mom, mau kasih bearhug, like Marsha". Aku tersenyum,
mengecup keningnya dan menggusap jemari lentik mungil miliknya, "love
you too.. Mentari". Dan, ia pun kembali terlelap.
Kembali mengemas tasku. Tak pernah sebelumnya meninggal Aira tanpa menemaninya
sarapan dan mendengarkan celotehnya. Pekerjaan ini mulai menyita banyak
waktuku. Seringkali tak sempat bercengkrama. Tuhan, hanya Engkaulah sandaran
jiwa manakala merapuh dan berpeluh. Dan tetap izinkanlah.. Aku mendekap Aira
kini dan nanti (yaa?), karena tanpanya hidup terasa hampa dan mati../
March 27,
2014
/.. Malam
hening meleburkan harapan dalam setangkup doa. Surat dari Sahabatku, terbaca di
kemurnian jiwa dan pikiran. Di sampingku, (masih) terlelap Aira, Matahariku.
Menatapnya selalu mendamaikan. Terus membaca dan menulis untuk menemaninya.
Sesekali kuhentikan ketikan, ketika merasa resah merangkaikan kata, untuk
sesaat menyentuhnya. Mengusapnya. Ialah semangatku. Dalam suratnya, sahabatku mengutipkan
pepatah bijak: "You can not change the wind direction, but you can
only change your wing direction" Ah, yaa.. Sahabat, aku Vie sang
penjelajah waktu, petualang sejati yang telah menjadi kupu-kupu. Memampukan
diri mengubah arah sayap agar tak terpatahkan Sang Jeda. Terimakasih, karena
tetap berkenan menjadikanku "makna". Menguatkanku./
April 02,
2014
/..,
melesapkan kenangan di sudut tergelap hati, sambil menyesap secangkir kopi
pahit. Usailah. Cukup sudah. Berdiri tegak kembali, di pijakan kaki sendiri.
Lembayung menggayut di lazuardi. Penanda batas hari Terlewati (lagi) sehari
penuh makna syukur. Apapun iramanya. Mengalirlah...Tuhan, Terimakasih..atas
pinjaman kekuatan dan kesabaranMu. Di tangkupan doa ini..tetap izinkan aku
terus mendekap rindu bersama Aira. Memeluknya sepanjang waktuku. Menemaninya
tanpa jeda. Menghiasi hari demi hari dengan lengkungan senyum manisnya.
Melukiskan tawa lepas di rona merah pipinya. Sepanjang waktu yang kupunya.
Tanpa jeda. Amiin.. Membulir bening, merinai. Embun. Mengalirlah../
April 05,
2014
/..Sepagi ini
aku telah merindukannya lagi. Padahal tadi sempat memeluknya erat. Dan
menciuminya berulang kali. "Mommy... Aira love you, much...", jemari
mungilnya mengembang,"tapi..pipi Aira jangan diciumi terus, nanti bisa
kempes", protesnya lucu. Aku tersenyum simpul. Memeluk dan menciuminya
lagi. "ga..dong, honey. Mommy selalu kangen padamu",tegasku
sambil mengusap rambut ikalnya. Ya, aku memang selalu
terjebak perasaan kangen padanya, seperti siang yang terus terpaut rindu pada
Matahari. Mematikan waktu sejenak, untuk bisa menelponnya. Sejenak mendengarkan
suaranya menggaung di telinga, bagai siraman sejuk embun pagi. Energi baru di
siang yang melelahkanku. Spasiba balshoi... Aira, untuk semua warna pelangi
baru di langitku. Kesempatan memilikimu, adalah anugerah Tuhan yang terindah.
Hingga kenangan kelam itupun melesaplah.. bukan lagi jadi lapisan rapuh. Walau
dalam balutan cinta yang tak sempurna, maafkanlah..untuk itu. Tapi aku terus
berjanji, dalam hati. Ada untukmu. Selalu mencintaimu setulus hati. Aira,
Bintangku./
April 08,
2014
/..Siang ini
aku duduk termenung. Di hadapanku hanya ada secangkir kopi hitam kental panas.
Tak terhitung berapa siang yang tak kujalani bersama Aira untuk makan siang
bersama. Berulangkali menelponnya, tapi sinyal tak kunjung bersahabat. Tak tahu
harus bagaimana lagi. Aku hanya ingin pulang, memeluk dan mendengarnya
bercerita panjang lebar. Tak jauh dariku sepasang mahasiswa bercengkrama.
Sesekali bergurau dan tertawa. Aku ingin Aira di hadapanku dan makan
siang bersama. Mendengarkan celotehnya. Hanya ingin melihatnya tertawa lebar.
Aah..aku harus bisa meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Merancang libur
yang sederhana, untuk melihat matahari terbenam bersama. Merasakan sekejab,
keindahan rasa yang membuncah. Memilikinya kini./
April 15,
2014
/...,cahaya
matahariku, memberi waktu menatap pagi, menyentuh sejuk embun dan memeluk
mimpi-mimpi. Memberanikanku mewujudkannya hingga tak teronggok sebagai angan
kosong di sudut ruang labirin waktu. Mmmm..harum aroma secangkir kopi hitam
pahit menyeruak dari dapur kecil di pojok kamarku. Menyesapnya perlahan, seraya
menghirup dalam aroma khasnya, membuatku kembali di kesegaran. Secangkir kafein
cukuplah untuk membuka mata yang kuyu. Baru bisa terlelap
jelang subuh. Aira masih menonton Masha and The Bear kesukaannya. Sesekali
menoleh dan tersenyum manis padaku. "Mommy, terimakasih....", sejenak
terkejut dari lamunan, menyadari pelukan eratnya. "mmmhh..yaa, Sayang.
Tapi untuk apa?", mengangkatnya, meletakkannya di pangkuanku. Mengusap
rambut ikalnya. "untuk pagi ini...Mommy liat Masha..", jawabnya lugu
dan polos khas balita, mirip Masha. Aah.. Cinta, maafkan Mommy... tak cukup
waktu untukmu, bisik hatiku menyesak. Kaulah nadiku. Selalu. Bagaimana pun
rintangan itu. Kaulah jiwa yang bermakna.. *bearhugs,kisses*/
April 19,
2014
/..dan elang
itu terbang pergi. Tinggallah aku dan Aira. Kupandangi wajahnya. Tetap
mendamaikanku. Menyepi di hiruk pikuk dunia. Panggil saja aku Vie, penyiar di
sebuah radio yang tengah menyelesaikan novel. Yang selalu berusaha tetap
berdiri tegar, setelah ditegur keras. Memberanikan diri mewujudkan mimpi-mimpi.
Cahaya Matahari itu Aira. Mendekapnya di setiap lintasan malam, bagai memetik
Bintang. "I love you...mmmhh", ia mengecup pipiku
lembut memelukku erat, "bearhug" istilahnya. Menyambut ketika
aku datang terdera penat. Hhh... Tuhan, jangan biarkan damai ini pergi..
pandanganku pun memburam. Membalas pelukan erat dan menciumnya berulangkali.
"Chubby bunny...missed you so.. yuk, temani masak spagheti..
Sayang". "Aaasyiikk..," ia selalu melompat-lompat kegirangan
jika aku meluangkan waktu untuk memasak makanan kesukaan dan menemaninya makan
malam. Terduduk sejenak di sofa, mengusap lembut kepala dan rambut ikalnya.
Mendengarkan celotehannya. Kemudian mendekapnya hingga tertidur pulas.
Tuhan...titipkan sayang ini padanya sepanjang waktu. Agar tak terasa tepian
sunyi itu. Dan izinkanlah aku memilikinya tanpa jeda waktu. Amiin.../
April 21,
2014
/...,dan aku
Vie, dengan segala kerumitan dan keribetannya. Namaku Aniesah Alviany, dan
panggil saja aku Vie. Tengah menemani Cici, kucing kesayanganku yang sakit.
Memandikannya. Membungkusnya dengan handuk. Memberinya kehangatan.
Aah..ternyata ia menantiku. Tak lama, matanya pun terbuka. Menatapku hampa.
Aira..ingatanku melayang padanya. Tak ingin di kehampaan tanpanya. Sejurus
kemudian, aku menyaksikan tubuh Cici mengejang. Menarik
napas. Perlahan dan tersengal. "iya.. Ci, aku ada untukmu. Sembuh
yaa..miliki semangat hidup itu." Mengusap lembut bulu, di tubuh yang
mengurus. Hhh..hanya aku yang berusaha tulus padanya. Membagi kasih pada sesama
makhlukNya. Airmataku membulir. Tubuh Cici lemas, bagai tak bertulang. Hembusan
napasnya hilang. Tatapan matanya kosong, tak lagi berbinar. Aku merawatnya dari
bayi. Menyaksikannya berjuang demi sebuah mimpi kehidupan. Kini, aku harus
melepasnya pergi. Ia menungguku, untuk ajal yang menjemput. Menahan
kesakitannya. Hhh..pergilah dengan tenang, Ci, bisikku, seraya menutup liang
lahatnya di kebunku. Dekat bunga melati kesukaanku. Satu persatu..akhir
kehidupan itu kusaksikan. Mengingatkanku. Hidup cuma sekedipan mata.
Berartilah. Aira... Aira... hanya kata itu yang mampu kuketikkan di lubuk hati
terdalam. Menyimpan "I love you...and need you..." di
relung sanubari. Di hening malam penuh kesunyian. Hanya ialah makna hidup, kini
dan nanti. Alhamdulillaah..untuk cahaya mataharimu, satu hari (lagi) bersamamu.
Selalu ada yaa.. Cinta, saling temani. Tetap genggam tangan, hingga terpejam.
Aku sedang takut dan gelisah.../
Semua catatan
ini terambil dari media sosial milikku.
Kutuliskan semua sebagai teman ketika perjalanan menembus Cadas
Pangeran. Perjalanan rutin seminggu dua
kali. Aku memang selalu merindunya. Ingin selalu menuliskan namanya di setiap
penggalan waktu yang terlalui. Tak ingin
menjadikannya sia-sia. Namun ketakutan
dan kegelisahan itu benar-benar mengunciku di kebekuan dan kekeluan. Hingga semua memang terhenti di hari itu.....
Sejenak.[]
Sepenggal
Kejujuran
Aku
menatap wajahnya yang terlelap di sampingku.
Badanku panas. Menahan kesakitan
yang tak pernah kuceritakan. Tetap
kudekap erat hanya untukku. Berulang kali
aku terjaga. Untuk kembali memeluknya
erat. Begitu takut kehilangannya. Ahh...
Aira pun
terlelap di sudut lain. Ia tetap
nyenyak. Seharian berceloteh tentang
Masha. Menuturkan kesabaran Mischa si
beruang. “I love him.. Mommy”,
ucapnya kemudian. “Kenapa.. sayang?”,
tanyaku meresponnya. Menghentikan
sejenak ketukan jari-jariku di keyboard.
Hmm.... kekhawatiranku tentang tertumpuknya pekerjaan ini memang tak
cukup untuk mendampinginya melalui hari.
Semua bisa menanti. Tapi tidak
demi waktu yang harus kubagi dengannya. Kini, hanya dia yang kumiliki. “mm... Mommy tahu ga, Mischa itu sabar
banget. Sayang banget. Mommy sayang Aira ga?”, tanyanya tiba-tiba. Mengejutkanku. “Kenapa Aira nanya gitu..? Mommy sayaaaangg
banget....,” aku merengkuhnya dalam pelukanku.
Menciumi pipi tembemnya. “Cuma
maafkan Mommy yaa.. sayaang, sering meninggalkanmu sendirian bersama mbak
Ina. Mommy kan harus kerja..”. Hhhh... guilty feeling itu selalu
menghantui banyak perempuan sepertiku. “mmmmuuaaachh....,” Aira memang tak menjawab apa-apa. Bearhug dan ciumannya menyadarkanku. Ia layak diperjuangkan. Tak harus aku selalu terbelenggu di kelam
kenangan yang tak sudi menatapku.
Ia hanya
membalas pelukanku dengan sangat erat dan hangat. Menciumku dengan ketulusan yang langsung
membidik relung hati.
Menyadarkanku. Tak pernah
menerima ciuman dengan ketulusan seperti ini.
Menyembunyikan kepala di dadanya.
Mendengarkan detak jantungnya.
Semakin mengalirkan energi positif untukku. Tanpa sadar buliran bening itupun
mengalir. Ia belum menyadarinya. Aku hanya perempuan biasa. Kegundahan itu menyeruak mencari udara bebas.
“Eh...
ada apa? Kenapa?”, tanyanya kemudian.
Memaksaku untuk menatapnya dengan memegangi wajahku. Hanya terdiam dan menggeleng perlahan. Kembali memeluknya erat saja. Belum mampu menceritakan bahwa aku begitu
menginginkannya dalam hidupku. Tak
perdulikan waktu. Hanya ingin
bersamanya.
Dan,
saatnya memang tiba. Mengalirlah semua
kejujuran itu. Kesakitan itu selalu
terwarnai dengan buliran bening di balik kaca jendela mata. Biarkanlah..... hanya untuk membantu
melegakan jiwa. Membebaskan hati dari
semua ketakutan itu. Aku berusaha siap
menunggu reaksinya. Tak berniat berlari
dalam kebohongan. Namun khawatir ketika
ia kemudian berlari dan berlalu, ketika tahu aku hanyalah perempuan biasa. Tak sempurna.
Aku telah melewati banyak pintu yang telah terbanting. Kaca itupun telah retak. Aku bukan siapa-siapa. Sanggupkah tatapanmu (masih) sama?
Dini hari
ini aku tetap sendiri. Tak mampu
terpejam. Karena tetap terjebak di
kekhawatiran. Seperti naif. Tapi itulah kejujuranku. Mentari esok itu terharapkan tetap
hangat. Pelukan dan ciuman itu tetap
ingin kurasakan. Atas nama sebuah
ketulusan dan kejujuran. Jaket, kaos dan
aroma tubuh yang lekat membuatku berulangkali terjaga. Hanya sekedar mengirimkan pesan singkat. “Are you still there?” Hhhh... takut,
dan aku teramat merindukanmu.... Dy. []